Kekerasan Terhadap Perempuan Antara Ekspektasi, Realita dan Solusi

Opini1360 Views

 

 

Penulis: Moni Mutia Liza, S.Pd | Pegiat Literasi Aceh

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang digelar dari 25 November hingga tanggal 10 Desember merupakan agenda tahunan yang dipelopori oleh Women’s Global Leadership Institute. Tujuan kampanye ini tidak lain adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Agenda Internasional ini sudah berlangsung 32 tahun membela hak perempuan agar dapat hidup sejahtera tanpa dibayangi rasa takut dengan tindakan kekerasan terhadap mereka. Namun hingga kini kekerasan terhadap perempuan tampaknya semakin menjadi-jadi.

Berdasarkan catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) sebagaimana ditulis laman kompas.id (/21/09/2023), sepanjang tahun 2022 hingga Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah korban 16.275 orang.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan fisik sebanyak 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576 kasus, kekerasan seksual sejumlah 2.948 kasus dan korban penelantaran perempuan sebanyak 2.199.

Dengan jumlah korban yang begitu besar, tentunya terlintas pertanyaan-pertanyaan di benak kita. Berbagai kampanye yang diselancarkan baik oleh pemerintah, LSM lokal bahkan skala internasional baik melalui sosial media bahkan seminar-seminar, tidakkah mampu menghapus kekerasan terhadap perempuan?

Ternyata berbagai kampanye yang digencarkan tidak mampu menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya kampanye tersebut tidak menyentuh akar permasalahan yang terjadi.

Sebab sejatinya akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan terletak pada rapuhnya sistem dalam keluarga. Di mana sistem keluarga kita saat ini masih lekat dengan pengaruh sekulerisme dan individualisme sehingga keluarga jauh dari agama.

Rumah tangga dengan basis sekularisme juga jauh dari ketaqwaan dan mudah tersulut emosi dan mengakibatkan terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Ditambah dengan persoalan peliknya ekonomi, sempitnya lapangan pekerjaan, dan menjamurnya judi menambah daftar pemicu kekerasan dalam rumah tangga.

Hilangnya peran suami dan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, bergesernya peran istri sebagai pencetak generasi gemilang merupakan dampak buruk sistem sekuler yang semakin menjauhkan peran penting keluarga dalam tatanan masyarakat. Bahkan sekularisme juga menjadi penyebab terjadinya peningkatan  jumlah perceraian setiap tahunnya.

Bagaimana dengan sistem Islam? Islam menutup rapat-rapat pintu kekerasan terhadap perempuan. Selain membuka peluang kerja kepada laki-laki,  Islam juga membekali masyarakat dengan rambu-rambu dan syariat Allah. Dimulai dari sistem.pendisikan dengan menciptakan kurikulum berbasis aqidah, membangun kontrol masyarakat secara real dan memberi sanksi tegas kepada pelaku kekerasan terhadap perempuan.

Hal ini tegas tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228-289 dan Surah An-Nisa ayat 19 yang menyebutkan bahwa sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan akan dihukum qishas (dibunuh) jika terjadi pembunuhan atau dihukum ta’zir oleh hakim atau pemimpin berdasarkan beratnya kejatahatan yang dilakukan bila terjadi penganiayaan fisik.

Penyelesain dan solusi kekerasan dan perlibdungan terhadap perempuan- dalam koridor sekularisme baru sebatas teori dan kecaman belaka. Sekularisme itu sendiri telah menjauhkan perempuan dari fitrah sebenarnya.

Dalam sekularisme, kaum perempuan semakin sibuk dengan materi dan meninggalkan peran pentingnya sebagai ibu pencetak generasi gemilang. Wallahu ’alam bishawab.[]

Comment