Islam dan Toleransi, Konsep Syar’i yang Teruji Sejarah

Opini96 Views

 

Penulis: Ns. Sarah Ainun, M.Si | Pegiat Literasi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Toleransi beragama selalu menjadi isu yang mencuat, terutama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru). Seruan untuk memelihara kerukunan di tengah keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia kerap digaungkan oleh pejabat negara dan tokoh masyarakat. Namun, bagaimana Islam memandang konsep toleransi ini, khususnya dalam menjaga harmoni tanpa melanggar prinsip aqidah?

Sikap umat Islam terhadap perayaan Nataru dijadikan sebagai tolak ukur sejauh mana mereka dianggap toleran atau intoleran. Sseorang muslim yang berpartisipasi dalam Perayaan agama lain sering dianggap toleran, cinta damai, dan sejenisnya. Sebaliknya, jika ada umat Islam yang memilih untuk tidak menghadiri atau tidak mengucapkan selamat Natal dll, mereka dengan mudah dicap sebagai intoleran.

Maka, seruan ini mungkin tampak sebagai bentuk kompromi yang harmonis di permukaan, namun sejatinya bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Tidak heran jika seruan semacam ini kerap menimbulkan perdebatan, khususnya di kalangan umat Islam di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Akibatnya, seruan ini sering dianggap menyasar umat Islam sebagai kelompok intoleran dan memberikan stigma negatif kepada mereka.

Praktik toleransi yang dimaknai sebagai ikut berpartisipasi atau mengamalkan ajaran agama lain sejatinya bertentangan dengan akidah Islam, sebagaimana ditolak oleh Rasulullah Saw.

Dalilnya, ketika di Makkah, beberapa tokoh Quraisy seperti Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Al-Muthalib, dan Umayah bin Khalaf menawarkan kompromi dalam hal keagamaan. Mereka berkata:

“Muhammad bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebahagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntutan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya jika ada sebahagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus amalkan.” Tawaran toleransi ini ditolak tegas oleh Allah dan Rasul-Nya melalui turunya surat Al-Kafirun;

“Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.’” (QS. Al-Kafirun: 1–6).

Menurut Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, ayat ini menegaskan prinsip non-kompromi dalam hal ibadah dan aqidah. Islam mengakui keberadaan agama lain, tetapi tidak membenarkan pencampuran atau kompromi dalam bentuk ibadah yang menyimpang dari tauhid. Dengan kata lain, ayat ini merupakan penegasan sikap bahwa umat Islam tidak mencampuradukkan aqidahnya dengan ajaran agama lain.

Namun, seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam terus berulang, salah satunya karena kurangnya peran negara dalam menjaga aqidah umat. Sejumlah pemikir Islam klasik, seperti Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyah, menegaskan bahwa agama dan negara ibarat dua saudara kembar yang memiliki hubungan erat, saling melindumgi dan melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan fungsi utama kehidupan manusia, baik dari aspek spiritual maupun sosial.

Salah satu akar permasalahan mendasar yang dihadapi oleh banyak negara saat ini adalah penerapan sistem sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan manusia dalam aspek seperti pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum, dan politik.

Akibatnya, negara bukan lagi menjadi pelindung nilai-nilai agama, tetapi justru menjadi sarana dalam menerapkan nilai-nilai sekuler sebagai dasar pengaturan kehidupan sehari-hari.

Hak Asasi Manusia (HAM) sering dijadikan landasan untuk mempertahankan dominasi dan alat hegemoni untuk menyebarkan nilai-nilai sekuler ini di seluruh dunia, tidak terkecuali di negeri-negeri muslim.

Sekularisme ini memanfaatkan HAM alias Human Rights ala Barat sebagai instrumen untuk menjaga agar nilai-nilai sekuler dapat diterapkan secara masif dan diterima oleh masyarakat global, yang pada akhirnya menjauhkan peran negara menjaga nilai-nilai Islam di tengah umat.

Salah satu strategi yang digunakan adalah melalui kampanye moderasi beragama yang berasal dari ide-ide Barat, dan belakangan ini terus diarus deraskan menjelang moment Nataru setiap tahunnya. Di permukaan, kampanye ini tampak mempromosikan toleransi, tetapi sejatinya merupakan upaya untuk menjauhkan umat beragama dari pemahaman yang lurus, mendalam dan komprehensif terhadap ajaran agama (syariat).

Islam, sebagai agama yang sempurna, memberikan pedoman yang jelas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk definisi pelanggaran hukum syara’ dan konsep interaksi dengan pemeluk agama lain. Prinsip-prinsip ini telah terbukti mampu menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, terutama ketika Islam diterapkan secara kaffah atau menyeluruh.

Dalam Islam, pelanggaran hukum syara’ didefinisikan sebagai tindakan yang menyimpang dari aturan-aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini mencakup berbagai dimensi kehidupan, seperti akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Pelanggaran hukum syara’ tidak hanya dipandang sebagai dosa individu, tetapi juga sebagai ancaman terhadap tatanan sosial yang diatur oleh syariat.

Islam juga memiliki konsep yang jelas dalam berinteraksi dengan pemeluk agama lain. Prinsip ini didasarkan pada toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Lakum diinukum wa liya diin” (Untukmu agamamu, dan untukku agamaku) – (QS. Al-Kafirun: 6).

Prinsip ini menunjukkan sikap Islam yang tidak memaksakan keyakinannya kepada orang lain sekaligus menjaga kemurnian akidah umat Islam.

Toleransi dalam Islam tidak berarti mengurangi keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan jalan keselamatan di akhirat, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali Imran ayat 19.

Sikap toleran dilakukan tanpa memaksa non-Muslim untuk meyakini Islam, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam agama.” Non-Muslim diberikan kebebasan menjalankan agama yang diyakininya itu.

Selain itu, toleransi juga tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan Islam secara menyeluruh (kaffah) akan membawa rahmat bagi seluruh manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anbiya ayat 107:

Islam membolehkan umatnya bermuamalah dengan non-Muslim dalam berbagai aspek kehidupan, seperti jual beli, sewa-menyewa, atau pengajaran ilmu pengetahuan. Bahkan, Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu.”

Toleransi syar’i yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. merupakan toleransi yang menjaga kemurnian akidah umat Islam. Rasulullah tidak mencampuradukkan keyakinan Islam dengan ajaran agama lain, sebagaimana tercermin dalam penolakan terhadap tawaran kompromi kaum Quraisy dalam QS. Al-Kafirun.

Praktik toleransi syar’i ini juga menjaga umat dari ide-ide Barat seperti pluralisme agama dan moderasi beragama yang sering kali menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang lurus.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam, toleransi tercermin dari pemerintahan Islam yang dijalankan Rasulullah Saw terhadap non-Muslim, seperti melalui Piagam Madinah, yang menjadi landasan hubungan harmonis antara umat Islam dan pemeluk agama lain.

Pemerintahan Islam di Madinah yang berlandaskan syariat berhasil mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, tanpa membedakan suku, agama dan ras (SARA).

Begitupun, praktik toleransi antarumat beragama yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw menjadi warisan nyata dalam pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah, yang berjaya sebagai pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Di bawah pemerintahan Islam, non-Muslim diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah, otonomi dalam urusan agama, serta perlindungan hukum dan keamanan.

Maka, toleransi syar’i dalam Islam bukan hanya tanggung jawab individu atau masyarakat semata, tetapi merupakan kewajiban yang harus diterapkan oleh negara.

Islam memandang bahwa toleransi sejati dapat terwujud secara utuh hanya jika negara memiliki landasan yang kuat dalam menegakkan hukum syariat.

Toleransi dalam Islam telah teruji di sepanjang sejarah peradaban manusia. Toleransi dalam konsep syar’i tidak hanya menjadi prinsip tetapi juga praktik yang nyata dalam menjaga harmonisasi dan melindungi akidah serta kehidupan bermasyarakat.[]

Comment