Kapitalisme, Listrik Murah Hanya Sebuah Mimpi

Opini260 Views

 

 

Penulis: Radayu Irawan, S.Pt | Aktivis Muslimah Padang Lawas

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA —  Sudah menjadi rahasia publik bahwa dari tahun ke tahun TDL (tarif dasar listrik) terus mengalami kenaikan. Belum pernah ada cerita TDL semakin murah. Malah semakin tahun terus membuat kantong rakyat menjadi bolong.

Belum lagi, biaya pengeluaran lain yang ikut merangkak naik jika TDL naik. Hal ini membuat rakyat selalu menarik nafas panjang, seraya merintih “Ya Allah, bagaimana lagi kami harus membanting tulang, pergi pagi pulang petang, tulang pun semakin hari sudah semakin keropos, Ya Allah kuatkanlah kesabaran dan luaskanlah rezeki kami”

Apakah kenaikan TDL adalah sesuatu yang lumrah? Apakah ini hanya terjadi di tanah air saja? Ataukah ini merupakan sebuah anomali? Di mana sebenarnya letak kesalahannya?

Menganalisa Masalah

Semua rakyat pasti menginginkan listrik murah. Terlebih di tengah himpitan ekonomi yang kian mencekik. Namun, karena semua serba mahal dan harga selalu naik, rasanya listrik murah hanyalah khayalan belaka yang tak mungkin akan terjadi sampai kapanpun.

Iya, selama para pemimpin dan negeri ini masih mengambil sistem yang salah dalam mengatur semua urusan publik,  maka, selama itu pula listrik murah hanya sebuah ilusi. Kalau dikatakan kesalahan terletak pada rezim atau ganti pemimpin, sudah berapa kali negeri ini ganti presiden? Apakah ada yang berani menurunkan harga listrik secara signifikan?

Rakyat biasa akan lantang berteriak “GAK MUNGKIN, HANYA MIMPI”. Jadi sebenarnya di mana letak kesalahannya? Berarti ganti pemimpin bukan solusi yang tepat. Lalu apa?

Kalau sekiranya mengganti sistem aturan yang berlaku di negeri ini? Apakah sudah pernah dilakukan?

Belum! Sejarah mencatat negeri ini belum pernah menerapkan sistem selain sistem pemerintahan demokrasi liberal dan kapitalistik. Maka tak ada salahnya mencoba untuk perubahan yang memberi keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali.

Kesalahan terbesar tingginya harga listrik terletak pada pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sepenuhnya tidak dikelola oleh negara. Peraturan yang ada masih membolehkan SDA dikelola oleh swasta. Sehingga saat pengelolaan dilakukan oleh pihak swasta yang hanya berorientasi pada profit secara ekonomi (economic profit oriented). Inilah yang menyebabkan listrik menjadi mahal.

Aturan ini merupakan aturan batil yang bersumber dari sistem kapitalis dan demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kultur dan konsitusi indonesia. Paradigma ekonomi kapitalisme merupakan sistem ekonomi yang diemban oleh kapitalisme adalah kebebasan berkepemilikan.

Selama memiliki modal, siapa saja termasuk swasta boleh menguasai apapun termasuk SDA. Padahal SDA adalah harta milik rakyat yang tidak boleh diswastanisasi karena bisa menyebabkan kerusakan dan kemiskinan.

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sistem batil inilah digunakan negara untuk mengurus urusan rakyat. Alhasil sumber daya alam bahan dasar listrik menjadi harta yang boleh dikapitalisasi swasta. Akibatnya distribusi hasil pengelolaan sumber daya alam diberikan kepada rakyat dengan konsep komersil. Inilah yang membuat harga TDL terus mengalami kenaikan.

Perspektif Islam

Berkenaan dengan TDL yang terdapat pada sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Islam memiliki cara pandang khas tentang hal tersebut. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yakni padang rumput Air dan Api” (HR. Abu Daud dan Ahmad).

Berserikat bermakna bahwa tidak boleh ada monopoli atau komersialisasi, semua kaum muslimin berhak mendapatkannya yakni milkiyah ammah. Bahwa padang rumput, air dan api adalah milik seluruh rakyat. Bukan milik beberapa orang atau milik orang yang memiliki modal saja.

Adapun tiga perkara yakni padang rumput, air dan api menjelaskan jenis-jenis sumber daya alam. Padang rumput menjelaskan sumber daya alam di atas tanah seperti hutan perkebunan dan sejenisnya. Air menjelaskan sumber daya air seperti laut, sungai, danau, air terjun dan sebagainya. Sementara api menjelaskan sumber daya alam yang berasal dari bumi seperti minyak, gas, batubara dan sejenisnya.

Dalam hadits yang lain, syarat SDA wajib menjadi barang serikat bagi kaum muslimin (rakyat) ketika keberadaannya melimpah ruah.

Aturan ini dapat dipahami dari hadis Rasulullah:

“Dari Abyadh bin Hammal, ia datang kepada Rasulullah saw meminta untuk menetapkan kepemilikan sebidang tambang garam untuknya, lalu Rasul pun menetapkan untuknya. Ketika hendak beranjak pergi, seseorang yang berada di majelis berkata, Tahukah engkau apa yang engkau tetapkan untuknya? Sesungguhnya engkau menetapkan tanah yang memiliki air yang diam. Nabi pun membatalkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Dari dua hadits ini dapat dipahami bahwa seluruh sumber daya alam yang jumlahnya melimpah wajib menjadi barang serikat bagi seluruh kaum muslimin (rakyat) atau milkiyah ammah.

Syekh taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Sistem Ekonomi Islam dan Syekh Abdul Qadim Zalum dalam kitab Al-Amwal menjelaskan bahwa harta yang terkategori milkiyah ammah wajib dikelola oleh negara secara mutlak. Artinya negara wajib mengelola secara mandiri. Tidak ada konsep kemitraan dengan swasta untuk mengelola kekayaan alam.

Selanjutnya hasil pengelolaan dan hasil kelola tersebut dikembalikan dan didistribusikan kepada masyarakat. Bukan dengan konsep komersialisasi seperti halnya yang terjadi dengan konsep kapitalisme melainkan didistribusikan dengan konsep subsidi alias gratis.

Mengapa demikian? Karena SDA tersebut merupakan hak seluruh rakyat baik miskin maupun kaya. Seandainya masyarakat harus membayar, negara hanya boleh menetapkan harga produksi dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat.

Maka persoalan sumber bahan listrik bisa berasal dari batubara, nuklir, angin dan laut. Sementara sumber-sumber tersebut tersedia di dalam jumlah melimpah.

Berdasarkan data badan geologi Kementerian ESDM, cadangan batu bara di Indonesia masih sangat besar. Sumber daya batu bara Indonesia masih 99,19 miliar ton dan cadangan sebesar 35,02 miliar ton.

Jika produksi batu bara Indonesia diasumsikan 700 juta ton per tahun, maka cadangan batu bara baru Indonesia diproyeksi akan habis 47-50 tahun ke depan sebagaimans ditulis kompas (19/12/23). Untuk Uranium terdapat sekitar 90 ribu ton dan Thorium sekitar 140 ribu. Ini merupakan modal untuk memenuhi kebutuhan energi menggunakan tenaga nuklir. (BRIN, 16/12/22).

Dilansir dari Outlook Energi Indonesia 2022 yang dirilis Dewan Energi Nasional (DEN) sepergi ditulis kompas (10/5/2024), Indonesia memiliki potensi energi angin atau bayu mencapai 154,9 gigawatt (GW). Energi angin atau bayu bisa dimanfaatkan sebagai untuk membangkitkan listrik melalui pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).

Solusi Islam

Jika sekiranya tata kelola listrik menggunakan sistem ekonomi Islam, jelas sumber-sumber listrik tersebut termasuk sumber daya alam yang melimpah dan harus dikelola oleh negara secara mandiri. Kemudian listrik didistribusikan tidak dengan komersialisasi melainkan konsep subsidi.

Sehingga semua lapisan masyarakat baik miskin maupun Kaya dapat menikmati listrik secara gratis karena hal tersebut memang hak rakyat dan juga menjadi kebutuhan publik.

Dengan begitu masyarakat tidak pusing dan was-was terhadap TDL seandainya ada tarif biaya yang dibebankan kepada masyarakat. Karena hanya sekedar biaya produksi bukan komersialisasi. Biaya tersebut dipastikan sangat terjangkau.

Seperti inilah Islam mengelola listrik agar semua masyarakat mendapatkan keberkahannya. Tidak ada pembagian listrik untuk rakyat miskin atau kaya. Karena mereka semua berhak menikmati harta serikat.

Hanya saja hal tersebut tidak akan terwujud, kecuali syariat Islam diterapkan secara sempurna oleh institusi negara.

Semog Islam dengan konsep ekonominya dapat terwujudkan bukan saja di negeri ini tetapi di seluruh muka bumi sehingga listrik murah dan kesejahteraan bukan hanya sekedar impian melainkan kenyataan. Allahu A’lam Bishowab.[]

Comment