Mother’s Empowerment

Opini387 Views

 

 

Penulis: Andi’ Aini | Mahasiswi Cinta Qur’an

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– “Aku bilang ke anak perempuanku, sekolah tinggi-tinggi, keliling dunia, coba semua hal yang ingin kamu lakukan selagi tidak melanggar syariat. Walaupun nanti jadi ibu rumah tangga, kamu bisa mendidik anakmu dengan pengalaman yang kamu punya.” Komentar @Allaymumtaz di Twitter, mengutip unggahan akun @AREAJULID.

Masyarakat umum menilai, perempuan tidak boleh sepenuhnya menjadi IRT, terlebih perempuan bergelar sarjana. Menuntut ilmu mengorbankan banyak hal. Menjadi full time mommy dirasa tidaklah tepat. Image perempuan sebagai ibu rumah tangga saat ini, hanyalah second class citizen atau sebagai last choice saja.

Membentuk anak hebat tidak bisa dengan simsalabim. Meskipun mendapat ilmu, sekolah tinggi tidak menjamin kerja dan penghasilan yang baik namun management anak dan rumah tangga butuh disiplin ilmu yang sangat kompleks.

Tayangan TV dan sosmed  memperlihatkan bagaimana kecantikan, ketenaran, kekayaan dan segala hal tentang materi menjadi sebuah gambaran sukses. Wajar saja ruang lingkup pendidikan bergeser dan mulai dikaitkan dengan nilai ekonomi. Pendidikan dikejar berdasarkan makna bahagia, bahwa makin banyak uang maka semakin bahagia dan sejahtera hidup.

Merespon tema utama peringatan Hari Ibu 2023 “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”, sosok ibu yang telah berkarir sebagai IRT, pun kini tetap diarahkan untuk memiliki daya. Berdaya seperti apa yang mereka inginkan?

Ibu Harus Berdaya

Pemberdayaan diartikan sebagai kebebasan untuk memilih dan bertindak meningkatkan otoritas dan kontrol seseorang daengan sumber daya yang terbatas. Keterbatasan terjadi akibat kurangnya aset yang dimiliki untuk meningkatkan “kemampuan” mereka.

Menurut UU No. 20 Tahun 2008, pemberdayaan bertujuan meningkatkan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraan masyarakat dan memperluas lapangan kerja untuk pengentasan kemiskinan. Sehingga digarap pemberdayaan ekonomi bagi perempuan yang akan cepat mendapat respon karena mindset masyarakat terhadap definisi sukses ala kapitalis.

Kurang dari 20% kursi parlemen di dunia diduduki perempuan, sehingga didorong pemberdayaan politik praktis. Partisipasi perempuan dalam partai politik sebagai salah satu lembaga penting dinilai dapat meningkatkan dan memperluas peluang sumbangsih perempuan dalam politik, bahkan sampai kepada taraf menjadi pemimpin. Bukan cuma kembang gula alias pemanis di tubuh parpol.

Womenomics (Perempuan Penggerak Ekonomi)

Geliat UMKM di tangan perempuan tidak disia-siakan penguasa dengan memberi dorongan dan bantuan. Bahkan telah menjadi agenda global serta organisasi internasional PBB dan IMF untuk mendorong pemerintah dan sektor swasta menggerakkan perempuan mengurangi kemiskinan.

Bila dicermati lebih jeli, narasi ini tampak sangat manis sehingga memalingkan perhatian. Partisipasi perempuan dijadikan sebagai sumber daya ekonomi dan tidak lagi mempertimbangkan tupoksi ibu. Intinya, perempuan harus lebih berdaya, lebih berkualitas untuk menjadi mesin ekonomi produktif.

Hal ini tidak akan mengentaskan masalah secara mendasar terhadap ekonomi yang semrawut, yang ada malah terus memutar lingkaran setan kemiskinan.

Padahal akibat ekonomi dan kebijakan pasar bebas kapitalistik menjadi biang keladi terjadinya liberalisasi ekonomi, model keuangan berbasis riba, pencabutan peraturan perdagangan negara, privatisasi sumber daya vital, pertanian korporat dengan perampasan tanah, penghapusan perlindungan negara terhadap industri lokal.

Akibatnya, hutang negara makin membesar, biaya hidup makin tinggi, sektor pertanian, pasar domestik dan bisnis lokal mengalami kelumpuhan, perlahan-lahan menghancurkan ekonomi dan diperhadapkan dengan jurang kemiskinan.

Bagi mereka, seakan-akan sudah menjadi tugas wanita untuk “tidak hanya berada di rumah”. Ibu autopilot secara perlahan tergadaikan atau meninggalkan fitrah seorang istri. Kesetaraan yang semakin diyakini wanita membuat anak-anak akan sulit terurus di bawah kontrol seorang ibu. Peluang laki-laki melaksanakan kewajiban menafkahi malah makin berkurang.

Jangan tanyakan persoalan generasi! Anak-anak bukan lagi mengikuti titah ibu melainkan lingkungan, teman-teman bahkan tayangan yang ditonton.

Barat menganggap bahwa kesibukan  perempuan dengan urusan pengembangan usaha akan mengalihkan pemikiran dan kepekaan dinamika politik atau masalah-masalah keumatan. Sehingga sulit baginya membagi waktu untuk menambah tsaqofah, apalagi mengajarkan dan mendakwahkannya.

Lalu seoorang ibu menyelesaikan problem anak atau generasi hanya dari tontonan dan kebiasaan masyarakat bukan asas benar salah (halal-haram). Mereka akhirnya tidak tajam melihat akod-akod atau kebijakan-kebijakan atas perdagangan atau usaha mereka sendiri, yang bisa saja mengkritik sistem ekonomi ala kapitalis.

Berdaya dengan Islam
(Empowering muslimah)

Peran ibu tidak boleh dirimbas. Perempuan bukan pendongkrak ekonomi. Perempuan berdaya di dalam Islam, menonjolkan peran domestiknya yang sangat penting bagi lahirnya peradaban. Sebagai pendidik generasi, potensi pengasuhan anak lebih dominan kepada ibu.

Laki-laki mencari nafkah bukan menandakan perempuan lemah. Allah memilih tanggung jawab ini untuk laki-laki sebab fisiknya. Namun, kewajiban dan kedudukannya di sisi Allah SWT tetap sama. Tidak perlu hirarki gender, karena ini bukan diskriminasi tetapi sebuah kebijakan yang adil sesuai kapasitas dan potensi masing-masing. Sebagaimana firman Allah SWT :

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. An-Nisa 4:32).

Revitalisasi peran ibu dimulai dari generasi. Dia adalah guru pertama yang mengajarkan tauhid dan hukum Islam secara sempurna.

Wqnita juga tidak bergerak hanya berdasarkan titah partai atau sebagai bunga yang memperindah partai dengan terjun berpolitik praktis. Berdaya adalah cerdas dan optimal dalam memahami geopolitik umat, yang selain mendidik generasi, sebagai sahabat bagi pasangannya, namun juga terjun menjaga ide-ide dari luar yang bertentangan dengan Islam.

Ibu, muslimah dan perempuan yang berdaya bukan sekedar pembebek. Dia memahami standar syari’at dan membagikannya kepada generasi juga terjun menghalau ide kufur. Tentu tidak di rumah saja. Muslimah harus belajar dan mengeksplor (dalam koridor syara’) dan mengajarkannya kepada umat.Wallahu a’lam bisshowwab.[]

Comment