Penulis: Widya Soviana | Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kondisi ekonomi rakyat Indonesia saat ini sedang terpuruk. Sulitnya memperoleh pekerjaan menambah panjang angka pengangguran. Rakyat terpaksa kerja serabutan, dengan upah harian yang tidak menentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Daya beli masyarakat yang terus menurun, tak juga membuat harga barang turun.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) malah dinaikkan oleh kebijakan pemerintahan baru sebagai hadiah tahun baru, dengan dalih menjalankan amanat undang-undang pemerintahan sebelumnya yakni Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagaimana ditulis tempo.co, (16/10/24). Padahal, tanpa kenaikan pajak pun beban ekonomi rakyat sudah sangat berat.
Alhasil, berbagai respon penolakan muncul terhadap kebijakan kenaikan pajak tersebut yang dianggap semakin membuat rakyat menderita. Berbagai petisi ditujukan untuk membatalkan kenaikan PPN, meskipun pemerintah berdalih hanya menaikkan PPN untuk beberapa kriteria barang mewah saja sebagaimana ditulis di laman cnnindonesia.com (26/12/2024).
Disebutkan pula dalam laman berita cnnindonesia.com tersebut, bahwa pemerintah akan memberikan paket kebijakan ekonomi berupa insentif hingga diskon pajak sebagai stimulus untuk merespon guncangan akibat kenaikan harga barang tersebut. Kebijakan insentif ditujukan untuk masyarakat dengan ekonomi rendah hingga menengah. Padahal jika dikalkulasikan, maka jumlah penduduk dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah jauh lebih banyak dibandingkan dengan tingkat ekonomi tinggi di Indonesia seperti ditulis bps.go.id/id/news (25/10/24).
Keebijakan ini terlihat seperti menuang garam di lautan. Kebijakan yang tidak dapat memulihkan ekonomi yang terdampak, justru terus meningkatkan stagflasi di tengah masyarakat.
Fakta Barang Naik
Data menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan tidak hanya kelompok miskin, namun kelompok menengah juga perlu penguatan daya beli untuk pertumbuhan ekonomi.
Sementara harga kebutuhan pokok terus meningkat, dari beras hingga minyak goreng, membuat masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga, tantangan ‘no buy challenge’ di tahun 2025 pun menjadi seruan yang bergelinding di media sosial sebagaimana ditulis laman konde.co (8/01/25).
Kendati pajak barang mewah batal dinaikkan oleh pemerintah, namun kenaikan harga barang sudah terlanjur terjadi oleh para pelaku usaha. Alhasil pemerintah harus memberikan tempo waktu selama 3 bulan untuk penyesuaian kembali harga barang bagi pelaku usaha yang telah terlanjur menaikkan harga (sinarharapan.co (03/01/25).
Dalam situasi ini, tentu masyarakat juga yang terkena imbas dari dampak wacana kenaikan pajak, meskipun terjadi pembatalan kenaikan setelahnya. Rakyat kecil, seperti pedagang pasar, buruh, dan pekerja informal, adalah kelompok yang paling merasakan dampaknya.
Mereka yang bergantung pada bahan baku murah semakin terdesak, pedagang kecil yang harus bertahan menjaga harga produknya tetap kompetitif kini harus menghadapi biaya operasional yang meningkat. Akibatnya, daya saing mereka melemah, dan risiko kehilangan pendapatan menjadi semakin besar, karena terjadi penurunan jumlah pembeli.
Pajak Membebani Rakyat
Upaya pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang menaikan pajak telah batal, kendati masih mengguncang ekonomi masyarakat, khususnya kelompok menengah. Solusi untuk memperoleh pemasukan negara seakan membuat menteri keuangan Sri Mulyani berputus asa.
Dalam kesempatannya, ia membeberkan jumlah alokasi uang negara yang dipungut dari masyarakat hingga negara harus mengutang kesana kemari untuk menutupi berbagai sektor, khususnya sektor Pendidikan sebagaimana ditulis cnbcindonesia.com (04/01/25).
Dalam paradigma kapitalisme, Pendidikan dipandang sebagai objek komersial, yang dibangun dengan transaksional (bisnis). Upaya pemerintah untuk memperbaiki pendidikan harus dibayar dengan pungutan langsung atau tidak langsung berupa kenaikan pajak.
Pada kesempatan lainnya Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa “Dua makhluk yang paling dibenci dan dirindukan oleh orang Indonesia adalah pajak dan cukai, karena ia merupakan objek keuangan negara sekaligus objek politik” (https://ekonomi.bisnis.com/, 05/10/23).
Pernyataan ini melegalkan bahwa pajak adalah keniscayaan yang harus dipungut kepada rakyat sebagai sumber penyelenggaraan negara. Sehingga, pajak konsumsi, PPN dibebankan secara merata pada seluruh lapisan masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan tingkat pendapatan.
Artinya, masyarakat berpenghasilan rendah harus membayar persentase yang sama seperti kelompok kaya untuk kebutuhan dasar mereka. Hal ini sangat tidak adil, karena beban pajak akan dirasakan lebih berat oleh kelompok miskin dibandingkan kelompok kaya.
Insentif yang ditawarkan pemerintah belum menjadi solusi bagi kelompok masyarakat yang terdampak. Keadaan ini justru mencerminkan pemerintahan yang populisme otoritarian, yang meraih popularitas seakan berpihak pada kelompok lemah, dengan kebijakan atas pungutan pajak terhadap seluruh barang dan jasa.
Pembiayaan Negara Dalam Pandangan Islam
Negara yang menerapkan sistem syariat Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam penyelenggaraan negara melalui pemasukan dari Baitul Maal. Sumber keuangan Baitul Maal diperoleh melalui fa’i dan kharaj (harta yang diperoleh dari perang), jizyah (iuran dari dzimmi yang mampu), kepemilikan umum (air, api dan padang rumput) serta zakat.
Sumber daya alam menjadi sumber utama yang dikelola untuk menopang kebutuhan publik, seperti sekolah, rumah sakit, infrastruktur jalan dan jembatan dan lainnya. Sehingga, negara mampu memberikan pendidikan secara gratis dengan kualitas terbaik. Begitu halnya dengan pelayanan kesehatan yang menjadi jaminan bagi seluruh rakyatnya.
Berbagai sumber keuangan negara tersebut tidak boleh diserahkan kepada individu atau kelompok orang, sehingga dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al Baqarah, ayat 22.
“(Dialah) yang menjadikan bagimu bumi (sebagai) hamparan dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untuk kamu. Oleh karena itu, janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
Begitu halnya dengan sabda Rasululllah Shalallahu’alaihi wa salam “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yakni air, padang rumput, dan api”, maksud perserikatan bermakna perserikatan dalam pemanfaatan, yakni semua boleh memanfaatkannya dan tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk mengambil manfaatnya.
Maka, sumber keuangan utama negara tidak berasal dari pajak sebagaimana yang terjadi pada sistem demokrasi kapitalisme saat ini. Pajakp dipungut negara, hanya jika keadaan Baitul Maal kosong, dan pemungutan pajak dilakukan negara hanya terhadap orang-orang kaya saja, tidak sebagaimana sistem saat ini yang memungut pajak melalui penjualan seluruh barang dan jasa, bahkan pajak juga diterapkan untuk barang kebutuhan pokok masyarakat.
Padahal, Rasulullah telah mengancam para pemungut pajak dengan sabdanya “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka”. Tidakkah takut pemerintah terhadap ancaman tersebut?Wallahu’alam.[]
Comment