Penentuan Tanggal Puasa Arafah dan Idul Adha Menurut Ustadz Felix Siauw, Begini Penjelasannya

Nasional403 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Hari raya Idul Adha, salah satu perayaan penting dalam agama Islam, sering kali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait penentuan tanggalnya.

Berikut ini penjelasan dari Ustadz Felix Siauw tentang adanya perbedaan pendapat dalam menentukan tanggal puasa Arafah dan Idul Adha.

Ada perbedaan pendapat antara ulama-ulama dalam mazhab Syafi’i dengan ulama-ulama dalam mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali dalam menentukan kapan Idul Adha akan jatuh.

Selain itu, beberapa ulama juga memperkenalkan metode baru dalam menentukan perbedaan hari raya Idul Fitri. Namun, berbeda dengan penentuan Idul Fitri, ulama-ulama secara umum sepakat dalam menentukan penanggalan Idul Adha.

Penentuan Idul Adha berdasarkan penanggalan yang diikuti oleh Ahlul Makkah, yaitu penduduk Kota Makkah, dikarenakan Arafah merupakan inti dari ibadah haji.

Dalam hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau menyatakan bahwa “Al hajju Arafah”, yang berarti “Haji adalah Arafah”.

Dalam konteks ini, Arafah merujuk pada hari dan tempat yang spesifik, yaitu hari Arafah di padang Arafah. Oleh karena itu, Rasulullah menegaskan bahwa haji harus dilaksanakan pada hari Arafah dan di tempat Arafah.

Penentuan tanggal hari raya Idul Adha mengikuti Ahlul Makkah, karena ibadah haji dilaksanakan di sana.

Ummul mukminin Aisyah, istri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, menyampaikan bahwa penentuan hari Arafah ditentukan oleh Imam atau pemimpin saat itu, yaitu khalifah.

Penentuan tanggal 10 Dzulhijjah, hari raya Idul Adha, menurut Ummul mukminin Aisyah adalah ketika khalifah menyembelih hewan kurban. Hal ini menegaskan bahwa pemimpin di Kota Makkah, baik itu imam atau penduduk setempat yang menentukan penanggalan ini, karena Arafah tidak ada di Indonesia, Malaysia, Turki, atau Mesir.

Perbedaan dalam penentuan hari raya Idul Adha seharusnya tidak terjadi, sebab sudah banyak dalil dan kesepakatan ulama mengenai hal ini.

Jika terjadi perbedaan dalam penanggalan Idul Adha, maka akan menimbulkan masalah-masalah lanjutan. Misalnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan bagi orang yang tidak berhaji untuk berpuasa ketika melihat jamaah haji berada di Arafah.

Jika terjadi perbedaan penanggalan, misalnya ketika melihat jamaah haji sedang berwukuf di Arafah, namun kita belum berpuasa Arafah, maka apa yang harus dilakukan? Apakah kita berpuasa Arafah padahal tidak ada lagi jamaah yang berwukuf di Arafah?

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai puasa apa yang harus dilakukan, karena puasa Arafah bagi mereka yang tidak berhaji di Indonesia dilaksanakan ketika jamaah haji berwukuf di Arafah, saat mereka menanti matahari terbenam untuk berdoa.

Puasa tersebut memiliki manfaat besar, seperti ampunan dosa dan pembebasan dari api neraka.

Pentingnya mencapai kesepakatan dalam penentuan hari raya ini adalah untuk menjaga persatuan umat Muslim.

Sebagaimana diketahui, haji adalah Arafah, sehingga kita mengikuti hari-hari dalam bulan Dzulhijjah. Setelah hari raya Idul Adha, kita tidak boleh berpuasa lagi.

Oleh karena itu, sangat penting untuk mengikuti penentuan yang dilakukan oleh imam atau khalifah yang ada di Kota Makkah.

Dalam kesimpulan, penentuan hari raya Idul Adha sebaiknya didasarkan pada penanggalan Ahlul Makkah. Hal ini berdasarkan kesepakatan ulama dan hadits-hadits yang mengacu pada pentingnya hari Arafah dalam ibadah haji.

Perbedaan dalam penentuan hari raya ini dapat menyebabkan masalah dan perpecahan dalam umat Muslim. Oleh karena itu, perlu mengikuti penentuan yang dilakukan oleh imam atau khalifah yang berada di Kota Makkah.

Semoga informasi ini bermanfaat bagi semua umat Muslim.[]

Comment