Penulis: Cut Intan Sari | Pegiat Literasi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Belakangan, sederet kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa perempuan menjadi viral di media sosial dan menarik perhatian publik. Kasus ini mengungkapkan sebuah realitas pahit yang masih menjadi momok bagi banyak perempuan di Indonesia.
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) selama 20 tahun sejak 2024, masalah KDRT masih tetap menjadi ancaman signifikan bagi perempuan dan anak-anak di tanah air.
Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, angka kekerasan terhadap istri (KTI) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sepanjang tahun 2023, Komnas Perempuan mencatat sebanyak 674 kasus kekerasan terhadap istri, sedangkan Lembaga Layanan mencatat 1.573 kasus.
Selain itu, data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per Rabu, 14 Agustus 2024, mencatat total 9.531 kasus kekerasan dalam rumah tangga. Data ini tersedia secara real-time melalui situs Simfoni PPA, memberikan gambaran yang jelas tentang prevalensi KDRT di Indonesia.
KDRT merupakan masalah serius yang melibatkan berbagai bentuk kekerasan, termasuk fisik, psikis, seksual, dan penelantaran ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan ini dapat mengakibatkan luka fisik, trauma emosional, depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. Dalam kasus ekstrem, KDRT dapat berujung pada kematian, baik karena pembunuhan maupun bunuh diri.
Motif di balik KDRT tidak lagi terbatas pada masalah ekonomi, perselingkuhan, adiksi terhadap narkoba, atau ketidakcocokan pasangan. Dalam era digital saat ini, faktor-faktor baru juga berperan dalam meningkatnya kasus KDRT.
Liberalisasi digitalisasi, maraknya konten pornografi dan pornoaksi yang beredar di media sosial, serta maraknya judi online dan pinjaman online (pinjol), turut memicu terjadinya KDRT. Konten-konten ini tidak hanya memengaruhi perilaku individu tetapi juga dapat memperburuk hubungan pasangan, menyebabkan ketegangan dan kekerasan.
Kasus terkini, misalnya, kasus yang menimpa CIN, di mana kekerasan yang dialaminya dipicu oleh ketahuan suaminya menonton film porno melalui handphone. Kasus lainnya, seorang polwan membakar suaminya akibat kecanduan judi online pada Juli 2024 silam, menunjukkan bagaimana kecanduan digital dapat memperparah situasi rumah tangga. Hingga yang terbaru prilaku brutal seorang pendeta berinisial H yang sudah bertahun-tahun melakukan KDRT terhadap istrinya di Surabaya.
Angka-angka terbaru tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menegaskan tren yang mengkhawatirkan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk menangani masalah ini. Seperti, peningkatan kesadaran dengan membuka dialog tentang kekerasan dalam rumah tangga dan mendorong lebih banyak korban untuk melaporkan kasus mereka.
Begitu pula, perbaikan dalam sistem dukungan dan perlindungan, seperti layanan konseling dan rumah aman, yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada korban. Penegakan hukum yang dianggap lebih tegas, kenyataannya kasus KDRT, terutama terhadap perempuan, justru mengalami peningkatan. Karena upaya yang dilakukan belum menyentuh pada akar persoalan.
Padahal, sistem saat ini mengkondisikan perempuan masuk dan terjebak ke dalam lingkaran setan KDRT, yang merupakan masalah kompleks melibatkan berbagai faktor sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan hukum. Lingkaran setan KDRT yang tidak dapat terputus dan terus berulang ini menunjukkan perlunya perubahan sistemik dalam penanganannya.
Dalam beberapa dekade terakhir, sistem sekuler kapitalisme yang mendominasi tatanan global telah menciptakan pergeseran dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan berdampak besar serta luas terhadap cara berpikir, pandangan hidup, dan perilaku manusia secara signifikan yang turut berkontribusi pada maraknya kasus KDRT di Indonesia.
Orientasi sekulerisme adalah memisah agama dan atau kepercayaan spiritual dari urusan kehidupan dunia. Agama dalam konteks ini tidak lebih sebagai sarana ritual yang hanya mengatur hubungan horizontal antara manusia dan Tuhannya dan memutilasi hubungan vertikal yang mengatur interaksi manusia satu dengan manusia lainya.
Ketika kita berbicara terkait maraknya KDRT, ini tidak terlepas dari cara pandang masyarakat sekuler terkait adanya penerapan aturan yang tidak benar yang mengatur hubungan antara suami dan istri, hilangnya peran penting dalam keluarga serta fungsi perlindungan yang semestinya nmenjadi pilar utama dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Secara fitrah, hubungan antara anggota keluarga—suami, istri, dan anak—seharusnya dilandasi oleh cinta dan kasih sayang. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang idealnya menjadi tempat berlindung, baik secara emosional, fisik, maupun spiritual. Suami dan istri memiliki peran masing-masing dalam mewujudkan keharmonisan ini.
Namun tatanan keluarga seperti itu telah rusak; muncul fenomena suami yang tidak memahami dan tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pelindung keluarga. Suami yang seharusnya menjadi benteng utama dalam upaya melindungi istri dan anak-anak, justru sering kali terlibat dalam tindakan kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Ketidakpahaman ini berakar dari penerapan aturan yang salah dan kurangnya penekanan pada nilai-nilai dasar agama.
Sementara itu, kapitalisme, yang berfokus pada keuntungan dan pasar bebas, telah menjadi fondasi tatanan global saat ini. Ketika keduanya berpadu, mereka menciptakan sebuah sistem yang cenderung mengutamakan materi dan rasionalitas ekonomi dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual.
Akibatnya, pola pikir yang cenderung mengedepankan individualisme, kompetisi, konsumtif, materialisme, dan gaya hidup hedonis, yang jauh dari nilai-nilai dan ajaran agama, menjadikan tekanan hidup bagi sebahagian besar individu masyarakat, yang mengubah individu bertindak bebas sesuka hati mengikuti hawa nafsunya, menciptakan masyarakat yang berfikir kriminal dan jauh dari karakter takwa.
Hal ini tidak terlepas dari sistem pendidikan sekuler yang telah memutilasi kecerdasan spiritual dari tiga potensi kecerdasan dasar manusia, sehingga hanya mencetak individu yang cerdas secara intelektual (IQ) dan emosional (EQ), namun bodoh dalam kecerdasan spiritual (SQ). Mereka menguasai sains dan teknologi, tetapi jiwa mereka kosong dalam keimanan.
Begitu pun di era teknologi saat ini, semua aspek kehidupan terintegrasi dengan teknologi digital menjadikan market digital tidak hanya memberi informasi, layanan jasa dan produk dengan transaksi yang sangat cepat dan mudah di akses oleh siapa saja, di mana, dan kapan saja. Namun juga menawarkan solusi praktis terhadap semua persoalan hidup tanpa didasarkan pada nilai-nilai agama.
Pasar digital berkembang pesat di bawah naungan sistem kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan membawa dampak signifikan terhadap cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi satu sama lain.
Ketika konten apa pun dapat disebarkan selama ada pasar yang tertarik dan menghasilkan profit menjanjikan, moralitas dan keamanan sosial menjadi taruhan. Hal ini memicu munculnya kekerasan terutama perempuan dan anak yang rentan terhadap KDRT.
Ditambah lagi, ketimpangan ekonomi yang begitu tajam antara para kapitalis yang menguasai sebagian besar kekayaan sumber daya alam dan rakyat biasa yang tidak memiliki modal untuk bersaing semakin memperburuk keadaan. Ketimpangan ini tidak hanya terbatas pada penguasaan kekayaan alam, tetapi juga meluas ke berbagai aspek perekonomian, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, perindustrian, dan lain-lain.
Akibatnya, tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi terhadap kebutuhan dasar dan pokok, serta jasa dan layanan yang dikendalikan dan diperjualbelikan oleh para kapitalis untuk meraup keuntungan maksimal, menjadikan barang-barang tersebut sangat mahal dan sulit dijangkau masyarakat.
Kondisi ekonomi seperti ini menciptakan tekanan berat bagi banyak keluarga karena ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan, yang sering kali memicu stres finansial. Stres ini menjadi salah satu pemicu utama terjadinya KDRT, karena membuat salah satu atau kedua pasangan merasa frustrasi, tidak berdaya, dan marah, baik secara fisik maupun emosional.
Begitupun, sistem hukum sekuler, yang pada dasarnya memisahkan antara agama dan hukum negara, cenderung fokus pada aspek legalistik dan prosedural, sementara aspek moral dan agama yang dapat memperkuat penegakan hukum diabaikan. Akibatnya lemah dan lambannya sistem hukum, gerak cepat aparat penegak hukum menindak pelaku KDRT baru terlihat ketika kasus KDRT beredar viral di media sosial.
Begitu pun hukuman yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan beratnya kejahatan yang dilakukan, sehingga pelaku KDRT merasa tidak terlalu terancam oleh konsekuensi hukum dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun dampak psikologis yang signifikan bagi masyarakat.
Berbagai aspek kehidupan yang dilahirkan atau diciptakan oleh sistem sekuler kapitalisme ini menimbulkan berbagai kerusakan di segala aspek kehidupan, yang menciptakan lingkaran kekerasan dan kondisi di mana perempuan berada dalam posisi rentan dan menghadapi ancaman sebagai korban KDRT dimana saja dan kapan saja.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem negara yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan dasar. Islam memposisikan perempuan sebagai individu yang harus dijaga kehormatannya dan dilindungi keberadaannya, sehingga tercipta ruang aman bagi perempuan.
Perlindungan terhadap perempuan dalam Islam bukan sekadar teori, melainkan kewajiban yang harus ditegakkan dalam kehidupan. Islam memandang keluarga sebagai institusi terkecil yang strategis dalam memberikan jaminan perlindungan, karena setiap anggota keluarga diperintahkan untuk memahami kewajiban dan haknya masing-masing.
Dalam ajaran Islam, laki-laki diperintahkan untuk menjadi qawwam atau pemimpin keluarga, sementara perempuan memiliki peran sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt (ibu dan pengelola rumah tangga) serta madrasatul ula (pendidik pertama bagi anak-anak). Memahami dan melaksanakan peran ini bukan hanya sebuah anjuran, tetapi kewajiban syariat yang harus dipenuhi. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari)
Sementara itu kepemimpinan laki-laki adalah kepemimpinan yang mengatur dan melayani (ri’ayah)d alam keluarga bukan didasarkan pada kekuasaan atau otoritas semata, tetapi pada tanggung jawab dan amanah yang besar. Seorang suami harus memahami bahwa posisinya sebagai qawwam berarti ia harus memberikan bimbingan, perlindungan, dan memastikan terciptanya keharmonisan dalam rumah tangga sesuai dengan syariat Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Rasulullah SAW bersabda: seorang qawwam harus berperilaku baik kepada istrinya. dari Abu Hurairah ra, Nabbi Saw bersabda, “Yang tebaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istri mereka.” (HR. At-Tirmidzi).
Oleh karena itu, untuk menjadikan laki-laki atau suami sebagai qawwam sesuai tuntunan syariat, tanggung jawab ini bukan hanya milik individu, tetapi juga tugas negara. Negara harus menciptakan lingkungan yang mendukung tercapainya perlindungan dan keharmonisan dalam rumah tangga, tidak hanya melalui penyelenggaraan sistem pendidikan formal, tetapi juga melalui penyiaran yang berbasis syariat.
Melalui sistem pendidikan Islam yang komprehensif, negara mendidik warga negara untuk memiliki kepribadian (morality) Islami serta kecakapan dalam ilmu kehidupan. Pendidikan dalam Islam tidak hanya terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga mencakup aspek-aspek sosial, moral, dan intelektual yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari.
Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menanamkan pemahaman mendalam tentang tanggung jawab seorang suami sebagai pemimpin keluarga. Dengan pendidikan yang tepat, laki-laki akan dipersiapkan untuk memahami peran mereka sebagai qawwam yang tidak hanya melindungi secara fisik, tetapi juga memberikan bimbingan spiritual dan moral bagi keluarganya. Generasi yang dididik dalam kerangka ini akan siap memikul amanah besar, yaitu memimpin keluarga dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.
Dalam sistem Islam, media sosial dan saluran komunikasi lainnya berfungsi sebagai sarana edukasi dan penyebaran dakwah. Negara akan mengawasi agar media hanya menyiarkan konten-konten yang bermuatan positif, membangun, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Media sosial akan diarahkan untuk menjadi alat yang mendukung terciptanya masyarakat yang beriman dan berakhlak mulia. Konten-konten yang disiarkan akan berfokus pada pengokohan keimanan individu, memperkuat hubungan antaranggota keluarga, serta mempromosikan nilai-nilai kehidupan yang Islami. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi sumber distraksi atau penyebab kemunduran moral, tetapi justru menjadi sarana yang efektif dalam mendidik dan membentuk karakter masyarakat.
Sementara itu, dalam Islam, seorang suami memiliki tanggung jawab besar sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Peran ini bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga merupakan perintah syariat yang harus dilaksanakan dengan cara yang makruf (baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama). Namun, untuk mewujudkan peran ini, diperlukan dukungan dari sistem ekonomi Islam menjadi sangat penting.
Sistem ekonomi Islam dirancang untuk mewujudkan keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang merata. Salah satu tujuannya adalah memudahkan para suami, sebagai kepala keluarga, dalam menjalankan perannya sebagai pencari nafkah. Negara Islam memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak, sehingga setiap laki-laki mampu menafkahi keluarganya dengan cara yang halal dan berkah.
Ekonomi Islam tidak hanya berfokus pada aspek material, tetapi juga memperhatikan aspek moral dan spiritual. Negara akan berusaha mendorong kesejahteraan ekonomi tanpa mengorbankan nilai-nilai agama dan etika. Dengan sistem ini, suami akan dimudahkan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, sehingga mereka dapat menunaikan kewajiban sebagai pencari nafkah dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.
Ketika pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam rumah tangga terjadi, terutama yang mengakibatkan luka berat hingga kematian, sistem negara Islam menerapkan hukum qishash. Qishash adalah hukum balasan yang setimpal, di mana pelaku akan menerima hukuman yang sebanding dengan tindakan yang dilakukannya. Ini bertujuan untuk memberikan keadilan dan mencegah kejahatan serupa di masa depan.
Uqubat Islam, atau sanksi dalam Islam, memiliki efek yang signifikan bagi pelaku dan masyarakat. Bagi pelaku, uqubat Islam berfungsi sebagai jawabir, yaitu penebus dosa di akhirat. Melalui penerapan sanksi yang sesuai dengan syariat, pelaku diharapkan dapat menebus dosa-dosanya dan memperoleh pengampunan Allah SWT di kehidupan akhirat.
Di sisi lain, bagi masyarakat, uqubat Islam berperan sebagai zawajir, yaitu upaya preventif untuk mencegah tindakan kejahatan serupa. Dengan adanya sanksi yang tegas dan adil, masyarakat akan lebih berhati-hati dan menghindari perilaku yang dilarang oleh agama. Hal ini menciptakan efek jera yang kuat dan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, untuk mengatasi KDRT secara efektif, diperlukan pendekatan sistemik yang melibatkan reformasi dalam berbagai aspek kehidupan—hukum, pendidikan, media, dan ekonomi—yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan menerapkan sistem Islam dalam bingkai negara, diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman, harmonis, dan bebas dari kekerasan dalam rumah tangga.[]
Comment