Kapan Masyarakat Kita Terbebas Dari Pikiran Materialistis?

Opini860 Views

 

 

Oleh: Ika Rini Puspita, Ketua FLP Cabang Gowa

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pikiran sangat sulit untuk dilihat, amat lembut dan halus, pikiran bergerak sesuka hatinya. Orang bijaksana selalu menjaga pikirannya, seseorang yang menjaga pikirannya akan berbahagia. (Dhammapada, Syair 36).

Lika-liku hidup yang telah berlalu mengajarkan kita banyak hal. Berbagai kejadian dan peristiwa yang dialami dalam keseharian merupakan konsekuensi logis dari keputusan yang kita ambil. Caption di atas sangat menarik, sekadar pengingat diri atau kewajiban untuk menjaga pikiran agar tetap waras dan bahagia di tengah hidup yang tengah berat. Berat karena memandang segala sesuatu berdasarkan materi.

Yah, fakta ini wajar! Mengingat kita hidup dalam sistem kapitalisme-sekuler memandang sesuatu berharga dengan materi. Misalnya saja, setelah lulus SMA, lanjut diperguruan tinggi ternama apa? Lulus kuliah, kerja dimana? Kenapa tidak daftar PNS? Dan pertanyaan yang lebih kompleks nikahnya kapan? Setelah ketemu calon, maharnya berapa? Nanti tinggal dimana? Kenapa belum punya anak? Kenapa pakai motor, belli mobil sekalian, dan kawan-kawan.

Jarang kita temukan pertanyaan-pernyataan semoga dimudahkan meraih keinginannya. Kerja apapun asal halal. Yang paling penting akhlaknya atau agamanya baik bukan seberapa banyak uang belanja yang di bawah (uang panai’), serta fakta lainnya.

Faktanya, masyarakat kita sudah akut (mendarah daging) dengan pemikiran seperti ini. Sampai membuat sebagian orang memilih tindakan negatif, di luar dari kebiasaan. Misal menyogok (suap) untuk sekadar memenuhi tuntutan masyarakat misal masuk ke perguruan tinggi ternama atau daftar kerja dengan memanfaatkan orang dalam (istilah Makassarnya dekkeng). Memilih meminjam uang untuk sekadar merayakan resepsi pernikahan yang mewah dan fakta lain yang cukup mencengangkan.

“Hidup tidak akan tenang, jika kita mendengar suara bising (ceribel-cerita belakang) orang lain! Hidup berkah, apa adanya kita. Tidak perlu jadi orang lain, untuk memuaskan kaca mata mereka. Toh yang merasakan hidup ini, kita pribadi.”

Pertanyaannya, kapan masyarakat kita terbebas dari pikiran materialistis? Judul tulisan ini sengaja penulis pilih, untuk menyentil pemikiran yang cukup meresahkan di tengah masyarakat. Kita adalah apa yang kita lihat, pikirkan dan rasakan juga tergantung aturan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, penulis rasa kalimat ini benar.

Kebahagiaan dan penderitaan timbul sebagai akibat dari pikiran seseorang dalam menyikapi suatu peristiwa. Orang yang dapat berpikir positif akan tetap merasa bahagia seberat apapun kenyataan yang dihadapi, sebaliknya orang yang berpikir negatif akan tetap merasa hidupnya menderita walau semudah apapun kenyataan yang ada.

Ajaran Islam adalah ajaran sempurna yang senantiasa menekankan seseorang untuk selalu berpikir positif dalam berbagai kondisi yang dihadapinya. Apa yang menurut pencipta baik, tentu baik pula untuk hambanya. Intinya tetap berhusnuzan kepada-Nya. Kurang lebih begitu ajaran Islam.

Pemikiran materialistis tidak akan berubah di tengah masyarakat selama cara pandang dan aturan masih sama. Diakui atau tidak, setelah syariat Islam diabaikan bahkan dicampakkan, petunjuk hukum yang Allah turunkan tak lagi diamalkan secara kaffah. Akibatnya, kehidupan umat pun terus terpuruk, serba sempit, dan jauh dari sejahtera.

Semua realitas buruk ini, memicu berbagai pihak berkeinginan kuat melakukan perubahan. Untuk melakukan perubahan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah apa yang menjadi akar permasalahan.

Jika dicermati secara mendalam, maka semua permasalahan yang terjadi saling berkait satu sama lain, namun semuanya berakar pada satu sebab, yakni penerapan sistem sekuler kapitalis yang menafikan peran Allah SWT dalam kehidupan dan memberikan hak membuat hukum pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Termasuk dalam hal berpikir dan tindakan yang kita ambil.

Jalan Menuju Perubahan

Sebuah perubahan tidaklah disebut perubahan hakiki jika perubahan itu tidak menjadikan masyarakat berubah menuju keadaan yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya. Sedangkan faktor yang menentukan apakah suatu masyarakat mengalami kebangkitan atau tidak, adalah peradaban yang ditegakkan masyarakat tersebut.

Dr. Mohammad Al-Qashshas di dalam Kitab Usus al-Nahdlah al-Raasyidah menyatakan:

“Faktor yang menentukan bangkit dan mundurnya suatu masyarakat adalah peradaban yang dimiliki masyarakat tersebut. Jika peradabannya tinggi, niscaya masyarakat di situ akan bangkit. Jika peradabannya mundur, mereka tidak akan pernah mengetahui kebangkitan. Ketika kita membicarakan peradaban yang ada di tengah-tengah masyarakat, berarti kita sedang membicarakan jalan hidup, pola perilaku, dan pola hubungan yang menjadikan sebuah masyarakat memiliki kekhasan”. (Dr. Ahmad Al-Qashshash, Usus al-Nahdlah al-Raasyidah)

Jika sebuah masyarakat mampu mentransformasikan dirinya menuju peradaban yang lebih baik dan tinggi, masyarakat tersebut dikatakan bangkit. Sebaliknya, jika sebuah masyarakat mengalami stagnasi masyarakat itu dikatakan tidak bangkit. Lalu dari mana kita harus mulai?

Dengan Dakwah Politis

Sesungguhnya Rasulullah telah memberi contoh terbaik untuk kita semua, bagaimana mengubah peradaban jahiliah menjadi peradaban Islam yang mulia, yaitu dengan dakwah politis, mengubah pemikiran menjadi pemikiran Islam.

Dengan melakukan dakwah politis, berarti sebuah kelompok dakwah telah melaksanakan pembinaan ke tengah-tengah umat sekaligus amar makruf nahi mungkar yang diwajibkan Allah kepada umat Islam (QS Ali ‘Imran [3]: 104).

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam buku karangannya “Peraturan Hidup Dalam Islam”, bahwa langkah konkrit yang harus dilakukan oleh sebuah kelompok dakwah dalam rangka mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah umat adalah dengan meningkatkan taraf berpikir politik para pengemban dakwahnya, sebagai kader-kader dakwah yang terjun ke tengah-tengah umat, memahamkan dan mengedukasi umat sehingga memiliki perspektif dan pemahaman Islam yang benar.

Dengan pemikiran Islam inilah yang kemudian menjadi pijakan untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah kita hadapi di tengah masyarakat. Sebab, standar dan tujuan hidup sudah terarah. Wallahu a’lam.[]

Comment