Pemilu, Kepemimpinan dan Ilusi Demokrasi 

Opini258 Views

 

 

Penulis: Sania Nabila Afifah | Komunitas Muslimah Rindu Jannah

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Ajang pemilihan umum tahun ini disinyalir dan diduga penuh dengan kecurangan. Tidak tanggung-tanggung dugaan kecurangan tersebut dilakukan secara terstruktur dan sistematis.

Dikutip dari laman Koran Tempo (Rabu 21 Februari 2024) , Komisi Pemilihan Umum telah merusak kepercayaan dengan hasil pemilu 2024 yang semestinya mereka jaga. Sederet praktik lancung dan kekisruhan terjadi di semua tingkatan, dari awal pemilu, pemungutan suara, hingga rekapitulasi. Akibatnya keabsahan hasil pemilu pada 14 Februari lalu ini patut di persoalkan.

Belajar dari pemilu sebelumya dan sejarah penyelenggaraan pemilu dalam sistem demokrasi kiberal meniscayakan adanya kecurangan. Karena pemilu dalam sistem demokrasi liberal syarat akan penipuan. Sayangnya masyarakatpun juga mudah tertipu.

Pemilu dalam sistem demokrasi liberal hanya sebuah ajang berebut kekuasaan, bukan untuk melayani rakyat atau umat. Jauh hari sebelum pemilu diselenggarakan para kandidat sudah banyak melakukan kampanye besar-besaran dengan membius masyarakat dengan slogan dannjargon yang seoalah benar-benar akan diwujudkan. Money politik pun dilakukan untuk membeli suara rakyat sampai pencitraan dan lain sebagainya demi menarik simpati masyarakat.

Mirisnya, masyarakat dengan kondisi sosial sedang sakit akibat rusaknya tatanan kehidupan – mulai dari sulitnya ekonomi, mahalnya pendidikan, kebutuhan hidup, sulitnya mencari pekerjaan dan lain-lain membuat masyarakat tak mampu berpikir panjang dan menimbang konsekuensi dari pilihannya. Pilihannya pun tak berlandaskan keimanan.

Tidak sedikit pada akhirnya, masyarakat terjebak oleh perilaku money politic –  padahal dalam Islam, hal semacam itu termasuk suap yang dilarang oleh Allah dan Rasul.

“Penyuap dan orang yang disuap dimasukkan ke dalam neraka,” (HR. Thabrani).

Selain itu, Islam mengharamkan tindakan suap-menyuap. Bahkan, pihak-pihak yang terlibat mendapatkan laknat Allah SWT.

“Allah melaknat penyuap dan yang disuap dalam urusan hukum,” (HR Tirmidzi).

Ada pula karena terbuai oleh opini-opini yang tidak berfaedah. Masyarakat tidak paham dasar-dasar dalam memilih pemimpin. Mereka hanya sebatas meramaikan pesta demokrasi dan memilih saja. Padahal dalam Islam sangatlah jelas dan terperinci, calonnya siapa, dan bagaimana bentuk negara serta aturan yang harus diterapkan.

Tata cara pemilu dalam Islam sangatlah mudah dan praktis. Tidak serumit dan semahal dalam sistem demokrasi liberal ala barat. Pastinya sosok pemimpin seperti apa yang harus dijadikan imam bagi seluruh kaum muslimin. Namun, kurangnya kesadaran dan edukasi dalam memimilih calon pemimpin, akhirnya masyarakat mudah tertipu dengan slogan dan janji janji. .

Masyarakat terbius oleh slogan ditambah pembentukan opini yang gencar melalui media, rakyat diarahkan untuk memilih pemimpin yang begini dan begitu atau dengan janji manisnya. Hanya sebatas itu saja tolok ukur masyarakat memilih calon presiden.

Keimanan yang rapuh, keilmuan yang dangkal dan politik pragmatis itu yang ada dalam benak rakyat. Seperti itulah kepribadian masyarakat yang lahir dari sistem sekular kapitalis saat ini.

Pemimpin dalam sistem demokrasi liberal datang seakan-akan menolong masyarakat dari seluruh problematika dan memberi harapan terjadinya perubahan. Nanun, pada hakikatnya  hanya menjadi sosok pemimpin boneka yang siap dipermainkan oleh tuannya memuluskan jalan untuk menyukseskan rencana dan mengorbankan rakyatnya.

Demokrasi liberal rusak dan cacat sejak lahir. Politiknya pun rusak dan akan melahirkan pemimpin yang rusak pula. Berbeda dengan Islam dalam menyelenggarakan pemilu.

Pemilu dalam Islam adalah wasilah untuk memilih pemimpin yang akan mewakili umat Islam dalam menjalankan kehidupan dan menetapkan hukum syariah sebagai landasan dalam bernegara.

Pemilu dalam Islam tak perlu mengeluarkan biaya yang sangat mahal seperti dalam sistem demokrasi liberal ini. Pemimpin dipilih dalam waktu yang sangat singkat yakni 3 hari. Tidak perlu pemilu lima tahunan hingga harus menyedot biaya. Selagi pemimpin masih cocok di hati masyarakat dan tidak ada masalah, maka jabatannya bisa seumur hidup.

Calon kandidat dicalonkan oleh masyarakat adalah orang yang benar benar mampu mengemban amanah dalam kepemimpinan. Siap memimpin dengan menjalankan hukum Allah dalam memecahkan persoalan yang terjadi atau berkaitan dengan kebijakan yang akan ditetapkan. Calon pemimpin yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan RasulNya. Karena hanya Pemimpin seperti itulah yang wajib ditaati. Allah berfirman dalam surah An-nisa ayat 59;

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”

Masyarakat dalam Islam adalah masyarakat yang terbina keimanan dan tsaqafah keislamannya sehingga ketika memilih calon pemimpin mereka benar-benar paham dan menstandarkan pilihannya pada keimanan. Jadi bukan semata-mata karena viral, dan pencitraan. Sebab urusan dalam memilih dan dipilih merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya.

Inilah wajah buruk sistem demokrasi liberal-  dalam memilih pemimpin penuh dengan problem yang sangat kompleks baik dari sistem, masyarakat, tata cara berikut aturan yang bisa diubah-ubah sesuai dengan kepentingan manusia.

Saatnya umat ini sadar bahwa pesta demokrasi ini sekedar euphoria belaka, yang tidak akan mampu merubah kondisi kehidupan ini.

Hanya kembali pada Islam dan sistem politiknya saja yang akan mampu menyudahi seluruh persoalan yang terjadi saat ini. Wallahu a’lam bisshawab.[]

Comment