RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Langkah strategis pemerintah bersama DPR RI dalam upaya mendorong transisi energi bersih di Indonesia dilakukan melalui penyusunan draft Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBET). Draf RUU EBET yang merupakan inisiatif DPR RI dan telah disampaikan kepada Pemerintah pada 29 Juni 2022.
Namun, sampai saat ini Pemerintah belum juga menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) atas RUU inisiatif DPR tersebut meskipun telah melewati tenggat waktu pada 27 Agustus 2022.
Di satu sisi, kehadiran UU EBET itu nantinya diharapkan akan menjadi kebijakan pamungkas yang dapat mengakselerasi peningkatan bauran energi bersih. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran adanya upaya membuka lebar ruang liberalisasi sektor ketenagalistrikan melalui skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik baik infrastruktur transmisi maupun distribusi.
Arah Kebijakan Transisi Energi
Dalam presentasinya, Hendra Iswahyudi (Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM)
menyampaikan bahwa transisi energi mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kecukupan, keandalan, keberlanjutan, keterjangkauan, dan keadilan.
Hendra menambahkan, posisi bauran energi terbarukan Indonesia saat ini masih di level 12-13 persen. Percepatan transisi energi terus dilakukan antara lain melalui pembangunan PLT EBT on grid, implementasi PLTS Atap, konversi PTD ke PLT EBT, mandatori B30 dan lain sebagainya.
Selain itu, lanjutnya, Pemerintah juga
telah menerbitkan Perpres No.112 Tahun 2022 sebagai penguatan regulasi dalam percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.
“Sejauh ini, realisasi penurunan emisi GRK sektor energi semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021, sektor energi berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 70 Juta ton CO2e.” Ujarnya dalam FGD yang diselenggarakan INDEG secara daring, Rabu (23/11/2022).
Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI menjelaskan bahwa DPR berkomitmen memberikan dukungan politik terhadap transisi energi, terutama untuk mewujudkan keadilan listrik. Apalagi
Institute for Development of Economics and Finance (IMDEF) mencatat masih terdapat desa-desa yang belum mendapatkan listrik di tengah kondisi surplus di Jawa dan Sumatera. Sehingga transisi energi juga harus mempertimbangkan aspek keadilan energi.
“DPR RI mendukung pengembangan energi bersih dari jenis apapun sepanjang harga listrik terjangkau bagi masyarakat”, Ujarnya.
Dukungan riil DPR yaitu RUU EBET yang merupakan inisiatif dari Komisi VII DPR RI. Namun, sampai saat ini DPR RI masih belum menerima DIM dari Pemerintah padahal di dalam UU P3 Tahun 2022 (pasal 45) menyatakan bahwa pemerintah menerbitkan surat presiden yang menunjuk menteri yang bertanggung jawab paling lama 60 hari dan wajib menyertakan DIM.
Faisal Basri, Ekonom Senior INDEF memaparkan bahwa tren transisi energi di level global menunjukkan kenaikan, namun di Indonesia masih stagnan.
Data membuktikan bahwa biaya
renewable energy dunia cenderung menurun, tetapi anehnya di Indonesia justru mahal, tentu ada yang salah. Energi surya terus dimanfaatkan negara-negara dunia antara lain di China, Jepang, Jerman, Amerika, India.
Tetapi Indonesia masih kecil sekali pemanfaatan PLTS, bahkan lebih kecil dibandingkan Vietnam. Selain itu, berbagai negara yang berhasil
menurunkan emisi memperlihatkan dampak postif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Abra Talattov, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) INDEF yang hadir dalam FGD tersebut menyampaikan bahwa transisi energi perlu didukung sebagai wujud komitmen terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Namun, tambah Abra, ambisi dalam mendorong transisi energi sudah seharusnya dilaksanakan secara rasional, bertahap, dan terukur dalam rangka menjaga ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Transisi energi di Indonesia menghadapi
tantangan besar berupa missmatch antara pasokan dengan permintaan listrik sehingga menimbulkan kondisi oversupply yang besar.
Oleh karena itu, tambahnya, kebijakan transisi energi semestinya jangan hanya berfokus pada sisi supply, tetapi juga harus memperhitungkan sisi demand yang saat ini realisasinya masih jauh lebih rendah dari asumsi pemerintah.
Latar Belakang dan Implikasi Skema Power Wheeling
Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI mempertanyakan munculnya klausa skema power wheeling dari Pemerintah di dalam RUU EBET. Apakah karena adanya pasal tambahan tersebut yang menyebabkan pembahasan DIM di internal Pemerintah alot sehingga tidak
kunjung diserahkan kepada DPR RI?
Kalaupun Pemerintah menganggap skema power wheeling baik-baik saja, tetapi DPR tidak setuju karena di tengah kondisi pasokan listrik yang surplus maka bisa diambil oleh swasta dan PLN bisa hancur.
“Kami tidak ingin transmisi diliberalisasi dan sudah seharusnya penguasaan dan pengelolaan dilakukan oleh negara.” Ujar Mulyanto.
Hendra Iswahyudi (Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Energi Baru,
Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM) menjelaskan latar belakang usulan penerapan skema power wheeling antara lain sebagai signal positif pada pasar global tentang3
keseriusan Indonesia mendukung prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) menuju ekonomi hijau. Selain itu, mengacu pada pengalaman implementasi RUPTL, sangat sulit
untuk mencapai sukses rasio yang tinggi, sehingga Power Wheeling dapat menjadi
akselerator penerapan EBT.
Lalu sebagai back-up plan apabila PLN tidak dapat menyediakan listrik hijau. Kemudian sebagai antisipasi perkembangan perdagangan listrik hijau lintas kawasan ASEAN (connectivity), Indonesia sangat berpotensi menjadi eksportir listrik EBT di kawasan ASEAN, sehingga perlu kesiapan infrastruktur pendukung dan mekanisme yang fleksibel. Potensi power wheeling ini diminati oleh banyak perusahan termasuk yang concern dengan green energy.
Faisal Basri, Ekonom Senior INDEF menegaskan bahwa skema power wheeling memang bentuk privatisasi dan liberalisasi terselubung. Indonesia harus belajar dari pengalaman
negara-negara yang galam dalam melakukan privatisasi di sektor ketenagalistrikan, di mana pernah terjadi blackout di California akibat kebangkrutan pembangkit listrik swasta.
Selain itu, skema power wheeling juga justru bisa memperkuat dominasi oligarki yang berganti kulit karena di dalam RUU EBET masih diakomodir gasifikasi batubara. Jadi seharusnya Energi Baru dihilangkan saja dan di dalam RUU cukup dengan Energi Terbarukan.
Abra Talattov, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) INDEF menyampaikan beberapa catatan kritis terkait implikasi skema power wheeling terhadap sektor ketenagalistrikan nasional. Pertama, usulan skema power wheeling sebagai “pemanis” atau sweetener dalam menstimulasi investasi pembangkit EBT tidak memiliki urgensi sama sekali. Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, Pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)
2021-2030. Dalam RUPTL paling green itu, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW) dengan porsi swasta mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.
Artinya, dengan menjalankan RUPTL 2021-2030 secara konsisten saja, secara alamiah bauran pembangkit EBT hingga akhir 2030 akan mencapai 51,6 persen.
Kedua, ide penerapan skema power wheeling menjadi tidak relevan mengingat saat ini beban negara yang semakin berat menahan kompensasi listrik akibat kondisi oversupply listrik yang terus melonjak. Saat ini kondisi sektor ketenagalistrikan sangat miris karena terjadi disparitas yang lebar antara supply dan demand listrik yang mana diproyeksikan kondisi oversupply
listrik tahun 2022 akan menyentuh 6-7 GW. Situasi oversupply listrik tersebut berpotensi makin membengkak karena masih adanya penambahan pembangkit baru hingga 16,3 GW pada 2026 sebagai implikasi dari megaproyek 35 GW.
Kondisi besarnya over supply listrik
tersebut juga tidak lepas dari melesetnya asumsi pertumbuhan demand listrik yang mana4 pada RUPTL 2019-2028 ditargetkan pertumbuhan demand rata-rata 6,4 persen per tahun.
Namun, realisasinya selama 2015-2021 rata-rata hanya 3,5 persen per tahun. Tidak hanya itu, imbas skema power wheeling juga akan meningkatkan risiko oversupply listrik akibat tergerusnya demand listrik PLN baik organic demand maupun non-organic demand.
Ketiga, risiko melonjaknya oversupply listrik sebagai implikasi skema power wheeling selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara. Di tengah kondisi oversupply listrik sebesar 1 GW saja, biaya yang harus dikeluarkan tax payers melalui kompensasi kepada PLN atas konsekuensi skema Take or Pay mencapai Rp3 triliun per GW.
Tidak hanya itu, risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit
listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermittent. Implikasinya, akan timbul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem sehingga setiap masuknya 1 GW
pembangkit power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya Take or Pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.
Artinya jika asumsikan rata-rata oversupply listrik sebesar 6-7 GW per tahun, maka potensi oversupply selama 2022-2030 mencapai 48 GW – 56 GW atau setara dengan tambahan biaya Rp165-192 triliun.[]
Comment