Mengupas dan Telaah Kesetaraan Gender

Opini63 Views

 

 

 

Oleh : Arifa Hilma A, Ibu Rumah Tangga

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tanggal 8 Maret kemarin, diperingati sebagai Hari Wanita Internasional. Tahun 2023 ini, peringatan hari wanita internasional tersebut bertemakan Embrace Equity, peluk kesetaraan. Tema ini bertujuan untuk menentang stereotip gender, diskriminasi dan mengupayakan inklusi. Hal ini diungkapkan dalam laman Internationalwomensday.com (-IWD).

Ada 2 hal menarik yang ingin saya kupas di sini, gender dan stereotip gender. Mengapa peringatan hari wanita internasional tidak menyebut wanita secara spesifik? Ya, karena sejatinya gerakan IWD ini tidak hanya untuk wanita, tapi juga 72 gender lain.

Saat ini, pembagian gender dengan sistem binary, –hanya laki-laki dan perempuan– dianggap tidak lagi relevan. Menurut mereka, gender itu seperti spektrum warna. Sangat luas, beragam, dan akan selalu berkembang. Gender sendiri diartikan sebagai perbedaan peran, status, tanggung jawab, fungsi laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan sex, yang diartikan sebagai klasifikasi biologis antara laki-laki dan perempuan.

Awalnya, istilah gender digunakan untuk jenis kelamin kata benda dalam gramatikal bahasa Inggris (feminim dan maskulin). Namun, pada tahun 1955, seksolog John Money memperkenalkan istilah sex sebagai klasifikasi biologis sedangkan gender sebagai klasifikasi pria dan wanita dalam konstruksi sosial.
Akibatnya, istilah gender bergeser maknanya dari jenis kelamin menjadi peran sosial (thisisgender.com)

John Money kemudian melakukan eksperimen terhadap David Reimer dan Brian Reimer, kembar identik di mana salah satunya, David Reimer direkayasa menjadi perempuan. Disuntik hormon dan dibesarkan layaknya anak perempuan. Untuk membuktikan bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial yang bisa berbeda dari jenis kelamin bawaan. Ternyata, pada usia 15 tahun, David Reimer kembali menjadi laki-laki dan tidak pernah merasakan identitasnya sebagai perempuan bahkan ketika dirinya direkayasa menjadi perempuan. (John Colapinto, As nature made him: The boy who was raised as a girl)

Konsep gender ini yang kemudian banyak digunakan feminis untuk menjelaskan kesetaraan dan stereotip gender. Maka jika kita mencari definisi gender di manapun, akan kita temukan bahwa sifat gender ini akan berubah, dan bukan merupakan kodrat alami. Alhasil, tidak heran, jika sistem binary dalam gender dianggap tidak lagi relevan. Gender diibaratkan spektrum warna yang sangat luas dan beragam.

Sedangkan stereotip gender yang ingin dihapuskan gerakan ini didefinisikan sebagai pandangan umum atau kesan tentang atribut atau karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh gender (badilag.mahkamahagung.go.id).

Contoh stereotip gender yang beredar di masyarakat adalah bahwa laki-laki cenderung rasional, dan perempuan bersifat emosional. Laki-laki harus menjadi pencari nafkah utama, sedangkan perempuan harus mengurus rumah dan anak.

Stereotip gender ini kemudian menghasilkan bias gender yaitu kondisi yang memihak atau merugikan salah satu gender. Contoh dari bias gender misalnya, karena perempuan distereotipkan emosional dan irrasional, maka perempuan dinilai tidak kompeten dalam bekerja atau memegang jabatan. Bias gender inilah yang mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti marginalisasi dan diskriminasi.

Kalau kita teliti secara menyeluruh, konsep gender seperti inilah yang menjadi pondasi gerakan IWD dan paham feminisme. Mereka memisahkan gender dan jenis kelamin. Sehingga apapun jenis kelaminnya secara biologis, bisa menjadi gender apapun. Mereka bebas mengidentifikasi gendernya, bebas mengekspresikan gendernya, juga bebas menyalurkan hasrat seksualnya kepada gender manapun. Sehingga banyak istilah-istilah baru dalam terminologi orientasi seksual. Tidak hanya homoseksual dan heteroseksual.

Karena keragaman gender ini masih bertentangan dengan banyak norma, maka mereka mengampanyekan kesetaraan ini, agar gerakan ini menjadi wajar dan normal. Karena alasan inilah, tidak heran jika aktivitas feminisme tidak jauh-jauh dari gerakan kaum pelangi.

Definisi gender ini jelas merusak fitrah seksualitas yang Allah karuniakan kepada manusia. Istilah stereotip gender juga digaungkan sehingga peran laki-laki dan perempuan yang sudah Allah gariskan menjadi kabur. Padahal, Allah menurunkan syariatNya bertujuan agar manusia mencapai mashlahat di dunia dan akhirat. Menurut Imam Asy-Syatibi, tujuan aturan yang Allah turunkan (maqashid syariat) di antaranya untuk menjaga nasab (keturunan) dan menjaga jiwa manusia. Maka wajar, jika syariat ini diabaikan akan banyak nasab yang rusak dan tata kehidupan menjadi hancur.

Ternyata, kesetaraan gender yang diperjuangkan feminis tidak sekadar pemberdayaan perempuan, tetapi mengeluarkan manusia dari kodrat alaminya sebagai laki-laki atau perempuan.

Alih-alih menjadikan perempuan berdaya, feminisme justru sangat rentan dan dapat merusak peradaban manusia. Solusi dari paham ini tentu dengan meng-install paham alternatif, yakni Islam.

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah melalui ibadah ritual, tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan diri sendiri dan manusia lain. Islam memiliki seperangkat konsep pemikiran dan metode komprehensif untuk kehidupan manusia.[]

Comment