Penulis: Atika Nasution S.E | Praktisi Pendidikan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Prabowo merinci, tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji untuk guru ASN dan hingga Rp 2 juta untuk tunjangan guru non-ASN atau honorer yang telah mengikuti sertifikasi/pendidikan profesi guru (PPG). Ada sebanyak 1.932.666 guru yang bersertifikat pendidik pada tahun 2025. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 620 pendidik tersertifikasi dibandingkan tahun 2024. Dengan adanya kenaikan gaji guru ini, anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN menjadi Rp 81,6 triliun pada tahun 2025, atau naik sekitar Rp 16,7 triliun. (Kompas.com.24 Nov 2024).
Kabar “Kenaikan gaji guru” ditanggapi dengan beragam reaksi. Apalagi setelah ada penjelasan bahwa yang naik bukan gaji, melainkan tunjangan kesejahteraan yang diperoleh setelah lolos program sertifikasi guru. Memang benar kenaikan gaji guru adalah salah satu faktor penunjang pendidikan berkualitas. Jika kita perhatikan, kebijakan perihal kenaikan tunjangan guru ini justru bisa dikatakan mendadak. Terlebih, saat ini sedang santer berita mengenai pemberlakuan PPN 12% pada Januari 2025. Ditambah dengan naiknya angka inflasi yang justru menyengsarakat rakyat dalam membiayai kehidupan. Pasalnya, banyak kebutuhan pokok yang membutuhkan biaya yang besar yang harus ditanggung oleh setiap individu termasuk guru. Fakta banyaknya guru yang terjerat pinjol dan judol, juga banyak guru memiliki profesi yang lain menguatkan hal itu. Jika klaim kenaikan tunjangan guru dihadapkan pada realitas ini, jelas nominalnya tidak sebanding. Tarik ulur gaji guru ini justru mengungkap bahwa Hal ini terkait erat dengan sistem kehidupan yang diterapkan hari ini, di mana guru hanya dianggap seperti pekerja, sekedar faktor produksi dalam rantai produksi suatu barang. Posisi guru adalah sebagaimana para buruh bagi industri. Kesejahteraan guru tentunya berkaitan dengan kualitas pendidikan. Meskipun demikian kualitas pendidikan dipengaruhi oleh banyak hal, tidak hanya kesejahteraan guru. Selain kesejahteraan guru, kualitas pendidikan diantaranya juga dipengaruhi oleh kurikulum pendidikan yang diterapkan negara, penyediaan infrastruktur pendidikan dan kualitas guru dll. Dengan kata lain, kapitalisme meniscayakan pengelolaan pendidikan menurut paradigma bisnis dari penguasa kepada rakyatnya. Akibatnya, pendidikan pun berbiaya mahal dan biaya itu harus dibayar oleh rakyat. Sebaliknya, sebagaimana berjalannya sebuah proses produksi, gaji guru sebagai faktor produksi tentu harus dibuat serendah mungkin agar nominal keuntungan (profit) yang diperoleh bisa lebih besar. Bahkan nasib guru jauh lebih memprihatinkan dari sekadar persoalan gaji, yakni dengan adanya beban pekerjaan yang banyak maupun aspek administratif yang rumit. Juga ada faktor lain berupa proses pendidikan di antara individu peserta didik, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sebabnya, sekolah berbiaya mahal dan berkurikulum internasional tidak menjamin kualitas para peserta didiknya bisa menjadi generasi emas, alih-alih konstruktor peradaban masa depan.Masalahnya, kehidupan di dalam sistem kapitalisme berlandaskan pada sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang jelas-jelas memperberat kinerja guru sekaligus menyulitkan peran mereka. Sistem hari ini juga menjadikan negara tidak berperan sebagai pengurus (raa’in), dan hanya sebagai regulator dan fasilitator. Belum lagi penerapan sistem ekonomi yang menjadikan pengelolaan SDA dikuasai asing dan aseng, liberalisasi perdagangan, kapitalisasi layanan pendidikan dan kesehatan. Pantaslah jika nasib guru dan murid sama-sama di ujung tanduk karena fungsi kepemimpinan penguasa tidak mengarah pada aspek mengurusi urusan rakyatnya. Mahalnya biaya pendidikan dijadikan standar penentu kualitas pendidikan, justru makin menegaskan adanya komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Berbeda dengan Islam. Islam sangat memperhatikan guru karena guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis mencetak generasi yang berkualitas dan akan membangun bangsa dan menjaga peradaban. Allah telah melebihkan kedudukan orang-orang yang berilmu, tentu juga para pemberi ilmu Terlebih, pendidikan adalah kebutuhan pokok publik. Jika mahalnya biaya pendidikan dibebankan kepada individu rakyat, tentu akan menghalangi rakyat dari kalangan ekonomi lemah untuk mengaksesnya.Inilah sebabnya pendidikan semestinya diselenggarakan sepenuhnya oleh negara bagi rakyatnya secara cuma-cuma. Keberadaan pendidikan tidak ubahnya fasilitas umum bagi rakyat sehingga negara harus memberikan jaminan pendidikan kepada rakyat, mulai dari penyediaan guru selaku pendidik, menjamin kualitas guru, menyediakan infrastruktur, sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan, serta menganggarkan seluruh pembiayaannya dari kas negara. Sejatinya, demikianlah gambaran sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh sistem Islam. Islam mengharuskan negara melalui pemimpinnya untuk bertanggung jawab penuh menjamin kemaslahatan umum, termasuk pendidikan. Dalam Islam, negara bukan sebagai regulator, melainkan pe-ri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Dengan begitu, siapa pun yang terpilih menjadi penguasa/pemimpin, ia adalah pemimpin yang amanah dan adil, serta akan menghabiskan seluruh waktunya untuk mengatur hajat hidup rakyatnya. Islam memandang ilmu dan pendidikan sebagai perkara yang sangat vital, serta memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Islam juga harus memastikan agar para guru memperoleh gaji yang layak tanpa harus ada tambahan maupun tunjangan tertentu. Pada saat yang sama, hal ini didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mengharuskan negara menjamin terjadinya distribusi harta secara merata di tengah-tengah rakyat. Ini untuk memastikan agar tiap individu rakyat bisa hidup sejahtera karena sudah terpenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandang, pangan, dan papan. Negara juga berperan penuh menjaga daya beli sehingga bisa mencegah inflasi dan tidak menyulitkan ekonomi masyarakat. Selain itu, kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan transportasi diposisikan sebagaimana fasilitas umum sehingga semua itu disediakan oleh negara secara gratis. Dengan begitu, tingkat kelayakan gaji guru tidak lantas digunakan untuk membiayai kebutuhan pokok mereka saja. Namun, Gaji guru semata digunakan untuk nafkah kepada keluarga yang ditanggungnya. Dengan kata lain, gaji guru tidak akan habis untuk kebutuhan-kebutuhan pokok yang semestinya menjadi tanggung jawab negara kepada rakyatnya.
Demikianlah Islam memnerikan kesejahteraan pada guru. Wallahualam bissawab.
Comment