Nia Kurniati Hasibuan, M.H*: Bencana Asap Dan Kesalahan Tata Kelola Lahan, Salah Siapa? 

Opini542 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di Indonesia tepat dikatakan sebagai bencana karena hampir terjadi setiap tahun dan disertai adanya korban jiwa.

Berulangnya kasus ini seolah tanpa solusi, padahal tampak masyarakat menghadapi beban kesehatan yang sangat berat bahkan berujung kematian. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, selaku Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bahwa asap hasil karhutla sangat berbahaya karena puluhan gas yang dilepas mengandung 90 jenis gas dan 50 % nya beracun.

Bahkan disamakan dengan jenis sianida (pada kasus mirna), namun ini dalam bentuk hidrogen. “Efeknya memang tidak langsung membunuh tapi layaknya seperti bom waktu, mengintai dan siap meledak,” imbuh Prof.

Artinya selama karhutla ini terus berulang masyarakat dibiarkan menuju pada kematian secara perlahan. Naudzubillah.

Berdasarkan pernyataan Israr Albar, Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim, Kebakaran Hutan dan Lahan (BPPIKHL) Wilayah Sumatera mengatakan bahwa penyebab berulangnya Karhutla karena dua hal, yaitu: masuknya musim kemarau dengan siklus lima tahunan yang seharusnya terjadi di 2020 justru lebih cepat terjadi pada awal 2019, hal ini terjadi karena ada badai El Nino pada 2019.

Pada sisi lain menarik melihat pernyataan Walhi bahwa kondisi Indonesia di tahun 2019 berpotensi sama dengan tahun 2015, sehingga ini harus benar-benar ditangani dengan tepat, selain itu walhi menganalisis penyebab karhutla terus berulang karena lemahnya penegakkan hukum terhadap korporasi yang membakar lahan Konsesi.

Lantas benarkah semua penyebab tersebut dan akankah kasus karhutla di tahun 2015 akan berulang di tahun 2019? bagaimanakah seharusnya kita melihat permasalahan ini sebenarnya? Berikut akan dibahas lebih mendalam.

Fakta Kebakaran Hutan di Indonesia
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan enam provinsi dalam kondisi darurat karhutla yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, karena keenam provinsi tersebut memiliki lahan gambut yang relatif luas.

Wahyu (Walhi) memaparkan data terkait titik panas secara nasional dari Januari hingga Juli 2019. Saat ini terdapat 4.258 titik panas dengan 2.087 di antaranya terletak di kawasan konsesi dan kesatuan hidrologi gambut (KHG).

Menurut Wahyu jika dibandingkan dengan data konsesi yang berada di KHG, tercatat 613 perusahaan yang beroperasi di KHG. Berdasarkan jumlah itu, 453 konsesi HGU, 123 konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi, dan 37 konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam.

“Hampir mencapai setengah dari titik panas yang tercatat sepanjang 2018 yakni sebanyak 8.617 titik panas,” ungkapnya.

Berdasarkan pantauan data satelit oleh Walhi, ada 3.578 titik api periode 1 Januari-25 Agustus 2018, tersebar 2.423 titik api di Kalimantan dan 1.155 titik api di Sumatera, sedangkan peta persebaran titik panas periode Januari hingga Juli 2019, 1.030 dari 4.258 titik panas terdapat pada Provinsi Riau.

Data karhutla Kalimantan seperti yang disampaikan Bupati Kotawaringin Barat, Nurhidayah mengatakan sebaran titik api (hotspot) dan karhutla berdasarkan hasil pemetaan ada 38 hotspot.

Hotspot terbanyak di Kecamatan Kumai (20), lalu Arut Selatan– meliputi Kota Pangkalan Bun, (13), Kotawaringin Lama (2), dan Arut Utara (3). Dalam rentang waktu sama, kebakaran justru lebih banyak, ada 56 kejadian. Di Arut Selatan 29 kejadian karhutla, Kumai (23), dan Kotawaringin Lama (3).

Sebaran kebakaran itu kebanyakan di hutan dan lahan yang sebagian biasa terbakar saat kemarau, seperti di hutan gambut sekitar jalan poros Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, gambut Bungur-Tatas, sekitar Sungai Arut di Kelurahan Baru, Pangkalan Bun, dan Kelurahan Candi–Sungai Tendang, Kecamatan Kumai.

Di sekitar jalan poros Pangkalan Bun–Kotawaringin Lama, sebagian besar lahan masih kawasan hutan produksi dan hutan produksi konversi. Wilayah ini masuk kawasan hidrologi gambut (KHG) Arut Lamandau. Ia membentang dari Arut Selatan hingga Kotawaringin Lama.

Kondisi khusus untuk wilayah Kalimantan Tengah tercatat ada 1.993 titik hotspot selama tujuh bulan ini. Kemudian, yang berada di kawasan restorasi gambut berjumlah 1.317 titik hotspot. Sedangkan, untuk kabupaten dan kota yang cukup besar wilayah yang terpapar dan terbakar ini ada di Kota Palangka Raya dan Pulau Pisau. Jumlah yang terbakar seluas 3.681 hektar.

Pengelolaan Hutan dalam Regulasi
Pemerintah hadir dalam mengelola hutan dengan mengeluarkan beragam regulasi. Salah satu contohnya berlakunya UU No.41/1999 Tentang Kehutanan.

Namun ini mengalami kritikan dan permasalahan bagi pihak-pihak yang lebih dulu memiliki ijin pemanfaatan lahan, termasuk usaha pertambangan, permasalahannya ada Pasal 38 (4) yang berisi: “Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.” padahal aktivitas pertambangan akan terus bersinggungan dengan kawasan hutan, akan ada lahan yang dibuka dan ditambang secara terbuka, maka dengan demikian regulasi ini akan terus menjadi hambatan bagi pertambangan.

UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga mengalami pertentangan. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 membolehkan Pemda mengeluarkan izin [pengelolaan hutan] namun Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tidak membolehkan, Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemda merasa mereka diberi kebebasan dalam mengeksplorasi SDM demi kesejahteraan rakyat.

Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Tentang Pengelolaan Hutan, Perkebunan dan SDA tumpang tindih dari aspek kewenangan.

Sebelumnya yang membuat kewenangan dipegang pemerintah kabupaten/kota beralih ke Provinsi, sehingga permasalahan kehutanan menjadi tidak strategis, karena regulasi dengan keadaan di lapangan menimbulkan banyak problematika.

Senator Kalimantan Timur, Muhammad Idris  menyoroti persoalan besar di Kalimantan Timur yakni kerusakan lingkungan dan hutan yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan tambang disana “Pengelolaan lingkungan tidak seperti yang diharapkan, pendapatan daerah yang besar untuk pengelolaan tersebut kembali ke pemerintah melalui Kementrian Keuangan bukan kembali ke daerah untuk merehabilitasi kembali lingkungan hidup yang rusak,” ungkapnya.

Padahal rehabilitasi sangat penting dan itu berada di bawah wewenang pemerintah daerah, namun dengan dana yang ditarik ke pemerintah akan menghalangi pemerintah daerah melakukan rehabilitasi.

Berikutnya keberadaan Pasal 52 ayat (1) PP No. 104 Tahun 2015 yang sesungguhnya telah membuka kesempatan terjadinya perubahan fungsi pokok kawasan hutan konservasi dan hutan lindung menjadi kawasan perkebunan.

Keberadaan Pasal 52 ayat (1) PP No. 104 Tahun 2015 ini bertentangan dengan UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan terutama pasal 38 ayat 1 dan 2, yang isinya (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

Apabila kawasan hutan dirubah menjadi perkebunan, artinya terjadi pembukaan lahan (biasa terjadi pada perusahaan sawit) dan faktanya pembukaan lahan ini dilakukan dengan pembakaran lahan.

Maka hal ini juga bertentangan dengan Pasal 69 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang intinya melarang pembukaan lahan dengan membakar, padahal pada Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Yang intinya masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik.

Selain itu UU ini juga memberikan sanksi berupa administrasi, perdata dan pidana baik perorangan maupun korporasi (apabila melakukan pembakaran hutan).

Merujuk terhadap sejumlah aturan tersebut, seharusnya tak ada alasan penegakan hukum lemah. Namun, praktik di lapangan aparat penegak hukum seperti tak berdaya. penegakan hukum terhadap pembakar hutan dan perusak lahan gambut lemah, meskipun perusahaan pelaku sudah teridentifikasi.

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, tumpang tindih aturan penggunaan lahan menjadi salah satu pemicu terjadinya kebakaran hutan. Dia menjelaskan, tak ada aturan yang satu mengenai penggunaan lahan di Indonesia, mana yang harus diperuntukkan bagi hutan desa, hutan produksi, atau perkebunan.

Akar Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia

Merujuk pada fakta karhutla di atas tampak bahwa kebakaran hutan terjadi pada kawasan-kawasan konsesi dibawah ratusan perusahaan besar yang beragam, sedikit data yang menunjukkan bahwa karhutla terjadi di kawasan yang diampu masyarakat.

Tapi terkadang masyarakat yang membuka lahan dengan penjagaan dituding sebagai penyebab karhutla, dan faktanya lahan masyarakat tidaklah seluas lahan perusahaan.

Sehingga perusahaan-perusahaan yang telah diberikan izin itulah yang sesungguhnya memiliki andil terhadap besarnya masalah karhutla, dimana kawasan ribuan hektar yang dibakar yang dapat memunculkan asap dan karhutla besar-besaran.

Kalaupun dikatakan pemerintah hadir dalam mengelola hutan dengan hadirnya regulasi, hal itu juga belum mampu menyelesaikan permasalahan karhutla karena masih terdapat tumpang tindihnya regulasi.

Kalaupun ada regulasi justru itu lebih menguntungkan pada pihak perusahaan atas izin yang diberikan untuk melakukan usaha perkebunan sawit, yang mana izin itu menjadi legalitas untuk melakukan pembakaran hutan.

Berdasarkan hal di atas maka tampak bahwa lahan yang ada tidaklah dikelola dengan baik, karena pemerintah justru melepas lahan-lahan ke tangan perusahaan untuk diraih manfaatnya bagi perusahaan bukan bagi masyarakat.

Hal ini wajar jika pemerintah lebih mementingkan kepentingan perusahaan daripada masyarkaat karena pemerintah menggunakan sudut pandang sekulerisme dan kapitalisme dalam pengelolan hutan khususnya dalam ruang lingkup ekonomi kapitalis.

Cara pandang yang mengedepankan kepentingan segelintir orang untuk kepentingan pribadi bukan untuk masyarakat luas. Terlihat pada pemberian izin besar-besaran pada korporasi untuk menguasai lahan dan mereka dengan bebas melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan dengan luasan hingga ribuan hektar.

Ditambah dengan regulasi yang ada dalam sistem kapitalisme demokrasi dengan UU dan peraturan lainnya yang memberikan legitimasi bagi perusahaan untuk melakukan secara bebas dalam pembakaran hutan.

Solusi Jangka Pendek dan Tantangannya
Pemerintah pertama harus memiliki regulasi RTRWP yang baik karena ini menjadi acuan untuk penentuan kawasan-kawasan sesuai fungsi lahan dan manfaatnya, misalnya mana lahan yang digunakan sebagai pemukiman, lahan konservasi, hutan lindung dan sebagainya, sebagai contoh pada kawasan lahan gambut sesungguhnya tidak layak digunakan sebagai lahan pertambangan atau bahkan perkebunan, karena fungsi lahan gambut yang khas yang tidak boleh dirubah atau dirusak unsur-unsur gambutnya.

Akan berbahaya bila regulasi RTRWP tidak ada maka akan berdampak pada pembangunan yang sembarangan.

Selain itu pemerintah harus benar-benar memperhatikan sekian banyak regulasi agar tidak tumpang tindih dan khususnya tidak meng’anakemas’kan korporasi atau perusahaan demi kepentingan mereka saja (kapitalis) dengan mengabaikan masyarakat yang turut merasakan dampak karhutla (asap) dan lain sebagainya.

Dan juga Negara harus betul-betul menindak tegas setiap pelaku perusak lingkungan, baik apakah itu dari kalangan masyarakat atau bahkan korporasi tanpa melakukan pembedaan sama sekali. Dan benar-benar menuntaskan bahkan dengan berani menutup perusahaan-perusahaan nakal yang tetap melakukan pembakaran lahan dan merusak lingkungan.

Adapun solusi yang lebih dalam lagi adalah pemerintah harus berani untuk meninggalkan konsep pengelolaan lahan ala kapitalis yang berpayung pada konsep ekonomi kapitalis yang memberikan regulasi pro korporasi untuk meraih untung besar dalam pengolahan lahan.

Apakah pemerintah akan meninggalkan konsep ekonomi kapitalis dalam pengelolaan hutan dengan tidak menggunakan UU yang ada dan menggantinya dengan konsep lain yang lebih baik?

Jawabannya tentu tidak karena nampak pada komitmen pemerintah terhadap ekonomi kapitalis, hal itu terlihat pada komitmen Indonesia menjalankan apa yang dihasilkan dari kebijakan-kebijakan internasional seperti meratifikasi hasil dari UNCED (United Nations Conference of Environment and Development) – KTT RIO DE JENEIRO 1992 di Rio De Jeneiro, Brasil (dikenal KTT Bumi).

Awalnya fokus lingkungan meluas pada isu-isu kemiskinan dan penduduk. (disini mulai konsep REDD – Reducing Emission from Deforestation dan Forest Degradation-).

Contoh lain Indonesia terlibat langsung di UNCSD (United Nations Conference on Sustainable Developmnent) – KTT RIO DE JENEIRO 2012, di Rio de Jeneiro Brasil. Dan dinamakan KTT Rio+20. KTT Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional (include di dalamnya pembahasan perlindungan lingkungan). Dan diadopsi SBY sebagai rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan nasional Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan (2005-2025).

Kehadiran Presiden RI dan sejumlah Menteri menunjukkan keseriusan Indonesia untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesiapan peran kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.

Selain itu di masa kepemimpinan Jokowi hadir dengan mengeluarkan berbagai macam Kepres dan memoratorium pembahasan lahan. Dan di tambah banyak regulasi tentang kehutanan namun tidak lepas juga regulasi Minerba yang pro pada korporasi.

Maka hal ini cukup mewakili untuk menunjukkan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk menjalankan apa yang menjadi konsep ekonomi kapitalis, yang artinya dalam pengelolaan hutan pun akan tetap dengan sudut pandang ekonomi kapitalis. Padahal itu semua tidak benar-benar menyelesaikan permasalahan yang ada.

Solusi tuntas khilafah
Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.

Syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) (Zallum, 1983:25). Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi SAW: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1140).

Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak (min marafiq al-jama’ah).

Termasuk milik umum adalah hutan (al-ghaabaat), karena diqiyaskan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi hajat hidup orang banyak. (Ali as-Salus, 2002:37).

Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing). Zallum (1983:81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum:

Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung.

Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya.

Kedua, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah –sebagai wakil kaum muslimin– yang berhak untuk mengelolanya.

Atas dasar itu, maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengolahan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang per orang, serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Sabda Rasulullah SAW: “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).

Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara.

Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

Pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah). Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.

Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi).

Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya. Dalil untuk ketentuan ini adalah kaidah fikih yang menyatakan : al- ashlu fi al-af’aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh).

Jadi pada dasarnya urusan administrasi itu adalah boleh bagi Khalifah untuk menetapkannya sendiri, dan boleh juga Khalifah mendelegasikannya untuk ditetapkan dan ditangani oleh Wali (Gubernur) di daerah.

Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.
Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum.

Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku.

Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan: “Tasharruf al-Imaam ‘alaa al-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah.” (Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan) (Lihat Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi Al-Furu’).

Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).

Muhtasib misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan, atau pembakaran dan perusakan hutan. Muhtasib bertugas disertai aparat polisi (syurthah) di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan), dan menjatuhkan vonis di lapangan.

Sedangkan fungsi pengawasan keuangan, dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah), yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).

Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

Dalam kaidah fikih dikatakan, “Adh-dlarar yuzal”, artinya segala bentuk kemudharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan. Nabi SAW bersabda, “Laa dharara wa laa dhiraara.” (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting.

Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.

Negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan).

Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.

Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara.

Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional.

Jenis dan kadar sanksi ta’zir dapat ditetapkan oleh Khalifah dalam undang-undang, atau ditetapkan oleh Qadhi Hisbah jika Khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang ta’zir yang khusus. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

*Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Palangka Raya

Comment