Oleh: Chris Komari, Activis Democrasi
Activis Forum Tanah Air (FTA)
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Demokrasi itu tidak cukup hanya dengan memahami makna demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tetapi dalam pelaksanaanya dikuasai oleh partai politik, sehingga daulat partai lebih tinggi dari daulat rakyat.
Demokrasi berubah menjadi partaikrasi
Demokrasi itu tidak cukup dengan isi konstitusi UUD yang mengatakan bahwa “kedaulatan tertinggi” ada di tangan rakyat.
Tetapi pada prakteknya, anggota DPR merupakan kader partai politik hanya membuat UU yang merugikan rakyat dan mengkudetw kedaulatan tertinggi rakyat, seperti membuat UU MD3 dengan memberikan hak recall atau hak pergantian antar waktu (P.A.W) kepada partai politik.
Hal ini membuat semua anggota DPR-RI tidak bisa berkerja secara mandiri dan independent mewakili kepentingan rakyat, takut melawan keinginan petinggi partai politik karena takut kena mutasi dari ketua partai atau lebih buruk kena P.A.W.
Padahal hak recall atau hak pergantian antar waktu (P.A.W) adalah bagian dari kedaulatan tertinggi rakyat.
Demokrasi tidak cukup dengan menjalankan free and fair election, seperti Pilpres, Pileg dan Pileg, tetapi rakyat tidak diikutsertakan dalam decision making process in the government affairs.
Rakyat hanya sebagai penonton dan kambing hitam demokrasi lontong-sayur, di mana setiap muncul musim Pemilu, rakyat disuguhi dengan envelope serangan fajar yang berisi uang recehan, untuk membeli lontong-sayur setelah selesai nyoblos.
Itulah demokrasi lontong-sayur di Indonesia. Tidak ada fungsi, role dan keikutsertaan rakyat di dalam decision making process in the government affairs.
Sehingga yang namanya kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu hanya lips service alias omong kosong
Tidak tampak dan tidak terrefleksi didalam pemerintahan pusat, propinsi, kabupaten ataupun di Parliamen.
Rakyat hanya dikibuli, hanya sebagai budak-budak dan babu-babu pemerintah pusat, khususnya pejabat publik di tingkat Kementrian dan BUMN.
Beda dengan demokrasi di Amerika Serikat (USA).
Di Amerika Serikat (USA) ada sistem atau mekanisme Pemilu yang disebut ballot initiative atau ballot proposition atau ballot measure yang dipakai rakyat Amerika Serikat untuk menentukan masalah penting yang memiliki dampak langsung terhadap quality of life (kualitas hidup) rakyat Amerika Serikat lewat Pemilu.
Mirip seperti “referendum” di Indonesia, tetapi bukan untuk memisahkan diri dari (NKRI) atau Federal government dan menjadi negara independent.
Contoh ketika negara bangian (STATE) akan me-recall (memecatan) pejabat publik karena goblok, tidak becus atau melakukan tindakan kriminal dan treason, atau pemerintah akan menaikan “PAJAK”, seperti pajak property, atau pajak penjualan (sales tax), atau mau mengumpulkan dana pembangunan atau expenses lainnya dengan menjual utang berupa Public Bond.
Maka pemerintah negara bagian (STATE) harus meminta ijin dulu kepada rakyat negara bagian setempat lewat mekanisme Pemilu yang disebut special election atau digabung saat ada general election, yang disebut ballot initiative, atau ballot proposition atau ballot measure.
Jadi di Amerika Serikat (USA), Pemilu itu bukan hanya untuk Pilpres, Pileg dan Pilkada.
Pemilu di Amerika Serikat juga dipakai oleh pemerintah untuk meminta ijin kepada rakyat Amerika Serikat, karena ingin mengeluarkan kebijakan yang memiliki dampak langsung terhadap quality of life (kualitas hidup) rakyat Amerika Serikat (USA). Hebat kan demokrasi di USA?
Itulah makna dari prinsip demokrasi nomer#1, sovereignty of the people (kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat).
Pemerintah Amerika Serikat itu masih minta “ijin” kepada rakyatnya.
Karena semua pejabat pemerintah di Amerika Serikat sadar bahwasanya kedaulatan tertinggi itu ada di tangan rakyat Amerika bukan di tangan U.S Congres atau di tangan Presiden.
Itulah prinsip demokrasi nomer #2, government based upon the consent of the governed, pemerintahan dijalankan atas persetujuan yang dipimpin dalam hal ini adalah rakyat.
Karena itu dalam issue yg sangat penting dan kritikal, pemerintah Amerika Serikat masih minta “persetujuan” dari rakyat Amerika lewat ballot initiative atau ballot proposition atau ballot measure.
Kalau di Indonesia bagaimana? Ojok guyu.Wong aku taking kok.
Ballot initiative, atau ballot proposition atau ballot measure itu hal-hal yg belum umum dan belum diketahui oleh publik ditanah air di Indonesia, apalagi dipraktekan.
Yang dikenal di Indonesia itu, ONE MAN-ONE VOTE itu artinya satu hidung punya satu suara, sehingga 1 suara seorang professor kalah dengan 10 suara rondo ucul. Padahal pengertian One Man One Vote di Amerika Serikat (USA) itu tidak begitu.
Satu suara seorang senator bisa memiliki, membawa dan mewakili 40 juta suara rakyat negara bagian (STATE).
Kalau ada bill (RUU) yang lolos dari U.S Congress dan dianggap merugikan rakyat banyak atau merugikan daerah seperti UU omnibus law, tentu akan banyak orang yg melakukan judicial review (JR) di U.S Supreme Court.
Tetapi sebelum keluar bill (RUU) yang ngaco, maka dibuatlah mekanisme FILIBUSTER di U.S SENATE, agar tidak muncul tyranny majority, dan seorang senator bisa menghentikan seluruh senate untuk tidak ambil voting.
Jadi tidak benar bila 1 suara professor kalah dengan 10 suara rondo ucul. Itu tidak berlaku di U.S SENATE. Hebat kan demokrasi di USA?
Coba lihat demokrasi lontong-sayur di Indonesia? Jangankan mekanisme FILIBUSTER, conflict of interest saja tidak peduli.
Hakim MK ikut bermain politik dan tidak bisa menjaga marwah Konstitusi UUD 1945.
Sudah jelas ada UU yang bersifat sangat diskrimintaif seperti pasal 222, UU No. 7, tahun 2017 yang dikenal dengan Presidential threshold 20% saja, malah dibelain hakim MK mati-matian dengan menolak semua judicial review (JR) dengan alasan legal standing yang dibuat-buat.
Belum lagi ketua hakim MK yang memiliki hubungan kerabat dwngan Presiden dan masih menjadi hakim MK.
Ada MENDAGRI menunjuk (appointed) kepala daerah dgn atoritas penuh selama 2,5 tahun? Mulai kapan demokrasi menjamin sistem appointment dan tidak lagi sistem election?
Ada anggota Menteri kabinet yang punya perusahaan seabrek-abrek tetapi malah diberi jabatan sebagai Menteri yang mengurusi investasi dan BUMN?
Itu jelas conflict of interest…!!! Presiden dan Menteri Kabinetnya sama-sama “koclik”, berpura-pura tidak ada conflict of interest?
Masih menjabat sebagai Menteri Kabinet aktif, tetapi sibuk melakukan kampanye terselubung, seperti Menteri BUMN sekarang.
Itu bukan hanya conflict of interest, tetapi sudah menyalahi aturan sebagai pejabat publik aktif dan melanggar aturan.
Semua pejabat publik yang makan gaji bulanan dari uang rakyat, melanggar hukum dan melakukan kampanye terselubung dengan mengunakan fasilitas negara, harus dikenai sangsi hukum dan dipecat dari jabatan publik karena jelas telah melakukan abuse of power dan komersialisasi jabatan.[]
Comment