Paradoks Swasembada: Eksploitasi Hutan dan Krisis Ekologis dalam Bayang Kapitalisme

Opini141 Views

 

Penulis: Anis Kamila, S,Pd | Tenaga Pendidik

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Implementasi kebijakan strategis nasional di sektor pangan dan energi di Indonesia menunjukkan korelasi yang kuat antara ambisi swasembada dengan peningkatan laju deforestasi, terutama di Papua.

Alih-alih memperkuat ketahanan pangan dan energi terbarukan, kebijakan tersebut justru memperlihatkan pola eksploitasi sumber daya alam yang bersandar pada logika ekonomi kapitalistik — yang menempatkan alam sebagai objek produksi, bukan amanah yang harus dijaga.

I. Eksploitasi Hutan di Balik Proyek Swasembada

Amandemen kebijakan yang memfasilitasi Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk pencetakan sawah dan perkebunan tebu di Merauke, Mappi, dan Boven Digoel telah menuntut konversi hutan secara besar-besaran. Target lahan di Papua bagian selatan mencapai 2 juta hektare, dengan pelepasan kawasan hutan dilaporkan mencapai 486 ribu hektare.

Sebagaimana diberitakan Kompas.com (21 Oktober 2025), pemerintah telah melepas kawasan hutan seluas 486.939 hektare untuk proyek PSN Merauke di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

Sementara itu, laporan DW Indonesia (23 April 2025) menulis bahwa megaproyek pangan dan energi di Papua Selatan yang mencakup rencana penanaman padi dan tebu di atas lahan lebih dari satu juta hektare berpotensi menjadi “ancaman deforestasi terbesar di dunia”.

Laporan Mongabay Indonesia (April 2025) juga mencatat adanya konsesi perkebunan tebu seluas 637.420 hektare yang diberikan kepada 10 perusahaan swasta di kawasan Merauke untuk mendukung proyek pangan dan energi nasional.

Hingga pertengahan 2025, kerugian hutan diperkirakan mencapai 9.835 hektare, menjadikan proyek ini salah satu pemicu utama degradasi lingkungan di Papua Selatan.

Dalam konteks ekonomi kapitalis, proyek-proyek tersebut tidak semata bertujuan memenuhi kebutuhan nasional, melainkan membuka peluang akumulasi modal bagi segelintir korporasi besar.

Pola ini memperlihatkan bagaimana paradigma kapitalisme—yang berorientasi pada keuntungan dan ekspansi pasar—telah menyingkirkan nilai-nilai keadilan ekologis dan kemaslahatan sosial.

Transisi energi berbasis bioetanol pun menjadi “solusi semu” ketika sumber dayanya justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

II. Konflik Sosial dan Krisis Tata Kelola dalam Logika Kapitalisme

Masalah deforestasi di Papua berkelindan dengan lemahnya tata kelola dan konflik agraria. Konsesi besar kepada perusahaan menunjukkan keberpihakan negara terhadap modal besar ketimbang rakyat adat.

Dalam praktiknya, terjadi penyerobotan tanah ulayat, degradasi ekosistem, dan munculnya bencana ekologis seperti banjir akibat pembukaan hutan.

Sebagaimana diberitakan Sawitku.id (10 Oktober 2025), pelepasan hutan di wilayah Merauke, Boven Digoel, Mappi, dan Asmat tumpang tindih dengan 49 wilayah adat, dan telah memicu gelombang protes dari masyarakat lokal.

Bahkan, TUK Indonesia (7 Oktober 2025) menulis bahwa Solidaritas Merauke mengecam kebijakan Menteri ATR dan Menteri Kehutanan yang memfasilitasi pembebasan hampir setengah juta hektare hutan tanpa melibatkan masyarakat adat secara berarti.

Kapitalisme mendorong logika state-corporate alliance—kolaborasi antara kekuasaan politik dan korporasi—yang memunculkan bentuk baru dari state-corporate crime. Aparat keamanan sering kali dilibatkan untuk mengamankan kepentingan ekonomi, bukan melindungi hak warga.

Dalam situasi ini, masyarakat adat bukan hanya kehilangan tanah dan sumber kehidupan, tetapi juga martabat sosialnya. Proyek swasembada pun berubah menjadi instrumen dominasi ekonomi dan politik.

III. Implikasi terhadap Ekologi dan Tanggung Jawab Moral

Hutan Papua merupakan salah satu benteng ekologi dunia yang memiliki fungsi penting sebagai penyerap karbon dan penjaga keseimbangan iklim global. Namun konversi hutan menjadi lahan monokultur menghapus peran vital ini. DW Indonesia (23 April 2025) menyebut bahwa megaproyek pangan dan energi di Papua dapat menggagalkan komitmen Indonesia terhadap target emisi nol bersih (net zero emission).

Sementara itu, kajian Auriga Nusantara (2024) menegaskan bahwa pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua menunjukkan adanya rezim legal yang justru membuka ruang deforestasi dalam skala besar, meski pemerintah mengklaim telah menurunkan angka deforestasi secara nasional.

Kerusakan ekologis akibat kebijakan berorientasi profit menunjukkan krisis moral dalam paradigma pembangunan yang kapitalistik: manusia mengeksploitasi alam tanpa memedulikan keberlanjutannya.

Paradigma ini bertentangan dengan prinsip Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah fil-ardh (pemakmur bumi). Islam memandang alam sebagai amanah, bukan komoditas ekonomi. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-A’raf [7]: 56), Allah menegaskan:

“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” Prinsip ini menggariskan bahwa pembangunan harus berlandaskan maslahah (kemanfaatan) bagi seluruh makhluk, bukan eksploitasi demi segelintir kepentingan.

IV. Solusi Islam terhadap Krisis Pangan dan Ekologi

Islam menawarkan paradigma alternatif yang menolak eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam. Dalam sistem ekonomi Islam, tanah, air, dan energi termasuk kategori kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah), yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau korporasi.

Negara berkewajiban mengelola sumber daya tersebut untuk kemaslahatan rakyat, bukan sebagai komoditas pasar.

Pendekatan Islam menekankan prinsip keseimbangan (tawazun) antara pemanfaatan dan pelestarian. Pembangunan sektor pangan dan energi seharusnya mengutamakan keadilan distribusi, keberlanjutan ekosistem, dan pelibatan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama.

Dengan demikian, kebijakan publik harus diarahkan untuk menjamin kedaulatan pangan yang berkeadilan, bukan sekadar swasembada yang menimbulkan ketimpangan dan kerusakan lingkungan.

Kebijakan pangan dan energi yang berakar pada paradigma kapitalistik telah terbukti melahirkan ketimpangan, konflik sosial, dan krisis ekologis. Solusi terhadap problem ini tidak cukup dengan reformasi teknis, tetapi memerlukan perubahan paradigma: dari eksploitasi menuju pengelolaan berbasis amanah.

Prinsip Islam yang menyeimbangkan antara hak manusia dan hak alam menawarkan arah baru bagi pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.[]

Comment