Lembaga Pendidikan Darurat Kekerasan Seksual, Butuh Solusi Fundamental

Opini1242 Views

 

 

Oleh: Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Seolah tak ada tempat yang aman bagi generasi negeri ini, kejahatan seksual mengintai mereka disetiap waktu dan tempat. Sasaran korbannya mengancam segala usia. Tak hanya perempuan dewasa, anak perempuan dan laki-laki bahkan balita alami kejahatan seksual. TKP pun beragam, di tempat umum, rumah hingga di lembaga pendidikan.

Sangat mengerikan, dari tahun ke tahun angka kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak mengalami peningkatan.

Seperti dilansir CNNIndonesia.com, 09/12/2021, tahun 2019 kasus kekerasan seksual pada anak terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada tahun 2020 dan tahun 2021 sebanyak 12.566 kasus. Sementara kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan di 2019 sekitar 8.800 kasus, tahun 2020 terjadi 8.600 kasus dan tahun 2021 di angka 8.800 kasus.

Data Komnas Perempuan, sebagaimana dilansir dari situs komnasperempuan.go.id, kasus kekerasan seksual 19% terjadi di sekolah berasis Agama Islam (Pesantren), 15% ditingkat SMU/SMK, 7% ditingkat SMP dan 3% ditingkat TK, SD, SLB dan Pendidikan berbasis Kristen. Sementara Universitas sebanyak 27%.

Tak tanggung-tanggung, kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan justru dilakukan oleh orang-orang yang berada di dalam lingkungan pendidikan. Persentase pelaku yaitu, guru/pendidik 10 orang (55,55%), kepala sekolah 22,22% (4 orang), pengasuh 11,11%, tokoh agama 5,56% dan pembina asrama 5,56%. (DetikNews.com, 28/12/2021)

Solusi Bak Jauh Panggang Dari Api

Tingginya angka dan kasus kekerasan seksual di Indonesia mengundang sejumlah pihak untuk berbicara tentang solusi. Solusi demi solusi ditawarkan demi menyudahi polemik mengerikan ini. Dirjen (Kesmas) Kemenkes RI, drg Kartini Rustandi misalnya, sebagaimana dikutip DetikHealth.com, (11/12/2021), menawarkan agar Pendidikan Seks Kespro (Kesehatan Reproduksi) dimasukkan dan diajarkan di sekolah dan pesantren. Seperti penggunaan kondom sebagai alat proteksi untuk seks yang aman menurutnya butuh diajarkan sebab seks jika dilakukan tidak aman tanpa kondom jauh lebih beresiko.

Tentu saja tawaran tersebut patut untuk ditolak, sebab narasinya mengandung unsur pembiaran free sex. Dengan kata lain, anak usia sekolah boleh melakukan hubungan free sex asalkan aman. Tidak mengakibatkan resiko seperti hamil di luar nikah yang mengarah pada tindak aborsi dan mencegah penyebaran virus HIV AIDS. Menganggap solusi padahal hal tersebut justru akan menjadi jembatan meluasnya kerusakan moral generasi.

Masif pula desakan sejumlah pihak agar Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan oleh DPR menjadi Undang-undang. Pasalnya, RUU TPKS ini dianggap sebagai solusi jitu untuk menuntaskan kekerasan seksual.

Sejumlah anggota DPR RI, LSM, Komnas perlindungan perempuan dan anak, menteri Agama, menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) hingga Presiden Joko Widodo menghimbau agar RUU TPKS ini segera disahkan.

Sejak tahun 2016, kemunculan RUU TPKS yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sudah menuai kontroversi. Sejumlah pasal yang terdapat di dalamnya dinilai berpotensi menimbulkan kegaduhan dan multitafsir.

Bukan tanpa alasan, RUU TPKS tersebut hanya fokus pada pengaturan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual dan pendampingan pada para korban. Sementara akar masalah dari munculnya kekerasan seksual tak disentuh sama sekali.

Nafas kebebasan seksual sangat terasa dalam RUU tersebut. Hal tersebut menjadi alasan salah satu anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Bukhari Yusuf menolak RUU ini karena menilai bahwa RUU tersebut masih mengusung paradigma sexual consert (persetujuan seksual).

Bak jauh panggang dari api, solusi tersebut tidak menyentuh akar masalah. Muara dari solusi-solusi itu adalah kebebasan dan persetujuan free sex. Padahal, kebebasanlah yang justru menjadi akar masalah munculnya kekerasan seksual. Sehingga selayaknya kebebasan dihapuskan karena menjadi biang dari semua kejahatan seksual.

Namun, mungkinkah liberalisasi atau kebebasan ini akan lenyap di negeri ini? Tentu tidak, bahkan Indonesia dengan sistem politik demokrasi bernuansa liberal kapitalis ini menjamin eksistensinya.

Bagi demokrasi macama ini berpakaian terbuka, bergaul bebas, free sex dan LGBT sah dilakukan selama dilandasi rasa suka dan tidak mengganggu hak orang lain. Akan dianggap tindak kriminal jika mengandung unsur kejahatan, seperti pencabulan, pemerkosaan, hingga penyiksaan fisik. Dengan kata lain, bila demikian adanya, maka negara berpenduduk mayoritas muslim ini dapat mengarah Dan melegalkan zina atas nama kebebasan berperilaku! Na’udzubillah

Dibangun di atas paradigma itulah demokrasi liberal sampai kapanpun tidak akan mampu tuntaskan kejahatan seksual yang mengerikan ini. Dan diselesaikan dengan solusi apapun tetap saja kejahatan seksual akan terus ada jika yang menjadi ruh dari solusi tersebut adalah kebebasan.

Di bawah naungan sistem pendidikan sekuler, kebebasan pun masih dipertontonkan. Tampak pada perilaku peserta didik yang kian hari kian jauh dari kata beradab. Banyak pemberitaan yang mengabarkan kondisi kritis yang dialami oleh pelajar. Mulai dari free sex, narkoba, pesta miras, kriminal, tawuran, hingga moral yang abnormal. Pelajar menjadi pelaku dari penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Pendidikan agama sejatinya diberikan porsi yang besar dalam kurikulum pendidikan, sebab pelajaran tentang moral, akhlak, etika, pribadi mulia dan beradab hanya ada dalam pelajaran agama. Namun yang terjadi justru pendidikan agama disajikan sebagai mata ajaran kepada peserta didik hanya pembahasan permukaan bukan ajaran Islam secara menyeluruh.

Tujuan dari sistem pendidikan saat ini semata adalah materialisme.  Bersekolah sekedar untuk bisa lulus lalu bekerja dan bisa mendapatkan uang/gaji. Maka capaian utamanya adalah menghasilkan output siap pakai di dunia kerja.

Sementara pembentukan keimanan yang kuat terhadap agama serta kepribadian yang baik tidak menjadi tujuan utama dalam pendidikan di negeri ini.

Wajarlah jika output dari sistem pendidikan sekuler saat ini bermental rapuh. Menjadi pengajar dan pendidik tapi justru melakukan perilaku menyimpang. Akal yang cerdas, ilmu yang banyak tidak menghasilkan perilaku yang terpuji. Justru sebaliknya menjadi pelaku kejahatan padahal seharusnya menjadi teladan dengan posisi terpandang. Kualitas pendidik yang memprihatinkan serta lingkungan pendidikan yang tidak aman menuntut agar pembehanan segera dilakukan.

Konsep Pendidikan Islam Adalah Yang Terbaik

Jika dicermati, kecenderungan seksual berasal dari naluri yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia memiliki hasrat seksual serta dorongan untuk memenuhinya. Naluri ini dalam Islam disebut gharizah an-nau’ (naluri melestarikan jenis). Karakteristrik dari naluri ini adalah muncul jika terdapat ransangan yang memicunya.

Seperti penampakan aurat yang terbuka, pergaulan bebas antar laki-laki dan perempuan, termasuk tayangan-tayangan yang mengandung unsur pornoaksi dan pornografi menjadi pemicu munculnya hasrat seksual. Karenanya dalam Islam segala perilaku yang dapat merangsang munculnya seksual akan dicegah.

Bentuk pencegahan Islam tampak pada aturan menutup aurat dan menundukkan pandangan bagi pria dan wanita, memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan, larangan berdua-duaan (khalwat), larangan bercampur baur (ikhtilat) antara pria dan wanita, dan larangan mendekati zina. Termasuk larangan memperjual-belikan barang-barang yang dapat mendorong perilaku menyimpang seperti minumal beralkohol (minol) dan narkoba.

Islam juga mengharamkan membuka tempat maksiat yang dijadikan tempat free sex seperti prostitusi, penari eksotis, diskotik, bar dan sebagainya.

Pernikahan menjadi satu-satunya jalan yang halal dan baik untuk memenuhi kebutuhan seksual dalam perspektif Islam. Karenanya, pernikahan sangat dianjurkan, sedangkan perzinahan dilarang bahkan termasuk dosa besar.

Tak hanya menetapkan aturan pencegahan (preventif), Islam juga menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan seksual dan pelaku sex menyimpang. Seperti hukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali bagi pelaku zina ghairu muhsan (lajang) dan rajam hingga mati bagi pelaku zina muhsan (yang sudah menikah). Ditetapkan pula hukuman bunuh bagi pelaku liwath (homoseksual) juga hukum pidana bagi pelaku pencabulan serta hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual yang disertai pembunuhan jiwa.

Konsep pengaturan Islam yang ideal di atas sangat penting diterapkan sebagai bahan ajaran di lembaga pendidikan. Agar terbentuk pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan menjauhkan dirinya dari perbuatan maksiat yang merusak. Tak hanya bagi peserta didik, tapi juga para pendidik . Paradigma kebebasan berperilaku harus dihilangkan dan diganti dengan paradigma ketundukan pada aturan Islam yang paripurna.

Tentu saja, mewujudkan hal tersebut dibutuhkan peran negara sebagai penyedia layanan pendidikan bagi masyarakat. Negara sudah selayaknya memasukkan materi-materi Islam ke dalam kurikulum pendidikan agar diajarkan secara utuh kepada generasi. Bukan mengajarkan sebagian kecil lantas mengabaikan sebagain besar lainnya. Sebab satu-satunya harapan bagi generasi bangsa ini agar terbebas dari kekerasan seksual hanyalah aturan Islam.

Termasuk negaralah yang bertugas untuk menerapkan sistem sanksi dalam Islam untuk memberi efek jera bagi para pelaku sekaligus menghilangkan potensi kemaksiatan tersebut dilakukan oleh orang lain.

Dengan kata lain, tak hanya lembaga pendidikan yang harus dibenahi, sistem sanksi di negeri ini pun harus revisi sebab terbukti gagal menyudahi kekerasan seksual yang mengancam generasi.[]

Comment