Kebijakan dan Dampaknya di Tengah Rakyat

Opini516 Views

 

 

 

Oleh: Siti Aminah, S. Pd, Pegiat Literasi

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bagai buah simalakama. Istilah ini sepertinya layak menggambarkan kondisi rakyat hari ini. Bagaimana tidak, mereka diperdaya dengan harga sembako yang tak terjangkau di pasaran ataupun di supermarket. Mulai dari harga beras yang melambung tinggi, harga telur yang tak kunjung turun, begitu juga dengan minyak goreng. Rakyat mau beli mahal, tak dibeli juga kebutuhan. Bukan hanya mahal, akan tetapi susah didapatkan di pasaran.

Padahal jika berbicara tentang minyak goreng, hal ini ternyata sudah diklaim oleh pemerintah yang menjadikan minyakita sebagai solusi atas mahalnya minyak untuk rakyat kecil, namun sayangnya gagal karena minyakita masih mahal dan susah didapat. Selain itu juga dengan mekanisme bundling, beli minyakita harus juga beli produk lainya. Hal ini menambah beban rakyat, apalagi yang berpenghasilan rendah.

Sebagaimana yang dilansir oleh katadata.co.id, minyakita dijual mahal pedagang kesulitan dapat stok dari distributor. Selain mahal, minyakita juga masih dijual bersyarat atau bundling. Artinya, pedagang yang ingin membeli minyakita dari distributor harus membeli produk lainnya. Pembelian minyakita dari distributor pun masih terbatas (1/6/2023).

Hal ini menunjukkan adanya kesalahan dalam regulasi distribusi, apalagi dengan lemahnya kontrol pemerintah sehingga harga justru melambung di atas HET. Anehnya harga yang tertera di label jelas-jelas empat belas ribu rupiah perbotol, namun harga di lapangan dua puluh ribu rupiah perbotol. Ini menunjukkan kebijakan yang dikeluarkan adalah kebijakan yang tidak pro rakyat.

Rakyat selalu dijadikan kambing hitam untuk meloloskan kebijakan mereka dengan berdalih untuk kepentingan rakyat. Namun nyatanya, para pemilik modal yang banyak mendapatkan keuntungan, rakyatnya malah buntung.

Mestinya jika para pengambil kebijakan serius memperhatikan kepentingan rakyat, mulai dari A sampai Z akan diurusi semua kebutuhan rakyat. Tidak akan membiarkan rakyatnya diperdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mulai dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya harus dilayani secara keseluruhan. Karena sejatinya pemimpin adalah sebagai pelayan dan rakyat adalah raja. Sebagaimana yang menjadi slogan dari demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Namun hal itu jauh dari harapan. Kepentingan para pemodal selalu terdepan, sementara urusan rakyat selalu dikesampingkan. Misalnya saja masalah minyak goreng, mestinya pemerintah hadir untuk mengontrol pendistribusian barang kepada masyarakat, apakah tepat sasaran atau tidak.

Jika ada kontrol dan pengawasan mustahil harganya selangit dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah rata-rata. Namun karena pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan dan tanpa dikontrol, sehingga berakibat pada mahalnya dan langkahnya minyak goreng di pasaran. Ini tidak lepas dari sistem yang diterapkan, yaitu sistem kapitalisme sekular.

Sementara sistem Islam berbeda dengan sistem kapitalisme sekular. Islam mewajibkan negara sebagai pengatur urusan rakyat. Islam memiliki aturan yang jelas dalam menyelesaikan persoalan, termasuk menetapkan distribusi sehingga rakyat mudah mengakses kebutuhannya. Jika rakyat dilepas begitu saja tanpa ada perhatian dari pemerintah, maka akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.

Sehingga regulasi yang muncul selalu bersandar pada hukum syariat dan bukan berdasarkan pada hawa nafsu manusia. Jika sudah syariat, maka jelas standarnya Allah Subhanahu Wa Taala ridho atau murka terhadap kebijakan yang dijalankan untuk mengatur urusan rakyat.

Sebagaimana kisah yang masyhur di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Ketika beliau memantau rakyatnya, beliau menyamar tanpa diketahui oleh masyarakat bahwa beliau adalah Khalifah. Ternyata beliau menjumpai wanita yang sedang memasak, dan Umar bin Khattab mendekatinya dan bertanya, apa yang dimasaknya itu. Ternyata perempuan itu menjawab ia sedang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang sedang menangis karena kelaparan.

Akhirnya Umar bin Khattab tanpa berpikir panjang dan bergegas ke tempat penyimpanan harta dan mengambil gandum dan memikulnya sendiri. Pada saat itu ada pengawal beliau dan menawarkan diri untuk memikul gandum tersebut. Namun beliau menolaknya karena belia takut jika di akhirat kelak bukanlah pengawalnya tersebut yang akan memikul dosanya, melainkan dirinyalah yang akan dimintai pertanggung jawaban.

Kisah di atas menunjukkan bahwa ketika sistem Islam diterapkan, maka kebutuhan rakyat terpenuhi dan langsung kepala negara atau walinya yang turun kelapangan untuk melihat kondisi rakyatnya, apakah mereka makan atau tidak, sudah terpenuhi kebutuhannya atau tidak. Jadi, ketika Islam berkuasa ada rasa takut bagi para pemimpin. Beda halnya dengan sistem hari ini.

Jadi, hanya dengan sistem Islam rakyat akan diperhatikan sepenuhnya tanpa ada dikotomi antara yang kaya dan miskin, juga tidak ada perbedaan antara muslim dan non muslim ketika sudah menjadi warga negara. Semua terjamin kebutuhan hidupnya dan hidup sejahtera. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment