Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara

Opini665 Views

 

Pajak Bukan Sumber Utama Pendapatan Negara

 

Oleh Novita Darmawan Dewi, Komunitas Ibu Ideologis

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dalam sistem ekonomi selain Islam, pajak dan berbagai pungutan memang menjadi salah satu urat nadi pendapatan negara. Seorang ahli pemerintahan Barat, Arthur Vanderbilt, mengatakan, “Pajak adalah urat nadi (lifeblood) pemerintah.” Sebab itulah dalam sistem ekonomi mereka, berbagai pungutan/pajak digencarkan. Bahkan warga miskin juga dikejar berbagai pungutan/pajak.

Berbeda dengan Islam. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pendapatan negara bukan pajak. Pasalnya, Kas Negara atau Baitulmal dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) memiliki sumber pemasukan yang tetap seperti zakat, jizyah, kharaj, ‘usyr, harta kepemilikan umum (seperti tambang migas dan mineral), anfal, ghanimah, fai, khumus, infak dan sedekah, dan sebagainya. Sumber pemasukan ini amat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Tak perlu ada pungutan batil di luar ketentuan syariat.

Memang adakalanya negara dibolehkan untuk memberlakukan pajak (dharibah). Namun demikian, konsep dan pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem pajak hari ini. Pajak (dharibah) dalam Islam hanya diberlakukan saat negara benar-benar krisis keuangan, sementara negara tentu membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan atas mereka. Misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah, membayar gaji (pegawai, tentara, juga biaya hidup pejabat), memenuhi kebutuhan fakir miskin, juga penanganan bencana alam dan wabah pungutan itu bersifat temporer. Bukan pemasukan rutin dan permanen. Apalagi menjadi sumber pendapatan utama negara.

Ketika krisis sudah terlewati dan Kas Negara (Baitulmal) telah aman, maka pungutan itu akan dihentikan. Jadi pajak (dharibah) dalam Islam bukan merupakan pendapatan rutin dan utama negara seperti dalam sistem kapitalisme.

Objek pajak dalam Islam pun berbeda. Pungutan ini tidak diambil dari semua warga negara. Nonmuslim (ahludz dzimmah) tidak dikenai pajak. Mereka hanya dikenai jizyah yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pajak dalam Islam hanya dibebankan atas warga muslim yang kaya saja. Sabda Nabi saw.

“Sedekah terbaik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR al-Bukhari)

Dengan aturan seperti ini, keadilan akan tercipta. Kebutuhan rakyat tetap terpenuhi dengan jaminan dari negara. Mereka tidak dipersulit dengan berbagai pungutan. Para penguasa pun akan legawa ketika diingatkan akan kewajiban mereka untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh memenuhi hajat rakyat. Mereka takut jika sikap melalaikan kewajiban tersebut akan berbuah siksa pada Hari Akhir. Suatu ketika Abu Maryam al-’Azdy ra. menasihati Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia berkata kepada Muawiyah, “Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

‘Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslim, kemudian ia tidak memenuhi hajat, kepentingan, dan kebutuhan mereka; maka Allah akan menolak hajat, kepentingan, dan kebutuhannya pada Hari Kiamat.’ Mendengar nasihat itu, Muawiyah segera mengangkat seorang untuk melayani segala kebutuhan orang-orang (rakyat).” (HR Abu Dawud).

Berkebalikan dengan hari ini, banyak orang kaya menikmati berbagai fasilitas kemudahan hidup dari negara semisal pengampunan pajak (tax amnesty). Sebaliknya, rakyat kebanyakan kian ditekan dan diburu hartanya. Apakah para pemimpin itu tidak takut dengan doa keburukan yang dipanjatkan Baginda Nabi saw. untuk para penguasa yang zalim, yang mempersulit kehidupan rakyatnya,

“Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Siapa saja yang mengurusi urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia.” (HR Muslim).

_*Penulis, Ibu rumah tangga, pegiat Komunitas Ibu Ideologis (‘Tas Bude’)*_

Comment