Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T, Dosen dan Pemerhati Sosial
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Nusantara, sebagai nama IKN baru menjadi perbincangan hangat di semua kalangan. Pro kontra tak dapat dibendung, mulai grass root hingga penguasa. Jadilah pembahasan terkait IKN menggelinding bak bola liar, yang menarik banyak pihak untuk mengkajinya dalam berbagai perspektif. Mengapa pemindahan IKN seakan begitu urgen di tengah pandemi yang belum jelas ke mana hilirnya?
Sederet kekhawatiran banyak pihak antara lain, Naskah Akademik (NA) berkualitas rendah, rawan bencana ekologis, kedaulatan negara terancam, dan nirempati di tengah pandemi. Hal ini sangat beralasan dengan melihat analisis para pakar di berbagai aspek.
Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, seperti dikutip oposisicerdas.com (22/1/2022) menilai NA Rancangan Undang Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) memiliki kualitas yang lebih rendah ketimbang skripsi mahasiswa S1.
Pun terkait fakta kerusakan lingkungan yang tengah berlangsung di kawasan calon IKN. Dilansir dari tempo.co (13/1/2022), Walhi mengungkapkan dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) IKN, hasil studi menunjukkan tiga permasalahan mendasar jika IKN dipaksakan. Di antaranya ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Patut menjadi pertimbangan bersama bahwa kajian para ahli tentu disertai data valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal paling urgen adalah terkait kedaulatan bangsa. Jamak diketahui bahwa Kaltim berbatasan dengan Selat Makassar, di mana perairan tersebut termasuk Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), kawasan di mana kapal asing bisa lewat tanpa perlu izin.
Belum lagi terkait pendanaan di tengah kondisi ekonomi negeri yang terpuruk. Seperti diwartakan bbc.com (19/1/2022), Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, menilai bahwa penggunaan APBN untuk pembangunan IKN berpotensi mengorbankan program masyarakat akibat keterbatasan dana.
Banyaknya fakta membuktikan bahwa pemindahan IKN saat ini tidak tepat. Terlebih negeri ini masih dalam masa pandemi dengan beragam perubahan akibat dampak pandemi itu sendiri. Seyogianya pemerintah fokus dalam penanganan pandemi plus efek akbar yang ditimbulkan. Wajar jika banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini seakan dipaksakan dan terkesan prematur.
Kebijakan Tidak Pro Rakyat
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) satu-satunya yang menolak pengesahan RUU IKN dari total sembilan fraksi di DPR. Anggota Pansus RUU IKN dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam sebagaimana dilansir bbc.com (19/1/2022) menjelaskan salah satu alasannya adalah bentuk pemerintahan daerah Otorita IKN yang tidak sejalan dengan UUD.
Kesan terburu-buru tercium dari disahkannya UU IKN dalam tempo 16 jam. Aroma kongkalikong mulai tercium oleh rakyat. Tabiat asli para kapitalis tak bisa ditutupi. Terbeber fakta bagi-bagi “kue” di kawasan IKN Nusantara dengan anggaran perdana 466 triliun rupiah _angka ini disinyalir bisa membengkak sampai tiga kali lipat. Belum lagi keterlibatan pihak asing dalam berbagai proyek infrastruktur.
Beragam analisis menegaskan bahwa pemerintah tidak pro rakyat (jika tidak ingin dikatakan zalim). Di tengah kasus stunting, kemiskinan, narkoba, kriminalitas, korupsi, dan segudang problem lainnya, penguasa mengambil langkah yang terkesan mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Sangat wajar jika penilaian bahwa demokrasi sudah mati, memang sangat pantas disematkan. Sistem sekuler yang diemban negeri ini, menjadikan semua hal tersebut bisa berlaku.
Kembali ke Sistem Ilahiah
Bercermin dari peradaban gemilang 14 abad yang lalu. Sebuah sistem yang hingga kini masih dirasakan keagungannya. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan seluruh isi semesta. Tidak ada kebijakan yang menzalimi rakyat. Semua demi kepentingan rakyat, tanpa pandang bulu laki-laki atau perempuan, muslim ataupun nonmuslim.
Pemindahan IKN adalah hal lumrah. Sejarah peradaban Islam pun mencatat sedikitnya empat kali pemindahan IKN. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad (Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia). Perpindahan ketiga adalah Baghdad ke Kairo. Terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul. Di mana ketika itu Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun, dibangun oleh Kaisar Konstantin. Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad. Namun, alasan utama saat itu, semuanya adalah politik.
Dari sini bisa dipahami bahwa kebijakan pemindahan IKN bukan sekadar dalih banjir, penyebaran ekonomi, dan berbagai dalih lainnya. Namun, aspek politik adalah hal mendasar demi berlangsungnya kehidupan yang aman dan sejahtera dalam semua aspek. Kondisi negeri ini sedang “sakit” tersebab virus kapitalisme dengan asas sekuler, sudah merasuk hingga ke ruang-ruang private.
Jika ingin negeri ini menjadi aman dan tenteram, tidak ada solusi lain kecuali mencampakkan sistem yang rusak dan beralih ke sistem ilahiah. Dengannya, niscaya keberkahan akan diperoleh berupa kesejahteraan lahir dan batin oleh seluruh individu rakyat.
Sebagaimana janji Allah Swt. dalam QS. Al-A’raf: 96, yang artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”Wallahua’lam bish Showab.[]
Comment