Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T*: Revisi Kurikulum, Upaya Pendangkalan Terhadap Islam?

Opini484 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 183 tahun 2019 tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.

Selain itu, diterbitkan pula KMA 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah.

Semua Madrasah, baik itu Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA), akan memulai tahun ajaran baru dengan menggunakan kurikulum baru PAI dan Bahasa Arab. Hal ini dijelaskan langsung oleh Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag), A Umar (Jurnal Garut, 12/7/2020).

Selain itu, Kemenag pun melakukan revisi terhadap konten-konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran Agama Islam di madrasah. Hal itu ditegaskan dalam Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019.

Dalam salinan surat yang dikutip CNNIndonesia.com disebutkan bahwa Kemenag melakukan revisi terhadap kompetensi inti dan kompetensi dasar (KI-KD) untuk pengarusutamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di satuan pendidikan madrasah.

Revisi kurikulum yang dilakukan Kemenag terkait konten khilafah dan jihad, yakni dengan merubahnya dari pembahasan kitab Fikih ke Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) adalah perkara yang sangat berbahaya. Perubahan ini akan mengakibatkan penyimpangan makna, dari makna yang sebenarnya (makna syar’i). Hukum wajib dalam pandangan syara’ bisa berubah menjadi sunah, mubah atau bahkan hanya sekadar romantisme sejarah.

Pengaburan Makna

Adanya revisi kurikulum agama tersebut adalah salah satu bentuk pengaburan ajaran Islam di negeri ini dengan dalih moderasi beragama dan pencegahan paham radikal. Perubahan pembahasan dari pelajaran Fikih ke SKI akan membuat penyimpangan makna yang sangat fatal.

Kamarudin seperti dilansir cnnindonesia.com, (8/12/2019) mengatakan,  khilafah adalah fakta sejarah yang pernah ada dalam pelataran sejarah peradaban Islam, tetapi tidak cocok lagi untuk konteks negara bangsa Indonesia yang telah memiliki konstitusi (Pancasila dan UUD 45, NKRI dan Bhinneka tunggal ika)” tulis Kamaruddin dalam pesan singkat.

Masih di laman yang sama, Kamaruddin mengatakan bahwa materi khilafah dan jihad tidak dihapus karena merupakan bagian dari sejarah Islam. Namun perlu ada penyesuaian mengikuti perkembangan zaman.

Jika kita cermati pernyataan di atas, sungguh sangat berbahaya. Ada pengaburan makna yang berujung pada pendangkalan ajaran Islam. Padahal ijmak para ulama Aswaja, khususnya Imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali) bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 5/416).

Begitupun dengan pemaknaan kata jihad jika dibahas dari sisi sejarah, mengaburkan kewajiban dan keagungan jihad. Kita memahami bahwa seluruh ulama membahas perkara jihad dalam kitab fikih, bukan sejarah. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 15/170, “Maksud dan tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan agama seluruhnya hanya untuk Allah.” Al- hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalani, “Jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir.” (Fat-hul Baari (VI/3), cet. Daarul Fikr). Artinya, hukum jihad adalah wajib sesuai dengan dalil syar’i, bukan hanya sekadar dipahami secara bahasa yakni bersungguh-sungguh.

Terkait dengan ajaran Islam seperti salat, puasa, zakat, haji, dan yang lainnya sudah diatur dengan sangat detil dalam kitab-kitab Fikih. Pun dengan ajaran Islam lainnya seperti khilafah dan jihad. Khilafah adalah kepemimpinan umum pemerintahan Islam yang meliputi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Sangatlah keliru, jika hari ini masih ada saja yang menganggap khilafah adalah paham (khilafahisme). Begitupun dengan keagungan jihad yang begitu luar biasa. Ini menandakan bahwa umat tidak paham akan agamanya sendiri dan buta dengan sejarah.

Kesemua ajaran Islam tersebut jika dilakukan dengan ikhlas dan benar sesuai dengan hukum syara’, akan mendatangkan pahala dan keberkahan hidup di dunia dan di akhirat.

Sebaliknya jika ditinggalkan, akan mendapatkan dosa jika itu adalah perkara wajib. Disinilah letak urgennya kita memahami makna syar’i ajaran Islam tersebut, sebagai bukti ketaatan kepada Sang Pencipta.

Selanjutnya, hikmah di balik ketaatan tersebut adalah kehidupan yang berkah, yakni ketenteraman hidup bagi semua makhluk.

Perpaduan antara ketakwaan individu, pemimpin yang amanah, dan aturan Sang Khalik sebagai Al-Mudabbir yang diterapkan negara, meniscayakan terciptanya ketenteraman hidup untuk semua. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 32, yang artinya:
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.” Wallahua’lam bishshowab.[]

*Dosen dan Pemerhati Sosial

Comment