Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel274 Views

 

Cinta Indhira, Rasa Yang Tak Hanya

Novel

Karya Athfah Dewi

Bab 10. Perasaan dan Aturan Allah

_________

 

Aku terus meringis, sambil merasakan kram di perut yang terasa semakin hebat.

Tidak lama, dokter dan perawat datang. Mereka langsung melakukan tindakan kepadaku.

Sekilas, terlihat Papa begitu cemas. Dia terus menyemangati dan memegang tanganku.

Selanjutnya, entah apa yang terjadi. Aku tidak begitu mengerti. Aku hanya berpikir, mungkin inilah saatnya buatku mati.

Ada rasa takut, tetapi juga aku pasrah. Jika memang kesempatanku di dunia ini sudah berakhir. Malah mungkin, ini lebih baik. Aku tidak perlu lagi tersiksa oleh keadaan yang sangat tidak adil ini.

Selain itu, mungkin aku bisa bertemu dengan Mama.

**

Aku membuka mata, samar terlihat ada orang duduk di sampingku dan terdengar dia sedang melantunkan ayat suci Al-Quran. Siapa dia? Aku mengerjap.

Suaranya begitu lembut dan menenangkan. Terasa damai menelusup ke hati yang rasanya sedang kosong ini.

Aku berusaha menajamkan penglihatan.

Betapa terkejutnya aku ketika sudah terlihat jelas siapa dia. Aku ingin bangkit untuk memintanya menjauh. Sebab, aku tidak ingin dia ada di sini.

“Alhamdulillah … Indhira, sudah bangun? Kamu mau apa? Apa yang kamu rasakan?” tanyanya sambil menyimpan kitab suci Al-Quran di laci sebelah ranjang.

“Papa, mana?” tanyaku pelan. Tenggorokan rasanya sangat kering.

“Papa sedang keluar, sebentar lagi ke sini,” jawabnya. “Kamu mau apa? Biar mama ambilkan.” Dia menatapku.

Aku memalingkan wajah tanpa menjawab pertanyaannya.

Kenapa harus dia yang berada di sini? Ah, pasti dalam hatinya sekarang dia sedang merasa kecewa. Sebab, aku tidak jadi mati.

Perempuan ini memang sangat pintar bersandiwara. Berperilaku sangat baik ketika ada orang lain. Seolah dia menyayangiku seperti kepada Arini. Padahal, di belakang hatinya sangat busuk.

Dengan kebenciannya kepadaku, dia bersama anaknya bermaksud untuk menguasai Papa.

“Indhira sudah siuman, Pa,” ucap perempuan itu ketika Papa masuk.

“Alhamdulillah, syukurlah.” Papa mendekatiku. “Sekarang, apa yang kamu rasakan. Ada yang sakit?” tanyanya.

“Lemes, dan ini sakit,” jawabku sambil meraba perut. Meski sakitnya sudah jauh berkurang, tetapi masih terasa sisa-sisanya. “Dan, haus,” jawabku.

Papa mengambilkan air minum, lalu membantu meminumkannya kepadaku. “Kamu yang kuat, ya? Satu atau dua hari lagi masih harus dirawat di sini, sebab ….” Papa tidak melanjutkan ucapannya.

“Aku kenapa, Pa? Kok, rasanya badanku aneh,” tanyaku setelah meminum beberapa teguk air putih.

“Kamu keguguran, Dhira. Dokter tidak berhasil menyelamatkan anak itu.”

“Keguguran?” tanyaku agak kaget.

“Iya.” Papa mengangguk.

“Syukurlah …,” ucapku lega.

“Kamu jangan begitu. Anak itu gak salah apa-apa.”

“Mungkin. Tapi, kalau dia gak jadi lahir, itu justru lebih baik buat aku dan dia juga. Kasihan, kalau nanti dia tahu kejadian yang sebenarnya. Papa juga gak perlu malu lagu, kan?”

Beberapa saat, Papa hanya terdiam. “Tapi, gak baik mensyukuri kepergian seseorang.”

Aku tidak menjawab lagi. Ada rasa senang di dalam hati, karena anak itu tidak jadi lahir. Sebab, itu berarti aku bisa melanjutkan hidup lagi seperti dulu. Meski bayang-bayang pengkhianatan dan penghinaan Dhimas akan terus membayangiku. Namun, setidaknya sekarang Papa sudah berubah lagi.

Aku menjadi semangat untuk sembuh. Apa yang dokter katakan, aku melakukannya dengan senang hati. Meski aku masih merasa risih karena kehadiran istri Papa yang merawatku bersama Mbah Uti.

Ingin menolaknya, tetapi aku memang membutuhkannya.

Tentang Dhimas, Papa pernah bertanya apakah aku akan membawanya ke jalur hukum? Namun, aku menolak. Bukan karena merasa kasihan, tetapi aku tidak mau aib ini tersebar.

Mbah Uti dan istrinya Papa pun setuju dengan hal itu.

**

Satu minggu berlalu, kondisiku sudah semakin membaik. Sejak tiga hari yang lalu, aku sudah berada di rumah Mbah Uti.

“Karena sekarang kamu sudah membaik, besok kita pulang ke Bekasi, ya?” tanya Papa.

“Pulang?” Aku meliriknya.

“Iya.” Papa mengangguk. “Kenapa kamu kaget kaya gitu?”

“Tapi ….” Aku melirik Mbah Uti. “Gimana dengan Mbah?”

“Gimana apanya?” Papa menatapku.

“Siapa yang nemenin di sini?”

Mendengar jawabanku, Mbah Uti terkekeh. “Mbah sudah terbiasa sendiri. Kamu gak usah khawatir. Lagipula, kan ada Rahman,” jawabnya.

Ah, iya … Rahman. Kemana dia? Sejak kejadian hari itu, tidak sekalipun dia menjengukku. Atau sekadar datang meski bukan untuk melihat keadaanku.

“Kamu bisa lanjutin kuliah lagi. Bisa menata lagi masa depan.”

“Aku gak mau kuliah lagi di sana, Pa.”

“Kenapa?”

“Aku gak mau ketemu lagi sama Dhimas. Aku … gak mau pulang ke Bekasi. Sebab, dia ada di sana. Aku gak bisa ketemu lagi sama orang itu,” jawabku gemetar. Teringat apa yang sudah Dhimas lakukan kepadaku.

“Tapi, Dhira. Kamu mau tinggal di mana?” tanya Papa.

“Pokoknya, aku gak mau pulang ke Bekasi.”

“Ya sudah. Kamu mau tinggal di mana? Asal kamu senang, papa dukung saja. Tapi, kamu harus tetep lanjutin kuliah.”

“Aku mau tinggal di sini.”

“Di sini?” Semua yang berada di ruangan ini menatapku.

“Aku udah betah tinggal di sini. Sekalian nemenin Mbah Uti.”

“Tapi, kuliah kamu gimana?”

“Di sini juga pasti ada perguruan tinggi, kan?” Aku menatap Papa dan Mbah Uti. “Eh, tapi. Itupun kalau Mbah mengizinkan aku buat numpang di sini.

“Mbah seneng kalau kamu mau tinggal di sini. Cuma, perguruan tinggi itu jauh dari sini,” jawab Mbah Uti.

“Gak apa-apa,” jawabku yakin.

“Ya sudah. Tapi, besok kamu ikut dulu pulang ke Bekasi, kan?”

Aku menggeleng. “Enggak, Pa.”

Terlihat Papa menarik napas dalam-dalam. Sepertinya, dia berat untuk mengabulkan permintaanku.

Namun, aku sudah bulat dengan keputusan ini. Aku ingin memulai semuanya dari awal di desa ini. Tinggal di sini, sepertinya aku bisa merasakan tenang.

Keesokan harinya, Papa dan istrinya pulang. Sebelumnya, mereka memelukku dengan erat.

Ada yang aneh aku rasakan ketika dipeluk oleh istri Papa. Tubuhku hanya terdiam, tidak bergerak untuk menolaknya.

Selama dia di sini. Perempuan itu merawatku dengan sabar. Meski aku masih bersikap ketus kepadanya. Apa mungkin sekarang dia sudah berubah?

“Bukan dia yang berubah, tapi cara pandang kamu sama dia yang berubah,” jawab Mbah Uti ketika kuungkapkan semuanya.

“Maksudnya?”

“Hati kamu sudah mulai terbuka untuk menerimanya. Rasa benci dan penolakan kamu kepada Rossi perlahan sudah memudar.”

“Apa benar begitu?” Aku mengerutkan dahi.

Mbah Uti mengangguk. “Coba kamu ingat-ingat. Apa yang membuat kamu membenci Rossi?”

“Karena dia sudah merebut Papa.”

“Begitu, ya?”

“Tentu saja. Dia menikah dengan papa sehingga papa jadi berubah.”

“Indhira … terkadang, bukan orang lain yang berubah, tetapi kitanya yang sudah berubah. Sehingga, semuanya terasa tidak sama lagi seperti sebelumnya.”

Aku terdiam. Benarkah seperti itu?

Sejak kepergian Mama, semuanya memang sudah tak sama lagi. Kesedihan terus-menerus menekan hati ini. Sehingga aku tidak seceria dulu.

Karena hal tersebut, aku mengakui, aku menjadi lebih mudah untuk marah. Karena Papa lupa tidak membelikan makanan pesananku saja, aku bisa mengurung diri di kamar seharian. Aku merasa, Papa sudah tidak menyayangiku lagi.

Apalagi, ketika Papa menikah lagi. Aku jadi sangat membencinya. Menjawab semua perkataannya dengan ketus. Tidak jarang kami pun bertengkar karena mungkin Papa yang sudah teramat kesal.

Kemarahan Papa, aku terima sebagai bukti kalau dia sudah benar-benar berubah. Rasa sayang dan cintanya untukku sudah tidak ada lagi. Beralih kepada istri dan anak tirinya yang so manja.

Aku merasa sangat yakin perubahan Papa karena pengaruh istri dan anak barunya itu.

Rasa rindu kepada masa-masa ketika Mama masih ada, sering menyiksa perasaanku. Namun, aku enggan mengungkapkannya kepada Papa.

Aku semakin terpojok. Merasa sendiri dan asing di rumah sendiri. Papa sering bercengkrama dengan istrinya juga Arini. Mereka tertawa bahagia. Membuat rasa benci kepada dua orang itu semakin menjadi-jadi.

Sering, istri Papa itu mengetuk pintu kamarku mengajak untuk bergabung bersama mereka. Tentu saja aku menolak, karena menurutku itu hanya basa-basi.

Ketika Papa memarahiku pun, dia sering membelaku. Namun, aku tahu itu hanya cara dia untuk mencari muka di depan Papa.

Dia memasak makanan kesukaanku, menegur Arini ketika membuatku kesal, dan mengurus semua kebutuhanku. Semua itu dia lakukan hanya untuk mencari pujian Papa.

Tentu saja begitu. Semuanya agar dia terlihat baik kepadaku dan aku salah di mata Papa.

“Kamu salah. Rossi itu, benar-benar sayang sama kamu,” ucap Mbah Uti.

“Gak mungkin, Mbah. Dia benci banget sama aku.”

“Coba sebutkan, Rossi pernah berbuat apa yang membuat kamu menderita?”

“Dia nikah sama papa.”

“Itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, Dhira. Maksud mbah. Setelah Rossi menjadi ibu sambungmu. Apakah kamu pernah melihat dia berbuat jahat sama kamu?”

Aku terdiam. Secara langsung, dia memang tidak pernah melakukan hal itu. Namun, aku sangat merasa yakin kalau semua kebaikan yang dilakukannya ada maksud lain.

“Lagipula, papamu berhak untuk bahagia. Waktu itu dia masih muda, masih memerlukan seorang istri untuk mendampinginya.”

“Apa aku aja, gak cukup? Karena, papa menikah lagi itu berarti dia sudah mengkhianati mama. Papa sudah tidak cinta mama lagi.”

“Beda. Kamu ini anaknya. Ada banyak yang suami butuhkan dari seorang istri, yang gak bisa didapatkan dari anak. Lagipula, cinta itu adalah salah satu bentuk dari perasaan kita sebagai manusia. Dan itu bukan yang utama. Ada hal lain yang lebih penting, yaitu aturan Allah.”

Aku terdiam, karena tidak mengerti dengan apa yang Mbah Uti katakan. Apa hubungannya cinta atau perasaan dengan aturan Allah?

“Kamu pernah jatuh cinta?”

“Jatuh cinta?” Aku melirik Mbah Uti yang mengangguk.

Jatuh cinta? Tiba-tiba melintas sosok Rahman. Apa yang aku rasakan kepada pemuda desa itu adalah jatuh cinta? Sebab, sebelumnya aku tidak pernah merasakan perasaan seperti itu kepada orang lain.

Bahkan, aku tidak percaya kalau cinta yang sebenarnya ada.

“Kamu akan paham, jika kamu sudah merasakan jatuh cinta itu,” ucap Mbah Uti sambil berdiri.

“Mbah.”

Mbah Uti melirikku.

“Rahman kemana? Kok, gak kelihatan beberapa hari ini?”

“Kamu, jatuh cinta sama dia?” tanya Mbah Uti sambil menatapku.

“Bu-bukan begitu.” Aku menggeleng gugup dengan pipi yang terasa menghangat. “Itu gak ada hubungannya sama pertanyaan aku. Aku cuma tiba-tiba kepikiran Rahman aja.”

Mbah Uti tersenyum. Sebuah senyuman yang membuatku semakin salah tingkah. Bodoh sekali aku ini. Kenapa juga harus bertanya tentang Rahman sekarang?

“Dia pergi ke Bogor, katanya ada urusan di sana.”

“Urusan apa?”

“Urusan pertanian.”

Aku terdiam. Meski belum benar-benar paham tentang jawaban Mbah Uti itu.

Mbah Uti meninggalkanku ke belakang. Katanya, mau mengecek pupuk yang baru diantar orang tadi pagi.

Sedangkan aku, duduk sendiri sambil memikirkan semua perkataan Mbah Uti. Sepertinya, aku mulai mengerti, kenapa Papa menikah lagi.

Ya, sebagai laki-laki normal, dia pasti memerlukan kehadiran perempuan di sampingnya. Selain itu, pasti ada hal-hal yang tidak bisa didiskusikan denganku sebagai anaknya. Hal yang hanya bisa diceritakan kepada seorang istri.

Namun, tetap saja. Papa menikah lagi, itu berarti dia sudah mengkhianati Mama.

Aah! Entahlah … aku jadi merasa pusing memikirkan hal itu.

**

“Kamu bisa bantu Indhira?” tanya Mbah Uti di suatu sore.

Aku yang sedang duduk di ruang tengah, menajamkan pendengaran. Mbah Uti sedang berbicara dengan siapa di belakang? Terus, kenapa menyebut-nyebut namaku juga?

Aku bangkit dan perlahan menuju dapur.

“Bantu apa, Mbah?” tanya seorang laki-laki yang aku tahu siapa dia.

“Indhira mau meneruskan kuliah di sini. Kamu bisa bantu dia, kan?”

“Kuliah di sini?” tanya Rahman.

Ya, orang yang sedang berbicara dengan Mbah Uti adalah Rahman. Namun, kenapa Mbah Uti bertanya tentang hal itu kepada Rahman? Apakah dia akan paham?

Bersambung (Insya Allah)

Comment