Dinasti Politik dalam Sistem Demokrasi

Opini171 Views

 

 

Penulis: Isnaini, S.I.Kom | Aktivis Muslimah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA–  Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah batas usia calon kepala daerah 6 bulan menjelang Pilkada serentak 2024 dianggap memberi jalan bagi praktik politik dinasti.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati. Dalam laman kompas.com, dia mengatakan, putusan MA itu bakal menjadi problem karena ini akan membuka peluang pada anak muda yang memiliki afiliasi kuat dengan politik dinasti dan kekerabatan.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), pertimbangan dan amar putusan MA ini juga bermasalah karena melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024, yakni mengotak-atik aturan terkait kandidasi yang terlalu berdekatan dengan periode pendaftaran bakal calon peserta pemilu.

Bukan hanya itu putusan MA ini dianggap berkaitan erat dengan rencana Kaesang Pangarep untuk maju sebagai calon wakil gubernur Jakarta, berpasangan dengan Budisatrio Djiwandono. Keduanya diusung oleh Partai Gerindra. Adapun Ahmad Ridha Sabana yang mengajukan gugatan merupakan adik kandung Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Ahmad Riza Patria.

Langkah Kaesang untuk maju pada Pilgub DKI Jakarta terganjal syarat batas usia. Kaesang saat ini baru berusia 29 tahun (lahir 25 Desember 1994) dan baru genap berumur 30 tahun Desember mendatang, sedangkan pilkada serentak diadakan pada November 2024. Dengan Putusan MA tersebut, maka MA telah memberi karpet merah untuk putra Jokowi tersebut melaju ke Pilkada 2024.

Fakta Demokrasi

Keputusan MA dan (sebelumnya) MK dipandang mendukung strategi rezim untuk melanggengkan kekuasaannya melalui praktik politik dinasti. Rezim hari ini sudah tidak bisa terus berkuasa karena batasan masa jabatan yang hanya dua periode.

Wacana masa jabatan tiga periode pun mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Oleh karenanya, strategi paling logis adalah melalui praktik politik dinasti, yaitu dengan menempatkan anak keturunan pada posisi yang diinginkan.

Inilah praktik politik dalam sistem demokrasi. Ke depan, akan terus terjadi malapraktik kekuasaan oleh penguasa, tetapi malapraktik itu bisa dibuat menjadi legal dengan mengutak-atik aturan. Hal ini bisa terjadi karena sistem demokrasi memungkinkannya.

Kalau sudah begini kekuasaan tidak lagi sesuai khitahnya – untuk mengurusi hajat hidup rakyat, melainkan untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan kroni. Kekuasaan menjadi alat penguasa untuk memperoleh kepentingan dirinya dan kelompoknya.

Kekuasaan ini menabrak apa saja, termasuk hukum, demi meraih tujuan. Sedihnya lagi, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan eksekutif (penguasa) dan legislatif (partai penguasa di parlemen), tetapi juga yudikatif (peradilan). Jadilah keputusan hakim tidak lagi objektif, melainkan disetir oleh kekuasaan.

Kekuasaan Islam dan Keadilan

Membaca fakta di atas, begitu jelas perbedaan kekuasaan Islam dengan kekuasaan hari ini. Dalam sistem pemerintahan Islam, asas kekuasaan adalah akidah Islam sehingga tujuan kekuasaan adalah riayah syu’unil umah (mengurusi urusan rakyat).

Penguasa dalam pemerintahan Islam menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim (rakyat) bukan untuk kepentingan pribadi dan kroni.

Sikap ini lahir dari keyakinan akidah dan menafakuri sabda Nabi yang mulia saw: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Dengan demikian, asas ini mampu mengontrol penguasa agar tidak melakukan malapraktik kekuasaan untuk kepentingan pribadi karena para penguasa takut terhadap adzab Allah Swt. untuk mengkhianati amanah kekuasaan. Wallahu a’lam Bisshawab.[]

Comment