Penulis: Poppy Kamelia BA(Psych), CBPNLP, CHRNLPC | Parenting Islami Coach, Penulis, Pegiat Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Fenomena bullying atau perundungan di negeri ini semakin marak dan memperhatinkan. Dilansir dari laman Kemdikbud, kasus bullying saat ini banyak ditemukan di lingkungan sekolah.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sepanjang Januari-Agustus tahun 2023, terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di sekolah.
Kasus terbaru seperti ditulis Kompas. Kamis (12/10/2023), terjadi di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seorang remaja putri dianiaya, dikeroyok hingga terluka parah dan akhirnya meninggal dunia setelah dirawat selama enam hari di rumah sakit.
Laman bbc.com, Kamis (21/9/2023) juga mengubgkap kasus bullying yang terjadi di Gresik, Jawa Timur. Seorang siswi kelas 2 SD mengalami buta permanen pada mata kanannya, akibat ditusuk oleh kakak kelasnya.
Sungguh mengerikan, kasus bullying di kalangan pelajar, korbannya bukan lagi usia balig – melainkan anak usia prabalig yang bisa dibilang masih tergolong usia dini. Kasusnya pun beragam, mulai dari skala ringan hingga berat, bahkan ada yang sampai berujung pada kematian.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menghentikan kasus bullying ini. Pemerintah bersama pihak sekolah telah membentuk satgas serta pembentukan sekolah ramah anak, hingga penerbitan aturan Permendikbud Antikekerasan di sekolah. Bahkan Kemendikbudristek juga mendorong sekolah (satuan pendidikan) membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
Upaya lainnya juga dilakukan oleh The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII). Pihaknya telah meminta Pemerintah mengatasi maraknya kasus ini dengan mengedepankan kepentingan terbaik anak, tanpa menghilangkan proses pembelajaran pada anak ketika berhadapan dengan hukum.
Meski pelaku berusia anak, hukuman harus tetap ditegakkan dan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku pada anak, sehingga bisa memberikan efek jera. Meskipun berbagai upaya sudah dilakukan, tetapi kasus perundungan di satuan pendidikan masih marak terjadi sebagaimana ditulis Antara News. Rabu (04/10/2023).
Jika dicermati, berbagai upaya dalam menghilangkan kasus ini tidak pernah membuahkan hasil, justru semakin merajalela – dan yang lebih menyedihkan lagi pelakunya adalah teman sebaya mereka. Lantas apa akar permasalahan ini? Mengapa anak anak menjadi kejam dan miskin empati? Ada apa dengan orang tua? Begitu sulitkah mendidik anak-anak menjadi pribadi yang berakhlak mulia? Di mana peran Negara? Mengapa perannya tampak mandul dan pasif terhadap fenomena kerusakan generasi saat ini?
Sejatinya akar permasalahan berulangnya kasus bullying ini berasal dari penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis. Sistem yang menjadikan agama dipisahkan dari kehidupan yang berdampak terhadap pembentukan perilaku seseorang menjadi bebas dan mengikuti hawa nafsu belaka. Inilah yang menyebabkan generasi saat ini mengalami krisis moral. Kebebasan yang lahir dari sistem sekuler membentuk anak anak menjadi manusia yang jauh dari norma dan nilai-nilai agama.
Naluri mereka tidak terarah dan tidak terdidik dengan norma-norma agama. Alhasil, mereka menjadi pribadi liar yang bebas melakukan apa saja bahkan halal haram tidak lagi menjadi standard perbuatannya.
Terlebih lagi, dunia pendidikan sekuler hanya mengandalkan penilaian di atas kertas. Prestasi demi prestasi dibanggakan namun jauh dari pembentukan kepribadian dan akhlak terpuji.
Satu sisi memang anak-anak diberi informasi tentang ajaran agama tetapi tidak dijadikan landasan untuk menilai segala sesuatu baik ataukah buruk.
Sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Islam memandang bahwa menjaga anak dan generasi bukan hanya tugas orang tua akan tetapi juga butuh peran masyarakat dan negara. Sistem Islam yang berasaskan akidah bersumber dari Alquran dan sunnah, akan melahirkan generasi yang memiliki aqidah kokoh dan ketaqwaan yang tinggi. Dengan ketaqwaan tersebut, mereka merasa segala perbuatannya selalu diawasi oleh Allah SWT dan kelak ada pertanggung – jawaban terhadap segala tindakan mereka.
Sistem pendidikan Islam yang dijalankan oleh Negara, akan membentuk karakter dan kepribadian anak. Secara umum, ada dua tujuan pokok sistem pendidikan Islam: Pertama, membangun kepribadian, yakni pola pikir (akliah) dan jiwa (nafsiah) Islam. Kedua, mempersiapkan anak-anak menjadi para ulama yang ahli disetiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, atau peradilan), maupun berbagai bidang sains (teknik, kimia, fisika, atau kedokteran).
Masyarakat dalam sistem Islam juga memiliki tanggung jawab untuk saling menasihati, mengajak pada kebaikan dan mencegah tindakan tercela. Sehingga mereka tidak abai terhadap permasalahan di sekitarnya. Sedang Negara dalam Islam, berperan sentral untuk menyaring segala tontonan media yang berpengaruh terhadap pembentukan generasi.
Oleh karena itu, saatnya negeri ini menerapkan sistem pendidikan Islam yang telah terbukti berhasil membangun generasi cerdas, berkualitas, berakhlakul karimah dan jauh dari sikap perundungan.
Teladan itu telah tercatat dalam sejarah, ketika Islam menguasai dunia selama 1.400 tahun. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Comment