Haji Dan Kesatuan Politik Islam

Opini511 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S. Si, Pendidik Generasi

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Haji merupakan ibadah global bagi seluruh kaum muslim di dunia. Rukun Islam yang kelima ini wajib ditunaikan oleh kaum muslimin yang mampu di mana pun mereka berada.

Hanya saja proses penyelenggaraan yang rumit menjadikan kaum muslimin kesulitan untuk menunaikan kewajibannya. Hal ini bermula ketika umat Islam kehilangan perisai yang menjadi pemersatu mereka. Ya, sejak keruntuhan institusi politik Islam yang biasa dikenal dengan istilah khilafah Islamiyah sirna maka umat Islam terpecah belah menjadi puluhan negara bangsa.

Atas nama nationstate ibadah haji menjadi urusan antarnegara dan diikat oleh aturan-aturan antarnegara. Mulai dari urusan visa, pembagian kuota, urusan pembiayaan, panjangnya antrean, kacaunya pengelolaan dan sebagainya. Walhasil, ibadah haji menjadi hal yang tak mudah untuk dilakukan sekalipun sebagian besar kaum muslimin memiliki kemampuan karena tersandra oleh sistem regulasi.

Sebagaimana yang baru-baru ini terjadi. Ironis memang, ketika Pemerintah Saudi berniat baik untuk menambah kuota haji sebanyak 10.000 jamaah Indonesia yang semestinya diapresiasi, namun justru ditolak oleh Kementerian Agama (Kemenag) tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyampaikan seharusnya tambahan kuota haji untuk Indonesia diapresiasi dengan baik dan tidak secara sepihak ditolak tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR. Apalagi ternyata persetujuan penambahan dari pihak Saudi itu sudah cukup lama disampaikan secara resmi, yaitu sejak tanggal 21 Juni 2022. Sehingga kalau dianggap mepet dari sisi waktu, mestinya sejak saat itu bisa segera dibahas bersama Komisi VIII DPR-RI. Tapi sayangnya, rapat yang sudah diagendakan, malah dibatalkan (detiknews.com).

Selama ini kami di komisi VIII DPR-RI mengusulkan agar Pemerintah melakukan lobi tingkat tinggi ahar mendapatkan kuota haji yg bertambah, juga menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia agar ada penambahan kuota haji sehingga bisa memangkas lama antrean jamaah. Ketika Pemerintah Saudi memberikannya, aneh sekali malah ditolak oleh Kementerian Agama, tanpa dibahas secara resmi dan tanpa melalui persetujuan formal dengan Komisi VIII DPR RI. Tentu hal ini sangat disayangkan,” lanjutnya Hidayat Nur Wahid yang sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang membidangi urusan Agama (mpr.go.id).

Sungguh sangat disayangkan ketika pemerintah Indonesia tidak mengambil tambahan kuota haji karena minimnya kemampuan dan lemahnya diplomasi kepada Pemerintah Saudi untuk mempercepat proses berkaitan visa.

Panjangnya antrian haji dan rumitnya regulasi pelaksanaan ibadah haji serta posisi diplomasi Saudi-Indonesia menegaskan bahwa urusan haji sangat membutuhkan kesatuan politik umat Islam.

Dengan politik Islam seorang pemimpin akan membuat regulasi haji yang melayani seluruh jamah haji secara maksimal tanpa terkendala dengan urusan diplomasi, visa, antrean panjang, kuota, dll.

Dalam sistem Islam,  dihapus sekat-sekat negara bangsa yang semakin merumitkan segala urusan. Selain itu akan ditetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional, dengan begitu prosesnya tidak akan rumit.

Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.

Kedua, negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji) berdasarkan jarak tempat tinggal jamaah dengan tujuan haji. Namun harus dipahami bahwa terdapat paradigma mendasar bahwa haji tidak menggunakan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Hal ini sangat mungkin diwujudkan tersebab konsekuensi dari hukum syariat tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara.

Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah. Pertama, kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup artinya siapa saja yang belum menunaikannya akan diprioritaskan dibandingkan yang sudah pernah berangkat. Kedua, kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan, merekalah yang akan diutamakan.

Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah—Madinah. Tentu dimaksudkan untuk memberikan pelayanan maksimal kepada seluruh jamaah haji.

Demikianlah negara Islam memberikan pengaturan semata-mata untuk memainkan perannya sebagai riayah su-un al ummah sehingga kaum muslim mampu menunaikan kewajibannya.

Berbagai kemudahan tadi hanya jika umat Islam berada dalam satu kepemimpinan institusi politik Islam. Wallahu ‘alam bi as-Shawab.[]

Comment