RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Twiiter Space Forum Didik J Rachbini menggelar sebuah diskusi menarik terkait isu global yang sedang hangat terjadi, Perang antara Rusia dan Ukraina, Sabtu (26/2/2022).
Geopolitik dan geostrategi global mendadak berubah ketika Rusia menyerang Ukraina. Perubahan ini bersifat fundamental yang akan mengubah juga kondisi global saat ini.
Hadir beberapa pembicara dalam diskusi tersebut antara lain: Eisha M Rachbini, Peneliti INDEF, Dr Mahmud Syaltout, Dosen Paramadina Graduate School of diplomacy, A. Khoirul Umam, PhD, Dosen Paramadina Graduate School of diplomacy.
Eisha M Rachbini, dalam forum diskusi tersebut mengatakan, terdapat beberapa dampak dari Invasi Rusia terhadap Ukraina, khususnya terhadap Ekonomi Global, Pertama, pemulihan ekonomi dunia post covid, dengan ancaman Inflasi yang telah terlihat di beberapa negara maju (AS, juga Indonesia), dan kenaikan harga komoditas dunia. Jika perang berlanjut, pemulihan ekonomi global juga terancam akan lebih rendah dari prediksi awal.
Esiha menambahkan, pertumbuhan ekonomi global diprediksi 4.4% di 2022 dan 3.8% pada 2023. Negara maju 3.9% (2022) dan 2.6% (2023) Negara berkembang 4.8% (2022), 4.7% (2021), ASEAN -5 5.6% (2022) dan 6% (2023) Indonesia 5.6% (2022) dan 6% (2023).
Selain itu, lanjut Eisha, harga komoditas dunia pada 2022 telah mengalami kenaikan. Russia adalah salah satu produsen dunia minyak bumi dan industri pertambangan seperti nikel, alumunium dan palladium. Rusia dan Ukraina adalah eksporter utama gandum. Rusia juga produsen kalium karbonat (potash) bahan baku pupuk. Risiko perang akan dapat berdampak pada kenaikan harga minyak bumi yang diperkirakan meningkat mencapai lebih dari $100/barrel (the price of Brent oil) (February 24th, 2022). Sementara harga bahan bakar minyak meningkat di AS dan Eropa sebesar 30%.
Eisha menandaskan, jika konflik berkepanjangan, akan berdampak terhadap global supply chain. (supply chain saat ini telah mengalami hambatan logistik akibat covid-19 yang memicu kenaikan harga komoditas). Jika supply komoditas dan logistik pengiriman terhambat, serta infrastruktur utama, seperti Pelabuhan di area Black Sea jika rusak akibat perang, maka negara maju dapat memberikan sanksi banned atas komoditas Rusia.
Hal itu pasti akan memperburuk harga komoditas (karena global supply rendah, by excluding Russia natural resources commodity).
Menurut Eisha, perang ini juga berdampak terhadap Financial Market. Terkait sanksi yang diberikan AS terhadap pemain pasar keuangan dan tech companies Rusia. This is a serious economic impact to Russia, but not fatal, as Russia might be possible to get help from China (finance and trade relationship). Harga komoditas meningkat, inflasi, situasi ekonomi global akan merubah skenario the Fed to increase interest rate.
Menururt Esiha, perang ini berdampak terhadap Indonesia. Indonesia akan terpengaruh perekonomian global (growth), dan memperlambat pemulihan ekonomi, terutama Emerging market seperti Indonesia. Financial Market domestik pada nilai tukar, IHSG Inflasi tinggi akibat commodity shock, akan mendorong The Fed menaikkan suku bunga (Inflasi AS 7.5% Jan’22, tertinggi dalam 40 tahun). Safe Havens Currencies (US, JPY). Berdampak ke depresiasi nilai tukar (Rp), potensi capital outflow, balance of payment (BoP). Di pasar keuangan, juga dapat terdampak pada penyaluran kredit, dan kinerja korporasi.
Dr Mahmud Syaltout yang hadir dalam diskusi itu mengatakan, temuan riset terkait perang-perang di Asia saat Perang Dingin, menunjukkan bahwa perang tidak selalu menyebabkan perdagangan sepenuhnya terhenti, dan tidak selalu perdagangan yang semakin tinggi volume maupun nilainya antar negara menyebabkan perang antar negara tersebut hanya “great illusion”, dan bahkan justru sebaliknya, bisa jadi antar negara tersebut tidak bisa menghindar dari untuk tidak berperang satu sama lain. Jerman dan Inggris yang berperang pada world war I dan II sebelumnya adalah rekanan perdagangan sangat aktif. “Pax Mercatoria” – Perdamaian melalui perdagangan (wabil khusus multilateral neoliberal) hanyalah ilusi dan bahkan cuma mitos.
“Pada saat perang, ternyata tidak semua pihak menjadi buntung, rugi, defisit dan mengalami krisis perdagangan maupun ekonomi. Ada beberapa negara yang justru diuntungkan dengan munculnya bukan hanya ketegangan konflik antar negara, tapi juga perang yang terbuka.”
Konflik Russia vs Ukraina saat ini, lanjutnya, menunjukkan tesis pada point 1 di atas masih tetap relevan. Untung dan rugi secara ekonomi maupun perdagangan dalam konflik Russia vs Ukraina ini bukan hanya bergantung pada sisi mana kita berpihak secara politik (apakah Pro Russia ataukah Pro Ukraina), tapi juga bergantung pada inter-dependensi perdagangan kita apakah dengan jejaring dagang aliansi besar Russia ataukah aliansi Ukraina-US-EU dan juga secara khusus pada komoditas ekspor dan impor kita.
“Beberapa berita terakhir menunjukkan bagaimana konflik Russia vs Ukraina justru menaikkan sangat drastis beberapa komoditas, khususnya minyak, gas bumi, perak, emas, nikel dan alumunium, serta beberapa mineral lainnya seperti palladium dll.” Paparnya.
Sebagai negara net importir minyak bumi, harga minyak dan gas bumi di indonesia menurutnya semakin tinggi pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina yang dalam jangka panjang dapat merugikan Indonesia.
‘Jika tidak disiasati betul, dengan adanya economic shock terhadap APBN karena Pandemi COVID-19, maka harga minyak dan gas yang tinggi akan semakin membebani APBN kita. Pertumbuhan ekonomi kita yang lumayan membaik tahun 2021, bisa jadi terdampak.” Tegasnya.
Di lain sisi, tambah Dr Mahmud Syaltout, Indonesia saat ini dikenal sebagai negara penghasil emas, perak, alumunium dan nikel yang saat ini juga ikutan naik pasca meningkatnya eskalasi konflik Russia vs Ukraina.
“Jika kita bisa mengoptimalkan peluang ini, ekonomi kita bukan hanya selamat dari ancaman defisit karena dampak naiknya harga migas, tapi juga bisa untung besar. ” Ujarnya dalam forum diskusi tersebut.
Namun, tambahnya, untuk mendapatkan untung besar, perlu strategi yang jitu terkait pertambangan, baik di hulu maupun hilirnya, termasuk tentu saja terkait pembangunan smelter dan lain-lainnya. Di sini lah, Politik Bebas Aktif Indonesia menemukan relevansi dan signifikansinya.
Dalam Twitter Space Forum J Rachbini itu Hadir Pula pembicara Khoirul Umam, PhD yang memaparkam anatomi konflik Yang terjadi dalam perang Rusia dan Ukraina.
Menurutnya, dari segi anatomi konflik, terdapat tiga faktor utama yang patut diantisipasi bersama.
Pertama, pentingnya mengelola fungsi diplomasi dan komunikasi politik, dalam konteks bilateral maupun multilateral antar-negara, utamanya dalam konteks relasi yang telah memiliki akar sejarah konflik masa lalu yang panjang.
Kedua, lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias kalkulasi kepentingan strategis (strategic miscalculation). Dalam konteks ini, kejernihan menimbang dan mengkalkulasikan strategi pencapaian kepentingan nasional (national interests), sangat ditentukan oleh kompleksitas aktor yang terlibat. Artinya, tingginya kepercayaan diri Ukraina dalam menghadapi Rusia tentu tidak lepas dari ekosistem kekuatan yang mengelilinginya, khususnya keterlibatan NATO dan juga Amerika Serikat sendiri yang menjanjikan aliansi dukungan pertahanan yang kuat sebagai back up kekuatan.
Ketiga, pentingnya mengelola “ego kekuasaan” yang dimainkan oleh elit politik, pemerintahan, atau negara. Dalam konteks ini, konflik yang selanjutnya tersulut menjadi perang terbuka seringkali tidak lepas dari hadirnya sosok pemimpin yang meledak-ledak, tidak mudah diterka (erratic leader), memiliki ego yang tinggi, serta kadang menikmati hadirnya atmosfer ketegangan hingga perang (warlike leader).
Indonesia harus mengantisipasi perluasan konflik agar ancaman instabilitas ini tidak berpindah ke kawasan Asia Tenggara. Ada sejumlah kekuatan besar yang sedang berusaha mengonsolidasikan kekuatan mereka di kawasan Indo-Pasifik. Upaya konsolidasi kekuatan itu salah satunya ditandai oleh hadirnya deklarasi pakta pertahanan Australia, United Kingdom dan United States of America (AUKUS) pada September 2021 lalu. Telah menjadi rahasia umum, pakta pertahanan AUKUS ini dihadirkan sebagai upaya perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap China yang semakin mengokohkan pengaruh dan kekuatan ekonomi-politik serta pertahanannya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik secara general.
Perang Rusia dan Ukraina kali ini harus menjadi wake-up call bagi kita semua, untuk benar-benar mampu menjalankan kerja diplomasi dan komunikasi politik publik di kawasan secara optimal. Jangan sampai Asia Tenggara, khususnya Indonesia, menjadi ajang medan pertempuran dan adu pelanduk di antara dua kekuatan besar di kawasan. Perlu komitmen semua negara di kawasan harus terus ditegakkan, untuk menghadirkan kerja-kerja diplomasi dan komunikasi politik yang jujur, transparan, dan akuntabel.
Begitupun proses diplomasi dan komunikasi politik publik harus benar-benar diletakkan dalam koritor relasi bilateral maupun multilateral yang kontruktif dan tidak bias kepentingan.
Terakhir, upaya penguatan terhadap sistem demokrasi yang mengahdirkan model checking and balancing benar-benar harus terus dijalankan secara simultan, agar output kepemimpinan politik tidak dibelokkan oleh “ego kekuasaan”.
Di sinilah, teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory) yang meyakini bahwa perdamaian kawasan akan lebih mudah dicapai ketika masing-masing negara menjalankan sistem demokrasi yang sehat dan transparan, akan kembali menemukan justifikasi dan relevansinya dalam konteks teori maupun praktik hubungan internasional.[]
Comment