RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pada bulan April 2020 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan para menteri Kabinet Indonesia Maju akan ancaman krisis pangan dunia di tengah pandemi virus Corona (COVID-19) seperti yang diprediksi oleh Food and Agriculture Organization (FAO).
Peringatan itu pun langsung direspons para menteri, mulai dari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah (detikFinance, 5/7/2020).
Namun, wacana lumbung pangan menuai kritik. Presiden Jokowi diminta melihat kembali rencana pembangunan lumbung pangan di pemerintahan periode-periode sebelumnya.
Dilansir dari detikFinance (5/7/2020), menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, rencana ini sudah pernah diinisiasikan mulai dari pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, lalu juga di periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jokowi sendiri pun sudah pernah mewacanakan pembangunan lumbung padi (rice estate) di Merauke yang hingga kini tak terealisasi. Dengan pengalaman tersebut, ia mengatakan proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan.
Di masa pandemi ancaman resesi begitu nyata di depan mata. Jika ketahanan pangan tidak kuat, rakyat bisa hidup melarat dan akhirnya sekarat. Negara memang wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ia harus melakukan berbagai inisiatif dan alternatif agar kebutuhan rakyat tercukupi.
Tak terkecuali kebutuhan akan bahan pokok seperti pangan. Sebab pangan adalah salah satu unsur kebutuhan utama bagi setiap orang. Namun jangan sampai kewajiban memenuhi kebutuhan rakyat ditunggangi berbagai kepentingan.
Kontra terhadap wacana lumbung pangan nasional (LPN) menggambarkan bahwa perencanaannya dinilai kurang matang. Program yang direncanakan kurang matang hanya akan menciptakan kegagalan.
Banyak tokoh yang meragukan keberhasilan program ini, pasalnya wacana semacam ini kerap kali dibicarakan. Namun realisasinya tidak membuahkan hasil bahkan cenderung gagal.
Menjadi negara swasembada pangan hanya mimpi semata ketika sistem Kapitalisme-Liberal diterapkan. Bagaimana tidak, program yang seharusnya direalisasikan untuk kepentingan masyarakat, namun pada nyatanya untuk kepentingan kelompok maupun cukong.
Program yang diambil untuk mengatasi permasalahan pun cenderung grasa-grusu, tanpa perhitungan yang tepat dan pengaturan yang mantap. Hal ini mengakibatkan program tidak tepat sasaran.
Program tepat sasaran hanya akan mampu terealisasi ketika sistem Islam Kaffah diterapkan.
Pemimpin dalam sistem Islam paham bahwa pemenuhan kebutuhan rakyat adalah kewajiban dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Pemimpin seperti itu tentu tidak akan main-main dalam menentukan sebuah kebijakan.
Dalam Islam, negara wajib memastikan ketersediaan pangan dan keterjangkauannya oleh rakyat. Dalam pengaturannya, Islam menggunakan mekanisme pasar dan subsidi.
Dengan mekanisme pasar diharapkan distribusi bahan pangan akan merata, serta pemastian bahwa pedagang yang berbuat nakal seperti menimbun barang, mencekik pembeli dengan menaikkan harga, dsb.
Dengan subsidi, negara akan memberikan bantuan pada daerah yang kekurangan pangan dari daerah surplus. Sehingga, tidak ada lagi daerah yang mengalami kelaparan atau kemelaratan.
Selain itu, negara juga memberikan perencaan yang tepat dengan pembiayaan yang cukup dan rinci untuk menyiapkan proyek swasembada. Kemajuan teknologi, penelitian di bidang pertanian juga akan digalakkan.
Hasilnya akan dipraktikkan pada para petani dengan bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Dengan begitu, swasembada pangan bukan hanya mimpi semata, serta tidak akan ketergantungan pada asing yang beresiko dijajah secara ekonomi maupun politik seperti saat ini.
*Mahasiswa Pendidikan Matematika
FKIP UMSU
Comment