Penulis: Dr. H. J. Faisal | Pensyarah Prodi PAI UNIDA Bogor | Director of Logos Institute for Education and Sociology Studies (LIESS) | Pemerhati Pendidikan dan Sosial | Anggota PJMI
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kabar wafatnya Jane Goodall pada 1 Oktober 2025 di Los Angeles, ketika tengah melakukan tur seminar tentang penyusutan habitat simpanse, benar-benar mengejutkan dunia — termasuk saya.
Goodall meninggal di usia 91 tahun.
Saya sudah lama mengagumi sosok ilmuwan lingkungan dan primatolog asal Inggris itu. Film-film dokumenternya kerap saya tonton di kanal-kanal pengetahuan seperti National Geographic, Discovery, Curiosity, History, dan Animals World. Bahkan dalam beberapa tulisan saya terdahulu, nama Jane Goodall sempat saya sebut sebagai simbol ketekunan ilmiah dan kemanusiaan ekologis.
Saya memang gemar mengamati simpanse — makhluk yang perilakunya kerap menyerupai manusia. Atau jangan-jangan, manusialah yang sering bertingkah seperti simpanse? Bentuk fisik, ekspresi wajah, emosi, bahkan kecerdasan mereka terasa begitu dekat dengan kita.
Kadang, saya berpikir: dalam hal kualitas perilaku dan kendali emosi, manusia justru sering lebih rendah dari simpanse. Lihatlah perilaku di jalan raya yang semrawut, amarah yang mudah tersulut, atau perebutan kekuasaan di berbagai tingkatan — dari “kelas teri” hingga “kelas hiu.”
Mereka tak ubahnya seperti simpanse yang saling berebut wilayah kekuasaan.
Jane Goodall, yang bernama lengkap Valerie Jane Morris-Goodall, lahir pada 3 April 1934 di London. Ia menyelesaikan studi di Newnham College, Cambridge, dengan fokus pada primatologi, etologi, dan konservasi lingkungan. Pada 1977, ia mendirikan Jane Goodall Institute dan menulis buku-buku monumental seperti In the Shadow of Man dan Reason for Hope.
Penelitiannya tentang simpanse liar di Taman Nasional Gombe Stream, Tanzania, sejak 1960, menjadikannya primatolog paling berpengaruh di dunia.
Apa Sebenarnya yang Membedakan Kita dari Simpanse?
Secara fisik, manusia dan simpanse nyaris serupa. Bahkan IQ kita tidak terlalu jauh: IQ rata-rata manusia Indonesia sekitar 70–80, sedangkan simpanse 30–50. Keduanya memiliki empati, meski Jane Goodall sendiri mengakui belum pernah menemukan ibu simpanse yang membunuh anaknya, atau sebaliknya.
Lantas, apa perbedaannya?
Menurut sejumlah kajian ilmiah dan dokumenter yang pernah saya baca maupun tonton, perbedaan mendasar antara manusia dan simpanse terletak pada ekspresi genetik, kemampuan bahasa, kapasitas berpikir abstrak, dan kebudayaan.
Meski DNA kita mirip hingga 99 persen, cara kerja gen kita sangat berbeda. Ekspresi gen manusia menghasilkan perkembangan otak dan sistem saraf yang memungkinkan kemampuan berpikir simbolik, reflektif, dan kreatif.
Manusia memiliki neokorteks lebih besar, yang memungkinkan lahirnya imajinasi, ilmu pengetahuan, dan peradaban. Bahasa manusia jauh lebih kompleks daripada gestur atau simbol simpanse. Kita mampu menciptakan sistem budaya — seni, musik, hukum, agama, dan ekonomi — serta mentransmisikannya lintas generasi lewat tulisan dan pendidikan.
Namun ironinya, kemampuan ini juga melahirkan kebodohan sistemik: kekerasan, penindasan, pengkhianatan, dan kehancuran ekologis. Hal-hal yang justru jarang terjadi di antara simpanse.
Ketika Otak Manusia Dikuasai TikTok dan Media Sosial
Ironi terbesar zaman ini mungkin terletak pada cara manusia menggunakan otaknya. Banyak orang kini menghabiskan hari hanya untuk menonton TikTok, berganti status, mencari perhatian, atau memamerkan harta (flexing), tanpa peduli pada realitas sosial di sekitarnya.
Padahal, menurut para ahli neurologi modern, media sosial dirancang untuk memicu pelepasan dopamine — hormon kesenangan — secara cepat dan berulang. Otak pun terbiasa dengan reward instan, lalu enggan melakukan aktivitas yang menuntut kerja kognitif, seperti membaca, menulis, atau berpikir kritis.
Akibatnya, kreativitas menurun, neuroplastisitas melemah, dan manusia menjadi mudah marah, putus asa, serta gemar menyalahkan orang lain atas kegagalannya sendiri.
Ketika jalur reflektif dan kreatif otak lumpuh, empati pun ikut mati.
Dampaknya lebih jauh lagi: manusia kehilangan kesadaran sosial.
Mereka merasa punya sahabat jika disukai di media sosial, dan menjadikan orang lain musuh jika diabaikan — padahal semua itu hanya terjadi di dunia maya.
Jane Goodall pernah berkata, simpanse memiliki kesadaran sosial tinggi. Mereka saling merawat, berbagi makanan, dan berduka bersama. Simpanse tak punya teknologi, tapi juga tak menderita gangguan mental akibat FOMO (Fear of Missing Out).
Mereka mempererat ikatan sosial lewat perawatan (grooming), bukan scrolling.
Mereka tak pernah membunuh sesamanya demi konten viral. Tak menciptakan teori konspirasi, tak mengkhianati kawannya, tak membiarkan yang tua sendirian di hutan.
Sementara manusia? Sibuk mengedit caption daripada menolong tetangga yang lapar. Berdebat soal moralitas di kolom komentar, tapi lupa mempraktikkannya di dunia nyata.
Mengapa Manusia Memilih Hidup Seperti Simpanse?
Pertanyaan yang tersisa kini bukan lagi “apa bedanya manusia dan simpanse?”, melainkan “mengapa manusia justru memilih hidup seperti simpanse yang tak mampu mengembangkan potensinya?”
Sesungguhnya, bukan IQ yang membedakan manusia dari simpanse, melainkan cara manusia menggunakan akal dan empatinya.
Jika manusia hanya mengejar viralitas dan validasi semu, maka ia sedang mematikan keunggulan otaknya sendiri. Ia menjadi penonton kehidupan, bukan pelaku perubahan.
Maka, jangan salahkan simpanse jika mereka menolak berevolusi menjadi manusia. Sebab, di zaman ini, menjadi manusia bukan lagi soal kemuliaan, tetapi tentang bagaimana menjadi viral — meski tak valid.
Simpanse tidak punya pilihan untuk menjadi manusia. Tapi manusia selalu punya pilihan: untuk menjadi lebih manusiawi, atau justru hidup seperti simpanse.
Selamat jalan, Jane Goodall.
Warisanmu bukan hanya tentang hutan dan simpanse, tetapi tentang kemanusiaan yang kian kehilangan dirinya sendiri. Wallahu a‘lam bish-shawab.[]









Comment