Oleh: Ns. Sarah Ainun, S.Kep., M.Si, Penggiat Literasi
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Iklim demokrasi yang mengagung-agungkan kebebasan telah menciptakan ruang kebebasan yang tidak memiliki batasan sama sekali. Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat atau menyampaikan pikirannya secara terang-terangan dan terbuka di ruang publik manapun, sekalipun itu ekspresi mengandung kebencian terhadap suatu golongan, ras, ataupun agama tertentu.
Terbukti! bukan sekali dua kali ujaran berupa kebencian terhadap agama, khusunya Islam yang datang dari para influenzeer, youtuber, tokoh agama, bahkan dari kalangan intelektual berupa penghinaan, pelecehan dan pelabelan negatif terhadap Islam dan pemeluknya telah membuat kegaduhan serta mengusik kedamaian dan kenyamanan umat Islam menjalankan ajaran agamanya.
Seperti dikutip fajar.co.id (2/05/2022), seorang intelektual yang memiliki sederet gelar dan jabatan penting telah membuat kontroversial, usai menulis sebuah artikel yang diunggah di media sosial facebooknya pada 27 April yang lalu mengandung diskriminasi suku, ras, agama, antargolongan (SARA).
Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Budi Santosa Purwokartiko yang juga sebagai penyeleksi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini, akui mahasiswa yang diwawancarainya ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri tidak pernah berbicara soal agama. Seperti kehidupan setelah mati. “Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi…”. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: insaallah, barakallah, syiar, gadarullah, dsb” sindir Rektor ITK ini.
Sementara itu, dia menyindir kerudung dan jilbab sebagai pakaian manusia gurun. “Mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind” katanya. “Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita tanpa karya teknologi,” tuturnya lagi.
Bisa dirasakan, pernyataan Rektor ITK ini merupakan narasi yang mengandung perasaan kebencian terhadap ajaran agama Islam dan pemeluknya (Islamophobia) dan penghinaan terhadap RAS dengan melabeli seorang mahasiswi yang memakai jilbab dan kerudung karena ketaatannya terhadap ajaran agamanya sebagai “manusia gurun”.
Pernyataanya tersebut secara tidak langsung menunjukan sikap anti terhadap mahasiswa yang mengucapkan kata-kata langit, sementara mahasiswi yang tidak berkerudung dan berjilbab sebagai orang-orang yang otaknya openmind. Jelas sekali sikap diskriminatif yang muncul akibat adanya phobia Islam ini tidak bisa dibiarkan apalagi di dunia atau lingkungan pendidikan.
Beberapa pihak menyayangkan serta geram dengan sikap dan pernyataan yang datangnya dari seorang profesor dan guru besar di ITK ini.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, seperti dikutip fajar.co.id (2)5/2022) menilai pernyataan Budi ini merupakan ideologi Islamophobia dan orang-orang terpapar Islamofobia ini segera harus dihentikan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhammad Cholil Nafis, sebagaimana dilansir CNN Indonesia (30/4/2022) menilai sikap rasialisme Rektor ITK ini harus diberikan Tindakan tegas dan pelajaran.
Intelektual dan gelar besar ternyata tidak berbanding lurus dengan kapasitas intelektual yang mencerminkan sikap baik, arif serta menempatkan diri dan hidup cenderung pada kebaikan. Karena bukan jaminan para intelektual yang memiliki kecerdasan tinggi menjadi standar sukses dalam hidup bermartabat di sisi manusia maupun Allah Swt.
Sekurangnya ada tiga dasar kecerdasan dalam diri manusia, para ilmuan sendiri mengklasifikasikanya sebagai Intelligence Quotients (IQ), Emotional Quotients (EQ) dan Spiritual Quotients (SQ). Untuk melahirkan pribadi yang utuh maka tiga kecerdasan ini haruslah bersinergi satu sama lainnya.
Sebagaimana tersirat di dalam Al’Qur’an yang menghubungkan tiga kecerdasan tersebut dengan unsur jasad/jasmani yang membutuhkan IQ, unsur nafsiyah yang membutuhkan EQ dan unsur rohani yang membutuhkan SQ.
Untuk mencetak intelektual dengan kecerdasan dan pribadi yang utuh maka tidak bisa tidak, manusia harus hidup dalam sistem Islam yang menempatkan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai puncak kecerdasan atau kecerdasan yang paling tinggi.
SQ yang merupakan pertanyaan who i am (siapa saya?) dan untuk apa saya hidup? Menjawab manusia bukan hanya sebagai mahluk individu dan sosial namun juga sebagai mahluk ciptaan Allah, akan senantiasa menempatkan diri sebagai hamba yang taat dan tunduk terhadap aturan (syariat) Allah Swt.
Sementara kecerdasan intelektual (IQ) hanyalah potensi yang dimiliki manusia yang digunakan untuk memperoleh puncak kecerdasan (SQ) sehingga menilai dan memaknai hidup secara utuh/hakiki, tidak hanya dibatasi oleh kehidupan dengan dimensi dunia saja. Kecerdasan SQ melahirkan intelektual/ulama sebagai orang-orang yang paling besar ketundukan dan takut pada murka Rabb nya.
Tidak seperti hidup dalam sistem sekuler saat ini, yang tidak mau hidup diatur dengan syariat Islam. Mereka bahkan berpikir bahwa aturan yang diturunkan oleh Allah Swt untuk mengatur kehidupan manusia adalah sebagai penghalang kemajuan peradaban. Membangun pola pikir seperti ini akan menjadikan IQ di atas segala-galanya dan secara perlahan-lahan akan menyingkirkan SQ.
Maka, tidak heran narasi-narasi negatif terhadap ajaran Islam yang gencar dan massif terus digaungkan tujuanya tidak lain untuk menyebarkan Islamophobia ke seluruh negeri.
Inilah bukti intelektualitas produk spirit sekulerisme yang melahirkan mentalitas para intelektual pengidap Islamophobia. Spirit sekulerisme menciptakan mahluk individualis dan didominasi oleh sikap angkuh yang menilai prestasi unggul dari prestasi akademik, bahkan menganggap manusia cerdas adalah para penolak ketaatan pada agama.
Sistem sekuler ini terbukti tidak mampu memberikan sanksi hukum yang tegas dan memberikan efek jera terhadap para pelaku penghinaan, pelecehan dan penistaan agama. Kejadian ini terus berulang dan tidak jarang selesai hanya dengan klarifikasi pernyataan dan permintaan maaf dari pelaku. Sehingga terus membuka ruang bagi orang lain untuk mengulanginya dengan dalih kebebasan.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadikan sistem sanksi (Uqubat) bagi pelaku penghinaan, pelecehan, dan penistaan agama menimbulkan efek jawajir bagi masyarakat (pencegah) dan sebagai jawabir (penebus hukuman di akhirat) bagi pelaku. Sehingga hukuman bagi penista agama dalam sistem sanksi Islam sudah jelas termasuk kedalam sanksi ta’zir hal ini merujuk pada:
Al-Maliki menyebutkan, “Siapa yang merendahkan Al-Qur’an, atau sejenisnya, atau mengingkarinya satu huruf darinya, atau mendustai Al-Qur’an, atau bahkan sampai membuktikan apa yang diingkari, maka termasuk kafir menurut sebagian ulama”.
Dalam Fatawa al Azhar juga disebutkan: ”Barangsiapa yang melaknat agama Islam, maka hukumnya kafir dan murtad dari agama Islam tanpa ada perbedaan pendapat.”
Namun sanksi tegas bagi pelaku penista agama ini tidak bisa dilakukan oleh individu atau pun kelompok. Sanksi tegas ini hanyalah bisa terlaksanakan dalam institusi politik Islam yang menerapkan syari’at Islam secara kaffah.
Sudah seharusnya umat Islam menjadi umat yang cerdas dengan memilih untuk kembali kepada Islam. Hanya Islam yang bisa menjadikan manusia sebagai hamba Allah Swt secara utuh bukan sebagai hamba dunia dengan mengagungkan negara maju dan teknologi. Hanya sistemIslam yang dapat menjalakan seluruh ajaran Islam secara kaffah dengan damai dan nyaman. Sistem Islam juga menutup celah tumbuh dan berkembangnya pelaku penghina, peleceh dan penista agama yang memecah belah umat.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “sesungguhnya kami hanyalah besenda gurau dan bermain-main saja” katakanlah; “apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”(QS. At-Taubah: 65).[]
Comment