Penulis: Sutiani, A. Md | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian menilai tindakan guru sekolah dasar (SD) yang meminta siswanya duduk di lantai karena menunggak biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) tidak etis dan melanggar prinsip-prinsip pendidikan.
Meski sekolah swasta memiliki kebijakan mandiri dalam pengelolaan keuangannya, menurutnya tetap ada batasan yang harus dijaga agar tindakan mereka tidak mencederai hak-hak siswa.
Hetifah menjelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang bermartabat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Ia pun menyayangkan tindakan guru yang dianggap bisa berdampak buruk bagi anak tersebut. “Secara psikologis anak, tindakan tersebut tentu dapat berdampak buruk pada kepercayaan diri dan kesehatan mental anak,” papar politikus Partai Golkar ini.
Dirinya meminta pihak sekolah mengingat bahwa pendidikan bukanlah sekadar layanan jasa, melainkan juga tanggung jawab sosial membangun sebuah generasi bangsa.
Oleh karena itu, menyikapi hal ini, pihak sekolah diminta membuka komunikasi dengan orang tua siswa guna mencari solusi pembayaran. Di lain sisi, solusi ini jangan sampai merugikan hak siswa. (Kompas.com, 12/01/2025 )
UU No. 20 Tahun 2003 berbunyi (1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. (2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Namun faktanya Pemerintah tidak sepenuhnya mengurusi rakyat termasuk memberikan pendidikan dasar secara gratis kepada seluruh rakyat karena negara mengizinkan pihak swasta untuk membangun dan mengelola yayasan sehingga pihak orang tua harus merogoh kocek untuk kebutuhan pendidikan anaknya.
Lagi lagi pihak sekolah swasta mencari keuntungan. Sulitnya kehidupan masyarakat dalam penerapan sistem kapitalisme – sekuler mereka harus menanggung biaya pendidikan secara mandiri.
Pasalnya, dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan keuntungan semata, pendidikan dianggap komoditas ekonomi, hal ini pun tertuang dalam pasal 4 ayat (2) huruf UU Perdagangan bahwa jasa Pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan.
Padahal, Rasulullah yang merupakan sosok suri teladan pemimpin, beliau pernah bersabda:
“Pemimpin setiap manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (h.r. Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Negara semboyan pelayan rakyat, alih-alih negara lepas tangan dari kewajiban untuk mengurusi urusan rakyatnya. Ditambah lagi, dalam kehidupan kapitalisme saat ini, kebutuhan yang ditanggungkan pada penghasilan rakyat makin besar seperti, pajak melambung, harga bahan pokok, BBM, gas dan harga tarif listrik kian terjun bebas, tetapi demikian, pendapatan tidak sesuai dengan pengeluaran.
Semua kondisi ini sangat mendorong makin kaburnya pandangan terhadap pendidikan sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan yang telah bergeser pada pandangan keuntungan ekonomi.
Adapun secara ekonomi, negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam berikut seluru aturannya yang juga berlandaskan Islam mendapatkan sumber pendapatan negara bagi pembiayaan pendidikan tinggi.
Biaya pendidikan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara yang diatur oleh Baitul mal. Hakikatnya, pendidikan merupakan kebutuhan primer maka, negara wajib memenuhi kebutuhan tersebut baik kaya, miskin, muslim, atau non muslim, semua dilayani dan negara memberikan anggaran yang pantas demi kualitas pendidikan tinggi.
Dalam sistem Islam, menetapkan pelayanan seperti pendidikan salah satunya. Tentunya pemenuhan ini membutuhkan dana yang besar.
Negara pertama kali mengambil pemasukan dari kepemilikan umum seperti air, api, dan padang rumput yang dikelola oleh negara, sehingga tidak dimiliki individu sedikit pun.
Seluruh hasil keuntungan sumber daya alam dialokasikan kepada rakyat seperti memberikan pendanaan untuk pendidikan beserta fasilitas secara gratis guna mewujudkan generasi saleh yaitu para ulama sekaligus para ilmuwan yang bertakwa kepada Allah Swt dan ilmu yang diperoleh bermanfaat untuk kepentingan masyarakat hingga terciptalah kualitas sumber daya manusia.
Sistem pendidikan Islam berlandaskan akidah pernah terwujud dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam yang terbukti berhasil mencetak ilmuan-ilmuan yang cemerlang. Seperti, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi dan Al-Farabi, dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan, hasil penemuan mereka di masa lalu masih kita nikmati pengaruhnya hingga hari ini. Tidak akan ada lagi yang berpikir pendidikan hanya untuk mencari uang sebab, untuk menempuh pendidikan pun butuh modal sebagaimana bisnis.
Pandangan ini akan hilang melalui diterapkannya pendidikan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Hanya Khilafah satu-satunya yang mampu memberikan kesempatan seluruh rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Wallahu a’lam bisshawab.[]
Comment