Meyly Andyny*: Dilema Antara Defisit Dan Utang 

Opini528 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM,  JAKARTA — DPR menyetujui peraturan pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (Covid-19) menjadi undang-undang (UU).

Dengan keputusan itu, maka DPR menyetujui pemerintah melebarkan defisit APBN 2020 menjadi 5,07% terhadap PDB. Pemerintah juga harus mencari pembiayaan sekitar Rp 852 triliun untuk menutupi defisit anggaran (detikFinance, 13/5/2020).

Pemerintah membutuhkan banyak dana demi menanggulangi dampak Pandemi Corona alias COVID-19 dan melindungi perekonomian nasional. Untuk itu, pemerintah rencananya akan menerbitkan utang baru sekitar Rp 990,1 triliun.

Berdasarkan draf kajian Kementerian Keuangan mengenai program pemulihan ekonomi nasional yang diperoleh detik.com, pemerintah hingga saat ini sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) senilai Rp 420,8 triliun hingga 20 Mei 2020. Nantinya, total utang senilai Rp 990,1 triliun ini akan dengan penerbitan SUN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, dalam dan luar negeri (detikFinance, 28/5/2020).

Dampaknya, total utang pemerintah pada 2020 berpotensi menembus Rp6.000 triliun (katadata, 1/6/2020). Hal ini menambah beban pembayaran bunga utang di tahun ini menjadi Rp338,8 triliun.

Perekonomian Indonesia sudah dipastikan sedang lesu. Covid-19 membuat defisit semakin lebar karena penerimaan negara anjlok, sementara kebutuhan anggaran melonjak.

Namun, upaya untuk menutup defisit dengan galian utang sejatinya bukanlah sebuah solusi, melainkan jalan buntu. Hal ini dikarenakan jeratan utang hanya akan membuat pemerintah semakin bergantung kepada investor di pasar modal baik asing maupun domestik.

Ketika mengalami defisit anggaran, negara yang mengusung sistem Kapitalisme akan berusaha mencari solusi agar defisit tidak semakin melebar. Cara Kapitalisme adalah meningkatkan pajak, berutang dan kadang dengan mencetak mata uang. Masing-masing pilihan tersebut berisiko besar terhadap APBN.

Kapitalisme seperti terjebak jalan buntu. Jika berutang, defisit makin lebar. Jika tidak berutang, opsi lain seperti pencetakan mata uang justru risikonya lebih besar.

Dalam sistem Kapitalisme, utang adalah instrumen penting untuk menambal defisit anggaran. Utang diperbolehkan asal tidak melampaui batas aman. Namun ternyata batas aman utang tersebut bisa diubah oleh Pemerintah, seperti yang terjadi saat ini. Bahaya utang sudah jamak diketahui, termasuk oleh ahli ekonomi kapitalisme.

“Amati terus utang karena utang adalah sumber penyakit.” Demikian ucap mantan Wapres Boediono dalam Seminar Nasional Tantangan Pengelolaan APBN dari Masa ke Masa di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan pengambilan kebijakan ketika mengalami defisit anggaran dalam sistem Islam Kaffah. Sistem Islam Kaffah tidak akan mengalami jalan buntu sebagaimana yang dialami oleh sistem Kapitalisme. Sistem Islam Kaffah akan menyelesaikan defisit anggaran dengan berbagai strategi yang efektif.

Di antaranya dengan meningkatkan pendapatan negara yang dilakukan dengan cara mengelola harta milik negara, mengkhususkan suatu harta untuk suatu keperluan tertentu dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya, menarik pajak sesuai ketentuan syariah, serta mengoptimalkan pemungutan pendapatan.

Penyelesaian defisit anggaran dalam sistem Islam Kaffah juga dapat diatasi dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.

Serta dengan berutang, namun tetap wajib terikat dengan hukum-hukum syariat, termasuk tidak berhutang ketika terdapat riba maupun hal-hal lain yang dapat menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.[]

*Mahasiswa Pendidikan Matematika
FKIP UMSU

Comment