Penulis: Azizah Nur Fikriyah | Mahasantriwati Ma’had Pengkaderan Da’i
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Tak henti-hentinya masyarakat disuguhi berita menyedihkan dan membuat miris. Bandara Syamsyudin Noor dikelilingi kawasan rawan karhutla baik di kecamatan landasan Ulin maupun Liang Anggang, sehingga jika terjadi karhutla berpotensi kabut asap menyelimuti bandara dan mengganggu jadwal penerbangan.
BPBD Kalsel melakukan berbagai upaya untuk menangani karhutla di Kalsel yang hingga saat ini telah melanda sekitar 132 hektare.
BMKG Balikpapan seperti ditulis laman republika.co.id (23/6/2023), menyatakan bahwa puluhan ribu hektare hutan dan lahan terbakar sepanjang tahun ini. Langkah pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus terus diperkuat mengingat titik panas terus bermunculan.
Masalah karhutla menghampiri setiap tahunnya. Akan tetapi, ketika bencana ini datang, upaya negara dalam mengatasi tuntas masalah ini hanya di permukaan saja. Seperti meminimkan munculnya titik api, membuat hujan buatan, ataupun hanya memberi denda tersangka pembakaran hutan.
Pada kenyataannya, peristiwa yang sama terus berulang, khususnya setiap musim kemarau tiba. Apabila kita merenungkan terkait permasalahan ini lebih dalam, maka akan kita dapati bahwa akar permasalahannya ada pada kerusakan ekosistem hutan itu sendiri.
Hutan dibabat habis untuk kepentingan industri, seperti kayu, kertas, lahan perkebunan, hingga tambang. Seharusnya terdapat laporan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan bukan hanya sekedar formalitas.
Itonisnya, negara yang harusnya menindak tegas kasus kerusakan lingkungan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab justru sangat lambat merespon kasus tersebut. Di dalam negeri, banyak kasus yang menguap dan tak tentu rimbanya misalnya kasus salah satu perusahaan di Kalimantan barat yang diputus olah MA untuk membayar kerugian materiel lingkungan hidup sebanyak hampir Rp200 miliar karena terbukti terlibat dalam kasus karhutla.
Untuk memutus satu kasus ini saja nyatanya membutuhkan waktu lebih dari lima tahun. Negara pun tak bisa menghindar dari tekanan internasional. Di bawah isu perubahan iklim dan pemanasan global, Indonesia juga terkena berbagai kewajiban.
Padahal, selain menimbulkan bencana yang merugikan secara ekonomi, sosial, bahkan politik, dampak lanjutannya tentu tidak bisa kita abaikan. Keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Bencana longsor dan banjir pun menjadi langganan. Bahkan konversi dan deforestasi yang salah satunya disebabkan oleh karhutla telah berpengaruh besar pada perubahan iklim dunia dan menyusutnya ketersediaan air bersih di mana-mana.
Masalah seperti ini tidak akan terjadi jika kita mengambil Islam sebagai petunjuk dalam kehidupan. Karena dalam Islam, hutan adalah kekayaan milik umum (rakyat), yang berarti tidak boleh diprivatisasi atau dirusak segelintir orang. Hutan harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, negara berkewajiban menjaga kelestarian hutan dan lahan.
Rasulullah saw. bersabda,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Bencana kerusakan lingkungan terjadi karena ulah tangan manusia. Sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan, tetapi nafsu tidak terbatas, manusia memerlukan petunjuk untuk membatasinya. Islam hadir untuk mengarahkan manusia ke jalan yang benar.
Terkait hal ini Allah Taala telah mengingatkan, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,’ mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah: 11—12).
Ketaatan dan ketundukan terhadap aturan Allah Swt inilah yang akan membawa kebaikan. Allah SWT telah mengingatkan manusia tentang bencana yang terjadi ketika manusia merusak bumi. Firman-Nya,َ “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).
Islam melarang umatnya berbuat kerusakan di muka bumi. Firman Allah Taَala: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-A’raf: 56).
Menjaga kelestarian alam merupakan tugas semua pihak, baik individu rakyat, industri perusahaan, bahkan negara. Mengedukasi dan menegakkan hukum yang berlaku agar alam terjaga dengan baik demi kepentingan umat manusia hingga masa depan nanti.
Sebagai seorang muslim kita harus sadar bahwa dalam Islam peran manusia yang diberi gelar oleh Allah SWT sebagai makhluk terbaik yang memiliki akal yakni sebagai khalifah fil ardhl (pemimpin di muka bumi).
Apabila manusia menjadikan aturan Sang Pencipta sebagai pedoman hidup maka niscaya tidak akan ada kedzoliman dan kerusakan yang terjadi akibat pihak-pihak yang tak bertanggung jawab hingga menyebabkan kerugian secara keseluruhan umat.
Maka islam hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin yakni rahmat bagi seluruh alam, Dengan segala aturan kehidupan yang terpancar dari aqidah islam itu sendiri. Hanya bisa benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pembawa rahmat apabila telah diterapkan aturan-aturannya secara keseluruhan tanpa terkecuali.
Penerapan Islam sebagai sistem kehidupan akan melaksanakan amanat Allah SWT untuk menjaga kelestarian alam. Caranya dengan melakukan antisipasi dengan memberi edukasi melalui kurikulum pendidikan. Langkah antisipatif lainnya adalah negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Dengan demikian, rakyat di sekitar hutan tidak ada terdorong untuk merusak hutan karena ekonomi.
Pembangunan ekonomi negara tetap memperhatikan daya dukung lingkungan sehingga tidak akan merusak alam. Negara menjaga luas hutan pada level yang tetap untuk menjaga kelestariannya.
Pada area hutan tertentu seperti suaka margasatwa dan hutan lindung, diproteksi sehingga terkategori kepemilikan negara dan tidak boleh ada yang mengambil hasil dari hutan tersebut sama sekali.
Hal ini demi menjaga ekosistem yang ada di dalamnya. Negara menindak tegas individu maupun perusahaan yang melakukan perusakan hutan bahkan sampai terkasus karhutla ini, akan diberikan sanksi tegas pada tersangka serta oknum-oknum aparat yang terbukti memberikan akses untuk perusakan tersebut tanpa terkecuali.
Demikianlah langkah Islam menyelesaikan karhutla dan menjaga kelestarian alam. Islam mengatur rakyatnya agar tidak berbuat kerusakan, kemudian Islam pula mengatur negara agar menjadi penjaga atas bumi Allah Swt.
Akhirnya manusia bisa hidup dan berjalan di muka bumi tanpa adanya kerusakan dan kezoliman akibat ulah tangan manusia sendiri. Oleh karena itu negara hadir dengan aturan islam bisa memenuhi tugas nya sebagai penjaga dan tercapai nya tujuan yakni manusia sebagai khalifah fil ‘ardlh. Wallahu a’alam bishshawwab.[]
Comment