Mudik Lebaran 2022, 5 Juta Pemudik Harus Bayar Transportasi Mahal

Opini796 Views

 

 

Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Penulis Buku Meretas Ilalang Menuju Cahaya Islam

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Mudik adalah salah satu tradisi masyarakat Indonesia menjelang lebaran. Mudik menjadi salah satu alternatif pilihan untuk berjumpa dengan sanak keluarga di kampung halaman. Mereka yang bertahun-tahun hidup di perantauan bisa melepas rindu bersama orang-orang tercinta.

Apalagi setelah dua tahun berlalu kita dilanda pandemi yang berefek pada mandegnya kebiasaan mudik lebaran, sehingga ketika mudik yang sangat diharapkan telah diperbolehkan, masyarakat berbondong-bondong untuk mengambil kesempatan. Dan tahun ini, masyarakat seakan mendapat angin segar karena mudik lebaran 2022 telah diijinkan.

Hanya saja kebahagian mereka mudik tak diiringi dengan nuansa riang gembira, pasalnya biaya transportasi mudik terbilang sangat mahal. Hal ini dipicu naiknya harga bahan bakar minyak jenis pertamax yang melejit di angka RP. 12.500. Tentu naiknya bahan bakar ini berdampak pula pada kenaikan seluruh biaya kebutuhan bahan pokok termasuk biaya transportasi.

Tak sedikit masyarakat terpekik dan melakukan protes akibat kenaikan tarif tiket penerbangan yang mencapai 100 persen atau naik dua kali lipat.

Seperti yang terjadi pada Mutia, 28, karyawan swasta yang merantau di Ibu Kota mengaku terpaksa merogoh kocek lebih banyak demi pulang ke Padang, Sumatera Barat. Ia memesan tiket penerbangan maskapai berbiaya murah atau low-cost carrier (LCC) seharga Rp2,2 juta untuk keberangkatan. Jika dibandingkan tahun lalu, Mutia hanya mengeluarkan ongkos sebesar Rp1,4 juta.

Kenaikan ongkos juga terjadi pada transportasi bus yang mengalami kenaikan dua kali lipat. Misalkan perjalanan yang dialami Yanti, dari Jakarta menuju Purwodadi, Jawa Tengah sebesar Rp 270 ribu untuk kelas ekonomi padahal sebelumnya seharga Rp 120 ribu.

Adapun kenaikan harga tiket transportasi kereta dinilai cukup stabil karena kenaikan tidak terlalu signifikan. Sebagaimana diungkap Menteri BUMN Erick Thohir di laman sindonews.com bahwa mudik menggunakan kereta api menjadi pilihan masyarakat karena nyaman, tepat waktu, sejuk, makanannya enak, dan murah dibanding naik mobil yang biayanya jauh lebih mahal. Bensinnya lagi naik, lagi pula bayar tol, macet dalam keterangan resmi, Minggu (1/5/2022).

Namun jika dilihat, melalui pantauan Kementrian Perhubungan (Kemenhub) melalui pemberitaan Media Indonesia, total jumlah penumpang kumulatif di semua moda angkutan umum mulai H-7 sampai hari H Lebaran (25 April-2 Mei) menembus 5.703.979 orang.

Bisa dibayangkan banyaknya jumlah pemudik tahun ini yang secara langsung terdampak biaya transportasi tinggi. Mereka terpaksa harus membayar mahal transportasi umum. Meski diungkap oleh Menteri BUMN bahwa naik kereta api jauh lebih murah dibandingkan naik mobil sendiri, namun juga tidak bisa dijadikan pembenaran untuk mengelabuhi beban hidup masyarakat yang semakin meningkat.

Pada saat yang sama pemerintah hadir ‘katanya’ untuk menyikapi tarif tiket yang mahal. Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto, pemerintah sudah menetapkan aturan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 106 Tahun 2019. Untuk Tarif Batas Atas (TBA) ditentukan oleh tarif jarak penerbangan dan Tarif Batas Bawah (TBB) ditentukan oleh 35% dari batas atas, dari masing-masing kelompok pelayanannya (Okezone.com).

Pihaknya juga mengklaim akan melakukan pengawasan dan memonitoring harga tiket yang dijual oleh maskapai. Jika ada yang melanggar, maka akan diberlakukan sanksi administratif sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 27 Tahun 2021.

Namun, cukupkah kehadiran pemerintah hanya sebatas menetapkan batas atas tarif dan memberi sanksi bagi pelanggar moda transportasi umum?

Tentu jawabannya tidak cukup. Mengapa? Karena semestinya transportasi umum disediakan sebagai sarana kebutuhan publik yang disediakan oleh negara secara berkualitas dan murah dengan mempersiapkan seluruh infrastruktur, moda transportasi yang layak dan meadai bahkan dengan bahan bakar yang murah juga bisa jadi gratis.

Negara dalam kacamata Islam juga wajib menetapkan tata kelola transportasi publik yang menghalangi peran swasta mengendalikan pemenuhan hajat publik seperti yang terjadi saat ini.

Jamak dipahami penyedia transportasi umum banyak di drive oleh swasta yang didominasi profit oriented, sementara moda transportasi yang disediakan oleh negara (BUMN) juga dikelola dengan nafas yang tidak jauh beda yakni berfokus pada keuntungan finansial.

Diperparah dengan kebijakan BBM, pembangunan infrastruktur, tarif toll hingga tata kelola transportasi publik yang mematok tarif besarnya transportasi umum.

Dari sini jelas bahwa negara bertanggungjawab untuk memberikan jaminan mudik dengan aman, murah bahkan gratis dan bisa dinikmati oleh seluruh kalangan.

Lantas di mana peran swasta? Swasta tetap diberikan peran alaminya bukan kemudian men-drive seluruh pergerakan moda transportasi bukan pula pengendali pemenuhan hajat publik, tetapi swasta diberikan ruang untuk menawarkan kelebihan khusus (luxury) yang tidak ditawarkan oleh pemerintah, tentu dengan kompensasi membayar dengan biaya khusus yang lebih besar dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang memang memiliki kelebihan harta.

Dengan demikian masyarakat secara umum mampu memilih moda transportasi mana yang akan ditumpangi, apakah memanfaatkan fasilitas publik yang disediakan oleh negara atau mengambil pilihan mode transportasi yang menawarkan nilai tambah dengan merogeh kocek sesuai dengan kesanggupannya. _Wallahu alam bi ash-showab_.

Comment