Oleh: Niwatun, S.Pd.I*
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pernikahan adalah topik yang sangat menarik untuk dibahas, terutama soal siapa yang akan menikah dan berapa usia calon pengantinnya.
Pekan lalu, jagat media dihebohkan dengan sebuah akun terkait pernikahan, Aisha Weddings. Kehebohan yang dibuat adalah terkait ajakan menikah dini, praktik poligami, dan nikah siri.
Konten yang baru sehari dibuat itu menuai banyak protes terutama dari kalangan yang memang tidak menginginkan berlangsungnya pernikahan dini.
Di Indonesia, batas minimal usia pernikahan yang diatur undang-undang adalah 19 tahun. Atas dasar inilah tiap praktik nikah di bawah 19 tahun akan menjadi sorotan.
Ketidaksiapan pasangan muda yang melangsungkan nikah dini menjadi perhatian meteri PPPA dan LSM perlindungan anak.
Karena ketidaksiapan itulah angka perceraian meningkat. Fenomena tersebut juga menjadi perhatian pihak-pihak yang tergabung dalam LSM perlindungan anak.
Dari fakta kasus yang terjadi dalam pernikahan yang ada, setidaknya satu hal yang harus diperhatikan oleh pihak- terkait, baik orang tua, lingkungan masyarakat, ataupun negara dengan memberi edukasi pernikahan pada anak yang sudah balig atau bahkan sebelum mereka baligh secara integral.
Naluri menyukai lawan jenis adalah fitrah manusia. Tiap manusia memiliki rasa terhadap lawan jenis yang tak bisa dihilangkan, yaitu naluri untuk saling menyayangi.
Karena manusiawi tiap insan menyukai lawan jenisnya, maka perlu adanya edukasi bagaimana mengatasi saat rasa itu ada. Rasa dan naluri tak bisa ditolak, tetapi bisa dipenuhi dengan cara yang benar tanpa menyalahi norma di tengah-tengah masyarakat dan norma agama.
Dalam Islam, naluri saling suka dengan lawan jenis ini diperhatikan dengan memberi edukasi tentang bagaimana hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sebelum menikah. Harapannya ketika mereka baligh dapat memahami bagaimana mereka harus bersikap dan berhubungan dengan lawan jenis.
Tidak seperti kondisi saat ini. Saat naluri itu muncul, para remaja belum punya pegangan yang kuat untuk menjaga mereka dari tindakan yang melanggar aturan agama dan negara.
Padahal, sudah seharusnya mereka paham bagaimana hubungan dengan lawan jenis. Paham jika laki-laki dan perempuan tidak boleh menjalin hubungan khusus sebelum ada ikatan pernikahan. Karena hanya melalui pernikahanlah hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat dibenarkan oleh syariat dan agama.
Peran orang tua dalam hal memberi pemahaman yang benar terkait pernikahan pada anaknya sangatlah penting. Dengan bekal pemahaman itulah diharapkan anak-anaknya siap menjalani rumah tangga dalam usia muda sekalipun.
Namun demikian, arahan yang diberikan orang tua juga butuh dukungan dari lingkungan masyarakat luas dan juga negara.
Negara sebagai payung diharapkan mampu memayungi segala hal yang dilakukan warganya termasuk di dalamnya edukasi pernikahan.
Edukasi pernikahan bisa berisi tugas, hak, dan kewajiban suami istri. Hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam membangun rumah tangga, bagaimana seorang istri saat menjadi ibu dan pengatur dalam rumah tangga suaminya, bagaimana seorang suami memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Hal tersebut sudah harus diedukasikan kepada para remaja yang sudah baligh.
Islam sangat menekankan dan memerhatikan soal edukasi pernikahan. Misal kewajiban suami mencari nafkah, kewajiban istri dalam mengatur rumah tangga, kewajiban bersama dalam mendidik dll. Dengan harapan ketika mereka akan membangun rumah tangga sudah memiliki gambaran yang jelas apa kewajiban dari masing-masing pihak.
Saat ini, lingkungan masyarakat mayoritas muslim, tetapi masih banyak yang belum paham syariat pernikahan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh teknologi yang sangat kuat dengan budaya pergaulan yang begitu bebas.
Dengan begitu, masyarakat muslim pun jauh dari pemahaman Islam termasuk di dalamnya soal syariat pernikahan.
Untuk itu, jika pemahaman syariat pernikahan disampaikan secara integral baik orang tua, lingkungan dan negara, maka tidak akan muncul kekhawatiran akan adanya kekerasan atau hal buruk lain menimpa mereka yang menikah di usia muda.
Sejatinya persoalan dalam rumah tangga akan ada dan terus bergulir, bukan karena yang menikah masih muda, tetapi karena keadaan yang tidak mendukung seseorang memahami perannya sebagaimana yang ditentukan dalam syariat.
Terbukti bahwa yang menikah pada usia matang pun, banyak yang mengalami kekerasan, percekcokan dan berujung pada perceraian.
Semoga dengan mengacu kepada Islam yang utuh dan edukasi yang terintegrasi secara tepat soal pernikahan ini dapat meminimalisir angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Allahu a’lam bishshawab.[]
*Aktivis Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban
Comment