May Day 2022: Tuntutan Sejahtera Dalam Sistem Perbudakan Modern?

Opini941 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tajuk “May Day Fiesta 2022” merupakan puncak peringatan hari buruh yang digelar pada Sabtu, 14 Mei 2022 di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, para buruh se-Indonesia menggelar demo besar besaran dengan mengusung 18 isu perburuhan, baik di depan Gedung DPR pertama maupun di Gelora Bung Karno (GBK) kegiatan yang kedua.

Tuntutan utama yang disuarakan kepada pemerintah adalah mencabut UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurut penuturan Presiden Partai Buruh Said Iqbal, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com, omnibus law atau UU Cipta Kerja mengeksploitasi, membuat perbudakan zaman modern, outsourcing dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan, tidak ada batas waktu, dan upah yang murah.

Sebagaimana dipahami bahwa dalam UU Cipta Kerja, UMK bersyarat, UMSK dan UMSP hilang, serta kenaikan Upah Minimum hanya berdasarkan inflasi atau pertumbuhan ekonomi saja. Berdasarkan hal inilah dari tahun ke tahun kaum buruh senantiasa menuntut upah yang layak. Permintaan mereka cukup sederhana UMK diberlakukan tanpa syarat dan UMSK tidak dihilangkan. Meskipun bergantung hidup dengan pendapatan UMK sangat pas-pas an, seringkali cukup tak cukup memenuhi seluruh kebutuhan hidup.

Artinya, pendapatan UMK atau dengan UMSK itu saja masih jauh dari kata sejahtera mengingat biaya kebutuhan hidup yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Harga sembako melangit, bahan bakar minyak terus naik yang berefek domino pada seluruh harga barang. Apalagi jika sampai harus bersyarat atau justru ditiadakan.

Mungkin publik juga bertanya-tanya mengapa kata sejahtera menjadi “langka” dalam kerangka sistem kapitalisme? Jawabannya adalah karena sistem pengupahannya tidak adil sekalipun diterapkan UMP atau UMSK atau nama lain yang digunakan. Upah buruh dalam sistem kapitalisme ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup minimum, atau yang lebih umum disebut KHL, Kebutuhan Hidup Layak.

KHL ini merupakan standar kebutuhan pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan, bukan berdasarkan jasa yang diberikan oleh tenaganya pada seseorang atau masyarakat. Sehingga upah yang didapat sebatas standart hidup paling minimal yang bisa dipakai untuk taraf hidup sangat sederhana. Artinya upah hanya untuk bertahan hidup bukan mencapai sejahtera belum lagi jika dihadapkan pada kenaikan seluruh barang-barang maka masyarakat akan kelabakan.

Dengan penetapan konsep sistem pengupahan KHL ini, bisa jadi menjadikan adanya berbagai tuntutan yang berulang dari tahun ke tahun belum juga membuahkan hasil. Tuntutan buruh yang difasilitasi dalam beragam aksi dan selebrasi global untuk redistribusi kekayaan dan kenaikan upah nyatanya hanya menjadi tuntutan kosong yang tak bisa dipenuhi oleh sistem kapitalisme, yang ada justru melanggengkan perbudakan modern.

Kaum buruh dieskploitasi untuk meningkatkan volume produksi demi keuntungan para pemilik modal dan kesejahteraan pekerja diasosiasikan sekedar dengan kenaikan upah yang tak seberapa, belum lagi harus bersyarat.

Dari sini semestinya kaum muslimin menyadaro bahwa aksi dan tuntutan kenaikan upah yang terjadi di berbagai negara termasuk negara maju menegaskan bahwa kesejahteraan yang dijanjikan oleh sistem kapitalisme hanyalah ilusi, tidak ada kata sejahtera bagi semua, sejahtera hanya menjadi milik kaum kapitalis.

Realitas ini sangat jauh berkebalikan dengan pengaturan Islam yang menjamin kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya.

Standar pengupahan dalam Islam berdasarkan pada manfaat yang diberikan pada individu atau masyarakat. Upah pekerja bisa berbeda-beda berdasarkan perbedaan kerjanya dan tingkat kesempurnaan dalam suatu pekerjaan yang sama. Sehingga tinggi rendahnya upah buruh dalam suatu pekerjaan semata-mata distandarkan pada tingkat kesempurnaan jasa atau kegunaan tenaga yang diberikan, dan itulah upah yang berhak mereka terima dalam sistem Ekonomi Islam.

Model sistem pengupahan seperti ini merupakan sistem pengupahan yang adil karena memperhatikan hak dan kewajiban pekerja (akhir) dan pemberi kerja (musta’jir). Hubungan ajir dan musta’jir adalah hubungan tolong menolong dalam kebaikan bukan hubungan yang mengeksploitasi. Hubungan yang terjalin berjalan dengan sangat baik bahkan saling ridlo satu sama lain terkait pekerjaan dan upanya. Ada akod yang disepakati, baik dari sisi jenis pekerjaan, waktu kerja, upah dan tenaga yang harus dicurahkan.

Rasul SAW bersabda, “apabila salah seorang diantara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja maka hendaknya diberitahukan kepada mereka upahnya” (HR ad-Daruquthni).

Dalam hadist yang diriwayatkan Ibnu Majah, shahih, Rasul juga bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” Hadist ini menghendaki agar majikan bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan atau sesuai kesepakatan yang mereka buat dan menunjukkan betapa Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap kaum buruh atau karyawan.

Nah, bagaimana jika sudah terjadi kesepakatan pekerjaan dan upah antara pekerja dan majikan namun hasilnya masih tidak mencukupi kebutuhan pekerja dan keluarganya? Maka Islam punya solusi. Memenuhi kebutuhan pekerja memang bukan tanggung jawab pemberi kerja, kewajiban majikan hanya mengupah sesuai akod yang disepakati dengan adil. Selebihnya jika memang pekerja masih hidup dalam kekurangan, maka negara yang akan memback-up.

Pekerja akan masuk kategori fakir atau miskin yang berhak mendapat zakat. Dan jika zakat masih belum juga mencukupi kebutuhannya, negara akan memberikan santunan rutin.

Di lain sisi negara akan meningkatkan kualitas pekerja meliputi ketrampilan (skill) dan kemampuan (abilitas) agar mampu mendapatkan gaji yang lebih tinggi sesuai kapasitasnya. Dengan demikian masyarakat akan sangat terbantu, selain mendapatkan perhatian penuh dari negara, harga-harga bahan sangat terjangkau, belum lagi kebutuhan komunal di cover oleh negara, semisal pendidikan, kesehatan, keamanan secara gratis untuk seluruh rakyat baik kaya raya miskin.

Oleh karena itu pekerja tidak perlu pontang panting menuntut hak upah yang layak karena sebelum diminta, negara memiliki mekanisme yang jelas tentang sistem pengupahan yang adil dan negara sigap menunaikan tugasnya sebagai pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Demikianlah sistem Islam menjamin kesejahteraan untuk seluruh warga negaranya, tentunya ketika kita mengembalikan posisi syariat Islam sebagai aturan yang direalisasikan dalam kehidupan. Wallahu alam bi ash-showab.[]

Comment