Penulis: Achmal Junmiadi | Alumni Pascasarjana İstanbul Turki dan Pembina Yayasan Persahabatan Islam Utsmani
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA-— Kemenangan mengejutkan nan cepat yang dilakukan oleh pasukan perlawanan oposisi Suriah terhadap Rezim Syi’ah Basyar Al Asad bermula dari Utara Suriah Aleppo, Homs hingga Damaskus tidak sampai sepekan kini tengah menjadi sorotan dunia.
Bagaimana tidak, pasukan perlawanan oposisi Suriah “Hayat Tahrir Syam (HTS) atau yang sering disebut Freedom Syirian Army (FSA) yang berafiliasi terhadap kaum Sunni yang didukung dan dilatih oleh Turki telah berhasil menumbangkan Rezim Syi’ah terbesar ke 2 di Timur Tengah tersebut tanpa perlawanan berarti dari pasukan Rezim secara kilat.
Presiden Asad pun dipastikan telah lari meninggalkan ibukota Damaskus dengan mengendarai pesawat kargo Rusia dengan tujuan Iran/Rusia setelah 14 tahun menjadi penguasa diktator selama konflik di negara tersebut berlangsung.
Ratusan ribu korban tewas dan jutaan rakyat Suriah menjadi pengungsi selama 14 tahun, termasuk 4 juta pengungsi Suriah di Turki kini tengah memasuki babak baru setelah pasukan FSA secara resmi telah menguasai kembali Aleppo hingga Damaskus.
Jutaan rakyat Suriah mengungkapkan rasa syukur dari Istanbul hingga wilayah perbatasan Turki – Suriah yang nantinya akan dapat kembali ke negerinya dengan rasa aman dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Hal ini tentu perlu dicermati secara seksama bagaimana mungkin pasukan perlawanan oposisi FSA dapat dengan mudah menguasai wilayah yang berada di bawah rezim Asad tanpa halangan yang berarti?
Sebelumnya harus kita ketahui bahwa pasukan perlawanan oposisi yang menggunakan bendera Hijau atau FSA merupakan pasukan bumfer zone yang dibentuk oleh pejuang militan kaum Sunni Suriah (pengungsi) yang secara langsung didukung dan dididik secara militer oleh Turki di bawah kendali Presiden Recep Tayyip Erdoğan di wilayah perbatasan Turki – Suriah sejak 14 Tahun silam difungsikan menjadi tameng militer antara pihak oposisi Suriah terhadap Pasukan Rezim Asad dan juga difungsikan untuk membantu militer Turki melawan kelompok ISIS di Perbatasan selatan Turki – Utara Irak.
Pasukan Perlawanan ini mendapatkan pelatihan komando militer intensif selama bertahun-tahun dan juga supply persenjataan dari militer Turki secara langsung. Turki juga melibatkan pasukan FSA dalam operasi Air Mata Suriah yang mengamankan wilayah perbatasan Turki masuk 30 Kilometer ke dalam wilayah Suriah pada tahun 2019 silam.
Pada periode 2011-2021 pasukan Rezim Asad memberikan serangan yang begitu masif dengan bantuan militer Rusia dan sekutu ideologisnya Iran serta Hizbullah terhadap pasukan perlawanan suriah hingga terpojok ke perbatasan Turki.
Namun di tahun 2024 kini terbalik di mana 2 sekutu utama Rezim Asad sudah tidak lagi memberikan dukungan yang berarti bahkan malah mengakui pihak perlawanan suriah sebagai pemenang atas perebutan wilayah Suriah tersebut. Mengapa hal ini terjadi?
Salah satu jawabannya bermula dari Taufan Al Aqsho 7 Oktober 2023 di mana konflik Israel – Hamas kembali memanas hingga meluas ke wilayah Libanon (Hizbullah) -İran dan Israel berhasil membunuh 2 pemimpin utama (Presiden İran dan Hasan Nasrallah Pemimpin Hizbullah ) tersebut. Peta konflik ini juga tengah merubah geopolitik timur tengah khususnya Suriah yang juga akan menjadi target Israel setelah berhasil menyerang Libanon.
Sebelumnya Presiden Erdoğan sejak 2022 sudah berusaha untuk membangun Rekonsiliasi dengan Presiden Asad prihal perdamaian dengan pihak oposisi dan pengembalian 4 Juta warga Suriah ke negaranya, namun upaya tersebut mengalami kegagalan karena pihak rezim Asad menolak berdamai dan merasa akan tetap dibacking oleh Rusia dan Iran sebagai sekutu utamanya.
Turki memainkan peran strategis dalam mengambil celah konflik Israel – Hizbullah – İran di mana sejak 7 Oktober 2023 silam hubungan Turki – Israel kembali memanas hingga memutus hubungan diplomatik secara resmi. Erdoğan Melihat ambisi Netanyahu tidak lagi semata menguasai Gaza namun ada upaya mewujudkan visi The Great Israel dengan merambah konflik ke wilayah Libanon dan Suriah.
Tentunya ini juga dianggap akan mengancam kedaulatan Turki selama konflik Suriah – Oposisi yang telah melemahkan kedudukan Rezim Asad untuk nantinya dijadikan target selanjutnya oleh Israel.[]
Comment