Liberalisasi Kesehatan, Perlukah Dokter Asing?

Opini192 Views

 

 

Penulis: Ressy Nisia | Pemerhati Pendidikan dan Keluarga

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Indonesia makin ketagihan import, bukan hanya sembako, dokter pun rencananya akan diimport.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tujuan dokter-dokter asing didatangkan ke Indonesia bukan untuk menyaingi dokter lokal.

“Bukan masalah saing-saingan, ini masalah menyelamatkan nyawa 300 ribu orang Indonesia yang kena stroke, 250 ribu yang kena serangan jantung, 6.000 bayi yang kemungkinan besar meninggal tiap tahun,” Antara, Rabu (3/7/2024).

Bahkan Dekan Fakultas Universitas Airlangga Budi Santoso yang lantang menolak rencana Pemerintah mendatangkan dokter asing pun sempat dicopot jabatannya. Saat dikonfirmasi Budi membenarkan, “Benar, itu pesan dari saya di grup dosen FK Unair. Benar saya diberhentikan per hari ini,” katanya mengutip Antara, Kamis (4/7/2024).

Meskipun Budi Santoso telah kembali direkrut oleh Universitas Airlangga, wacana mengenai rencana pemerintah untuk mendatangkan dokter asing masih menuai pro dan kontra.

Fenomena rencana mendatangkan dokter asing ke Indonesia merupakan potret kegagalan pemerintah mencetak SDM berkualitas dan memadai di bidang kesehatan. Sebetulnya Indonesia tidak akan kekurangan SDM lulusan pendidikan kesehatan jika pemerintah memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang fasilitas terbaik sehingga mampu mencukupi kebutuhan jumlah dokter di Indonesia dan tidak perlu mendatangkan dokter asing.

Liberalisasi kesehatan dengan mengundang dokter asing ke Indonesia dinilai merugikan masyarakat, karena hal tersebut mempersempit gerak persaingan dokter lokal yang berpotensi menambah jumlah pengangguran, serta berdampak pada biaya kesehatan yang semakin mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat.

Dalam system sekularisme – kapitalisme pendidikan dan kesehatan menjadi bidang jasa yang dikomersialkan. Sistem kapitalisme dengan syahwat ingin memperoleh keuntungan sebanyak – banyaknya menjadikan pemerintah berhitung untung dan rugi dalam membuat kebijakan di bidang kesehatan dan pendidikan. Padahal baik pendidikan maupun kesehatan merupakan jenis pelayanan yang menjadi tanggung jawab negara.

Dalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1dikatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan tempat tinggal yang baik dan sehat, serta berhak memeroleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya”.

Jelas tertulis bahwa kesehatan masyarakat merupakan kewajiban negara, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, di mana kesehatan merupakan jasa yang dikomersilkan yang memiliki tingkatan harga, bukan lagi berbasis pelayanan terhadap masyarakat.

Berbeda dengan system Islam di mana kesehatan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang ditunjang penuh oleh negara untuk semua lapisan masyarakat, baik itu muslim atau nonmuslim, kaya atau miskin semua memperoleh layanan kesehatan terbaik. Sebagaimana perkataan Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah, “Kesehatan bagi orang bertaqwa lebih baik daripada kekayaan.”

Negara bertanggung jawab penuh atas jumlah dan kualitas tenaga kesehatan, fasilitas yang memadai, akses fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau serta pelayan terbaik yang diperoleh secara gratis.

Sebagai contoh, salah satu Rumah Sakit yang terkenal pada masa kejayaan Islam adalah Rumah Sakit Al – Adhudi yang didirikan oleh Adhdu Daulah Ibnu Buwaih pada 981 Masehi di Baghdad. Rumah Sakit ini dilengkapi dengan perpustakaan ilmiah yang besar, apotek dan beberapa tempat untuk memasak.

Rumah Sakit Al – Mashuri Al – Kabir yang didirikan pada 1248 Masehi oleh Raja Al Manshur Saifudin Qalawun di Kairo, Rumah Sakit ini menjadi acuan dalam hal ketelitian, kebersihan dan sistematika. Beberapa Rumah Sakit tersebut merupakan bukti keseriusan negara dalam memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat.

Rumah Sakit dan insan kesehatan dijamin penuh pembiayaannya melalui Baitul Maal dengan system ekonomi Islam, tidak dibebankan pada masyarakat. Pembiayaan upah dokter, riset, laboratorium hingga industri farmasi dibiayai oleh Baitul Maal, dan masyarakat dapat menikmati semua secara gratis.

Dalam sistem Islam, tenaga kesehatan muslim merupakan agen perubahan dalam mewujudkan paradigma kehidupan bernegara yang shahih sesuai tuntunan syariat Islam. Sehingga langkah dan metode yang diambil harus sesuai tuntunan syariat bukan hanya manfaat. Syariat yang sempurna yang mendatangkan kemaslahatan berdasarkan pengaturan Allah swt bukan aturan manusia dan kepentingan. Wallahu a’lam bishawab.[]

Comment