Fatherless: Keberadaan Ayah, Ada Bak Tiada

Opini292 Views

 

Penulis: Rizki Utami Handayani, Amd.Keb., S.ST. | Pengajar Cinta Quran Center

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Nama “ayah” sejatinya akan selalu terpatri di hati istri dan anak-anaknya ketika perannya hadir sebagaimana mestinya — menunaikan amanah qawamah (kepemimpinan) dengan sebaik-baiknya. Namun kini, istilah fatherless justru lebih akrab di telinga. Sebuah kondisi ketika seorang anak tumbuh tanpa figur ayah, baik secara fisik maupun emosional.

Hal ini bisa terjadi karena kematian, perceraian, penelantaran, atau karena sang ayah hadir secara fisik tetapi absen dalam pengasuhan. Fenomena ini sering disebut pula sebagai father absence atau father loss dan memiliki dampak besar bagi perkembangan anak.

Menurut data UNICEF tahun 2021, sebanyak 20,9 persen anak Indonesia tergolong fatherless. Kompas mencatat, dari 15,9 juta anak yang tumbuh tanpa figur ayah, sekitar 4,4 juta tinggal di keluarga tanpa kehadiran ayah.

Hal yang lebih mengejutkan, 11,5 juta anak lainnya justru hidup bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu—lebih dari 12 jam per hari. Artinya, sebagian besar waktu ayah dihabiskan di luar rumah.

Bahkan ketika di rumah, tidak semua ayah memiliki waktu berkualitas untuk berinteraksi dan membangun kedekatan dengan anak-anaknya.

Beragam penelitian menunjukkan dampak serius dari kurangnya peran ayah dalam pengasuhan. Anak menjadi mudah labil secara emosi, memiliki harga diri rendah, berpotensi melakukan kenakalan remaja, kesulitan belajar, serta kurang memiliki model peran maskulin.

Dalam jangka panjang, hal ini juga dapat memicu perilaku berisiko dan lemahnya kemampuan sosial.

Padahal, keterlibatan ayah sangat menentukan lahirnya generasi yang kuat secara mental, moral, dan spiritual. Ayah dan ibu memiliki kontribusi unik yang tak saling tergantikan dalam pembentukan karakter anak.

Fenomena fatherless di Indonesia banyak berakar dari kesibukan para ayah mencari nafkah. Sistem hidup kapitalistik menuntut manusia bekerja tanpa henti demi bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi.

Akibatnya, waktu dan energi ayah terkuras di dunia kerja, sementara ruang kebersamaan dengan keluarga semakin menyempit. Banyak ayah menganggap tugasnya selesai ketika mampu memberi nafkah materi, padahal tanggung jawab sejatinya jauh lebih luas.

Fungsi qawwam—yakni pemimpin, pelindung, sekaligus pemberi rasa aman bagi keluarga—perlahan memudar. Tak sedikit pula ayah yang menghindar dari kewajiban menafkahi, padahal dalam Islam, nafkah yang tak terpenuhi akan menjadi tanggungan yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalam pandangan Islam, laki-laki berperan sebagai ayah sekaligus qawwam dalam keluarga. Ia bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pelindung, pendidik, dan teladan bagi anak-anaknya.

Ayah bertanggung jawab memastikan kesejahteraan lahir batin keluarganya serta hadir sebagai pendidik terbaik. Ibnu Qayyim rahimahullah dalam Tuhfatul Maudud mengingatkan;

“Betapa banyak ayah yang menjerumuskan anaknya ke dalam kesengsaraan dunia dan akhirat karena lalai mendidik dan lebih memfasilitasi syahwatnya. Ia mengira telah memuliakannya, padahal telah merendahkannya.”

Dalam Islam, ayah dan ibu memiliki peran yang sama-sama penting untuk membangun keluarga yang kokoh. Ayah menjadi teladan dan pelindung, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Luqman yang bijak mendidik putranya. Sementara ibu berperan sebagai pengasuh, pendidik, dan penjaga kasih sayang di rumah.

Untuk menjaga keseimbangan peran ini, negara dalam sistem Islam berkewajiban menyediakan lapangan kerja yang layak, agar para ayah tidak harus mengorbankan waktu kebersamaan demi memenuhi kebutuhan hidup.

Lebih dari itu, Islam juga mengenal sistem perwalian yang menjamin setiap anak memiliki figur pelindung dan pembimbing, sehingga tidak ada anak yang kehilangan arah tumbuh kembangnya. Setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan terbaik, baik dari orang tuanya maupun walinya jika orang tua telah tiada.

Karena itu, sudah seharusnya kita mempelajari kembali konsep pengasuhan dalam Islam dan berupaya menerapkannya, bukan hanya di tingkat keluarga tetapi juga dalam kebijakan negara.

Sebab dari pelukan ayah yang hangat dan bimbingannya yang kokoh, akan lahir generasi tangguh yang menegakkan peradaban. Wallahu a‘lam bishshawab.[]

Comment