Oleh: Hamsina Halik, Pegiat Literasi
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Bagi suatu bangsa, persoalan ketahanan pangan adalah suatu hal yang sangat penting. Sebab, hal ini berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) nya. Namun, yang terjadi hingga saat ini sangat disayangkan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Adapun pengertian ketahanan pangan tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah, “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.
Namun, apa yang tengah terjadi saat ini, kondisi kelaparan merupakan hal terburuk dari kegagalan pemerintah dalam mebcapai ketahanan pangan. Diaman hal ini berbanding lurus dengan kemiskinan dan kelangkaan bahan makanan pokok. Kemiskinan berimbas pada ketidakmampuan masyarakat memenuhi pangannya secara berkualitas dan kontinyu.
Untuk keluar dari persoalan ketahanan pangan ini, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) terus mendorong peningkatan keberagaman konsumsi pangan masyarakat. Upaya tersebut salah satunya dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pola Pangan Harapan.
Menurut Kepala NFA Arief Prasetyo Adi, penerbitan Perbadan sesuai tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional dalam Perpres 66 Tahun 2021 serta sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo yang menekankan pentingnya pemenuhan gizi masyarakat sebagai upaya pengurangan stunting. (ekonomi.republika.co.id, 4/6/2023)
Hanya saja, meskipun pemerintah terus mendorong peningkatan keberagaman konsumsi pangan masyarakat sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dan terpenuhinya gizi masyarakat, tetap saja sebagian rakyat tak akan mampu untuk mmenuhi gizi mereka. Sebab, dengan kondisi ekonomi saat ini yang sudah sulit dan mencekik leher, bisa makan sekali sehari dengan seadanya saja sudah sangat bersyukur.
Pemerintah pun telah menganggarkan dana sebesar Rp 104,3 triliun-Rp 124,3 trilun untuk meningkatkan produk pangan domestik pada 2024 mendatang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan anggaran tersebut digunakan ketahanan pangan di Tanah Air. Anggaran ketahanan pangan tersebut digunakan antara lain untuk peningkatan produksi pangan domestik melalui program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas.
Pertanyaannya, apakah dengan kebijakan-kebijakan dan penyediaan anggaran sebesar ini akan mampu menyelesaikan persoalan ketahanan pangan hingga ke akarnya? Sebab, ketahanan pangan bukan sekadar penyediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas, melainkan bagaimana kebutuhan pangan ini bisa terdistribusikan dengan mudah ke seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Bagaimana kebutuhan pangan ini bisa terjamin dan terpenuhi selamanya. Ibarat sakit pada tubuh, yang diobati hanya rasa nyerinya, sementara penyebab utama sakit tersebut tidak diobati, sehingga sakit itu tetap ada dan akan terus dirasakan oleh penderitanya. Begitulah gambaran pada masalah ini.
Dengan demikian, apa yang tengah terjadi saat ini bukanlah pada pangan yang tidak beragam. Melainkan pengeloaan pangan yang belum maksimal. Semua itu tentu terjadi karena kebijakan pangan di negeri ini bertumpu pada sistem ekonomi neoliberal. Sistem yang condong pada kepentingan kapital atau pemilik modal. Inilah yang menjadi carut marutnya pengelolaan pangan negeri ini.
Sistem ini melegalkan kapitalisme dan liberalisasi seluruh sektor yang mejadi kebutuhan hidup rakyat termasuk sektor pertanian. Alhasil korporasi raksasa dengan mudah dan cepat menguasai lahan pertanian negeri ini, karena dipandang memiliki kemampuan modal. Dari sini berdirilah perusahaan raksasa yang menguasai sektor pertanian dari hulu hingga hilir.
Di samping itu tampak pula lepas tangannya pemerintah dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya. Dengan dikuasainya sektor pertanian oleh perusahaan raksasa, pangan tidak lagi dikelola untuk menyejahterakan rakyat dan menjamin kedaulatan pangan. Tetapi untuk memenuhi ambisi rakus para kapital.
Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanya jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai dengan penghentian implementasi sistem ekonomi neoliberal kapitalisme. Hal ini hanya bisa terjadi ketika Islam yang dijadikan sebagai sistem yang mengatur segala aspek kehidupan.
Islam sebagai agama yang komprehensif memiliki aturan yang detil dan menyeluruh terkait perpaduan kebijakan ekonomi, politik dan pertanian. Hal ini telah terbukti mampu memberi kesejahteraan yang luar biasa dapat menjangkau wilayah yang demikian luas.
Dengan politik ekonomi islam, segala kebijakan akan diarahkan pada jaminan pemenuhan keutuhan pokok tiap individu rakyat dan memudahkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Agar hal ini terealisasi, maka tanggung jawab ini ada di pundak negara. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Imam (khalifah) adalah rain (pengurus urusan rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad). Wallahu a’lam.[]
Comment