Diskusi Publik
INDEF DAN CONTINUUM BIG DATA
“Netralitas Presiden, Abuse of Power dan Penodaan Demokrasi”
Minggu, 14 Mei 2023
Indef
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indef dan Continuum Big Data Gelar Diskusi Publik,”Netralitas Presiden, Abuse of Power Dan Penodaan Demokrasi” secara daring, Ahad (14)5)2023).
Hadir dalam diskusi tersebut para pembicara yang mumpuni seperti Dr Wijayanto, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi, Maisie Sagita, Peneliti/Data Analyst Continuum INDEF.
Diskusi tersebut dimoderatori oleh Felia Pratikasari, Business Dev. Continuum INDEF.
Dalam kesempatan diskusi politik nasional tersebut, Prof Dr Didik J Rachbini, Ekonom Senior INDEF, Pendiri Continuum Big Data hadir memberi sambutan.
Maisie Sagita mengatakan bahwa analisa atas hasil riset Continuum big data dilatarbelakangi oleh pemanggilan ketua-ketua partai politik ke istana yang memicu beragam pendapat di masyarakat atas “Politik Cawe-cawe Jokowi” tersebut.
Kontroversi atas tindakan Jokowi tersebut akan mempengaruhi citra politik dari berbagai pihak, baik yang terlibat langsung ataupun tidak. Padahal citra politik inilah yang berusaha dibangun oleh tokoh atau ketua partai politik mengingat semakin mendekatnya pemilu 2024.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana penilaian publik tindakan Jokowi itu? sebuah langkah wajar ataukah kurang tepat?
Maisie menambahkan, untuk menjawab hal tersebut continuum big data menggunakan social network analysis dari analisa big data media sosial twitter karena dapat merepresentasikan opini publik secara real time. Cepat dan nyata. Selain itu twitter juga salah satu media sosial yang popular. Opini tersebut kemudian disaring dari buzzer dan media agar dapat dicapai opini publik yang seutuhnya.
Setelah disaring maka didapat hasil sebagai berikut :
Dari hasil data perbincangan masyarakat 28 April – 8 Mei 2023 didapat 15.598 twitt yang dipost oleh sekitar 12.144 user. 75,5 % pengguna twitter berlokasi di Pulau Jawa.
Trend perbincangan 2 – 6 Mei 2023 menjadi ramai karena twit dari Denny Indrayana yang mempertanyakan kenetralan seorang presiden yang dinilai ikut cawe-cawe dalam pilpres 2024. Menurut publik atas pertanyaan apakah wajar seorang presiden memanggil ketua partai politik ke istana untuk urusan pilpres.
Dari hasil analisis yang didapat 92% dari 15.598 perbicangan masyarakat di internet mengeluhkan tindakan Jokowi yang memanggil Ketua Umum Parpol ke istana. 79,4% publik berpendapat seharusnya presiden bersikap netral (52,4%) dan tak gunakan istana untuk kepentingan pribadi (27%). Adapula yang menyoroti tindakan Jokowi yang tidak mengundang Nasdem seakan sedang bermusuhan dan bukan bagian dari koalisi (8,7%).
Akun-akun yang dominan dalam mengkritik Jokowi di antaranya adalah akun @abu_waras dan akun @dennyindrayana. Sedang yang membela jokowi mengatakan cawe-cawe itu wajar kewajiban presiden (8%) dan membandingkan dengan SBY di antaranya akun @tedgus.
Meisie mebyimpulkan bahwa pemanggilan ketua umum parpol oleh presiden menimbulkan polemik dan perbicangan di internet. 2% masyarakat di internet mengeluhkan tindakan Jokowi yang memanggil ketua umum parpol ke istana 3. 79,4% publik menilai presiden seharusnya bersikap netral dan tidak menggunakan istana untuk kepentingan pribadi.
Sementara itu, Dr Wijayanto mengatakan bahwa isue cawe-cawe presiden dalam urusan pilpres 2024 adalah isu yang begitu terang benderang sehingga saking terangnya banyak publik seakan tidak menyadari di mana kesalahannya.
Ada seorang presiden aktif yang masih menjabat tapi berpihak kepada tokoh-tokoh tertentu namun tidak ada yang membicarakan hal itu.
Wjayanto menambahkan, jika dilakukan flashback sebuah film ihwal Jokowi yang dalam kisahnya akan bercerita sejak awal diangkat menjadi presiden dan menjelang masa jabata berakhir hal mana akan berakhir husnul khotimah ataukah suúl khotimah dalam (Islam).
Jokowi punya piihan dan kemampuan untuk mencatatkan dirinya dalam altar sejarah sesuai pilihan langkah dan tindakannya pada akhir periode.
Jokowi yang dulu (2014) begitu dielu-elukan sebagai presiden yang bukan dari pusaran elit atau darah biru, antithesis kemapanan, antises oligarki. Banyak orang kagum akan “prestasi” Jokowi di Solo dan DKI. Apalagi lawan pilres 2014 jokowi adalah Prabowo yang punya jejak negatif terkati HAM.
Namun lanjut Wijayanto, ada plot twist bak alur cerita film, di mana tokoh yang dianggap akan membawa perubahan ini ternyata membuat banyak pihak kecewa. Jokowi yang semula dianggap bisa mewujudkan nilai-nilai yang diyakini bersama tentang demokrasi, lingkungan, HAM, politik hijau dsb. Namun ternyata terjadi plot twist di mana Jokowi ternyata terlalu fokus pada pembangunan infrastruktur (bak orde baru) dan lupa pada masalah HAM, demokrasi, kelestarian lingkungan dan lain-lain.
Sejak menyadari plot twist pada 2016 maka berbagai pakar politik dunia mulai melakukan kajian tentang demokrasi yang mengalami kemunduran dan mengalami putar balik (reverse) ke arah otoriterisme di masa jokowi. Bagaimana istana mencampuri urusan partai-partai politik dan melakukan pelemahan terhadap oposisi yang dilakukan secara sistematis.
Pada saat itulah, berbagai ahli dan LP3ES juga menyebutkan studi demokrasi Indonesia 5-8 tahun terjadi democratic decline, reverse demokrasi. Yang menarik, kemunduran dan putar balik demokrasi ke arah otoriterisme itu bukan disebabkan oleh terjadinya kudeta militer, tapi terjadi oleh aktor-aktor yang semula terpilih menjadi pemimpin karena proses demokrasi dan terpilih secara demokratis, lalu kemudian berbalik memunggungi demokrasi.
Paada 2019 presiden jokowi katakana bahwa itu periode yang tanpa beban pada period ke 2. Ternyata pada periode ke 2 kondisi malah semakin parah. Terlihat pemerintah bersama DPR melakukan pelumpuhan terhadap KPK sebagai anak kandung reformasi dengan revisi UU KPK. Terjadi penggunaan buzzer/cybertroops dalam proses pelemahan KPK, akademisi yang mendapat teror politik, diretas website/WA karena aksi menolak revisi UU KPK.
UU Omnibus Law yang dinyatakan tidak konstitusional oleh MK juga kemudian diganti seenaknya dengan Perppu Ciptaker, hakim MK yang menginisiasi langkah MK kemudian diganti. Lalu membuat UU IKN disahkan, memindahkan ibukota tanpa konsultasi publik terlebih dulu. Tanpa beban membangun dinasti politik melalui putra dan menantunya yang masuk ke politik. Lalu juga tanpa beban ingin memperpanjang kekuasaan (3 periode) dengan segala cara termasuk usulkan amandemen konstitusi. Kemudian muncul wacana penundaan pemilu dengan berbagai alasan.
Karena parpol-parpol menolak perpanjangan periode dan ingin adanya pemilu 2024, maka langkah berikutnya adalah sebagaimana yang diteliti oleh continuum big data perihal “cawe-cawe jokowi” dalam pilpres 2024. Untuk menjadi King Maker dan mendukung calon presiden yang didukungnya pada pemilu 2024 tanpa melibatkan kawan koalisi Nasdem.
Timbul pertanyaan kemudian apakah pantas seorang presiden yang masih aktif menjabat lalu ikut aktif dalam urusan di luar tugasnya sebagai seorang kepala negara yang seharusnya fokus pada bidang pekerjaannya, daripada ikut sibuk dalam mempersiapkan capres yang didukungnya? Apakah hal itu tidak menjadi batu sandungan bagi terwujudnya sebuah pemilu yang demokratis?
Salah satu yang menyebabkan demokrasi akan mati adalah diabaikannya aturan main demokratis. Hari-hari ini kita lihat presiden sedang menerabas aturan main demokratis yang mana seharusnya dia bertindak netral dalam pemilu.
“Hal itu jelas tidak dibenarkan dalam konstitusi karena presiden mengemban amanah dari rakyatnya untuk berlaku adil dan tidak berpihak tanpa kecuali. Dan Pemilu dalam konstitusi diatur harus berlangsung secara demokratis.” Imbuhnya.[]
Comment