Oleh: Liyanti Ummu Syifa, Ibu Rumah Tangga
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Tempe merupakan makanan jenis permentasi yang berbahan baku kedelai, yang dipermentasi dengan jamur rhizopus sp atau dikenal dengan ragi tempe, proses pembuatannya pun melewati beberapa tahap seperti perendaman, perebusan dan pengupasan kulit kedelai.
Tempe berasal dari Jawa kuno, yaitu tumpi artinya makanan yang berwarna putih. Tempe merupakan makanan khas Indonesia, yang dikonsumsi oleh anak-anak, remaja bahkan lansia.
Dari segi kesehatan tempe memiliki banyak manfaat, tempe juga merupakan sumber protein yang mengandung vitamin B.12. Diperkirakan 100 gram tempe mentah mengandung 200 kalori.
Tempe banyak membanjiri pasar dan warung-warung sayur, sebagian orang menjadikan tempe sebagai makanan favorit, bahkan sebagian lagi menjadikan tempe sebagai menu lauk alias teman nasi, hal ini tak aneh terjadi karena harga tempe ramah dikantong.
Tentunya ini menjadi salah satu pekerjaan bagi para pembuat tempe untuk menafkahi keluarga.
Tetapi belakangan ini pengusaha tempe harus menepuk jidat.
Mahalnya harga kedelai menjadi masalah bagi pengusaha tempe, bahkan mereka akan terancam menutup usahanya, hal ini dikarenakan naiknya harga kedelai sehingga modal dan keuntungan tidak sesuai.
Mengutip kompas.com (19/2/2022), menteri Perdagangan Muhammad Luthfi memberikan dua alasan naiknya harga kedelai, pertama harga impor yang mahal, hal ini sebabkan oleh cuaca buruk yang terjadi di kota El.Nina Argentina, Amerika Selatan sehingga harga kedelai dari 12 dolar Amerika Serikat Menjadi 18 dolar Amerika Serikat, hal ini tidak sebanding dengan kebutuhan dalam negeri yang berkisar 3 juta ton sementara stok yang ada 500 – 750 ton.
Alasan yang kedua karena tingginya permintaan pemerintah Cina, yang digunakan sebagai pakan babi, menurutnya di China ada 5 miliar babi yang diberi makan kedelai.
Sementara disisi lain Menteri Syahrul Yasin Limpo, seperti dikutip suara.com (14/2/2022), menjelaskan kebutuhan kedelai di Indonesia dari impor, mencapai 2,4 juta ton dengan dalih naiknya kebutuhan konsumsi masyarakat, sehingga Indonesia ditargetkan memproduksi satu juta ton kedelai. Alasan lain karena faktor petani Indonesia yang tidak tertarik untuk menanam atau bertani kedelai karena harga jual yang relatif murah.
Dari fakta di atas terlihat jelas begitu kentalnya ketergantungan Indonesia terhadap impor salah satunya kedelai, hal ini tidak sesuai dengan julukannya sebagai negara agraris, yang memiliki tanah subur dan cuaca yang teratur.
Secara Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negara agraris adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya bekerja di bidang pertanian. Negara agraris merupakan penghasil bahan pangan dalam jumlah besar sehingga dapat menopang bahan pangan dan perekonomian, namun apa hendak dikata sekarang justru mengandalkan kiriman barang dari luar negeri alias impor.
Masyarakat tentunya sangat mengharapkan pemerintah memberikan keseriusan menangani masalah ini, dengan menstabilkan harga dan swasembada pangan.
Namun kembali rakyat harus menelan pil pahit, dengan janji yang tidak terbukti, hingga saat ini swasembada kedelai belum terpenuhi, dengan alasan anggaran refocusing digunakan untuk penanganan Covid, ini artinya belum ada keseriusan pemerintah membangun dan membentuk kemandirian pangan. Wallahu a’lam bissawab.[]
Comment