PPN Merangkak Naik, Rakyat Kian Tertekan Panik

Opini234 Views

 

Penulis : Fatihah, S.Ak | Mahasiswi

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia, yang kini berada di angka 11% menjadi 12% akan resmi naik mulai 1 Januari 2025. Berdasarkan berita yang dipaparkan di Kompas menjelaskan bahwa Menteri keuangan Sri Mulyani melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 mengalami defisit Rp309,2 triliun atau 1.37 persen.

Hal inilah yang mendorong pemerintah  melakukan kenaikan, dan merupakan bagian dari strategi pemerintah memperkuat penerimaan negara dan mendukung pembangunan. Namun, kebijakan tersebut juga menimbulkan kekhwatiran akan dampaknya terhadap daya beli masyarakat, terutama di kalangan masyarakat.

PPN adalah salah satu sumber utama penerimaan negara, menyumbang lebih dari 40% dari total pendapatan pajak. Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan ini diperlukan untuk menutupi defisit anggaran yang meningkat pasca – pandemi. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang ambisius, kenaikan PPN dianggap sebagai langkah logis untuk mendorong pendapatan negara (Kemenkeu, 2024).

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik ekonomi Indonesia saat ini tengah mengalami tekanan, tercermin dari tingkat konsumsi masyarakat yang terus melambat hingga kuartal III-2024. Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024, yang menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 53,08%, hanya mampu tumbuh 4,91%, lebih rendah dari laju pertumbuhan kuartal II-2024 sebesar 4,93%. Sehingga kenaikan PPN merupakan solusi yang baik untuk menjaga kesehatan APBN di mana fungsinya berperan merespon krisis keuangan global.

Namun, ternyata kebijakan ini juga beresiko terhadap masyarakat kecil yang pendapatannya lebih banyak digunakan untuk mengkonsumsi barang dan jasa. Maka beban kenaikan PPN sangat nyata terasa.

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022 menyebabkan inflasi naik sebesar 0,5% dalam beberapa bulan pertama. Lonjakan serupa diperkirakan terjadi dengan kenaikan PPN menjadi 12%, yang dapat memicu kenaikan harga bahan pokok, transportasi, dan layanan penting lainnya.

UMKM juga akan terkena dampaknya. Sebagai pelaku ekonomi yang bergantung pada daya beli konsumen, penurunan konsumsi akibat kenaikan harga dapat memperlambat pertumbuhan sektor ini. Bank Indonesia bahkan memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat menurunkan indeks kepercayaan konsumen pada kuartal pertama tahun depan (Bank Indonesia, 2024).

Pada dasarnya, kenaikan tarif PPN tidak akan mengurangi utang untuk biaya pembangunan, dan kemaslahatan masyarakat. Meskipun Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN untuk memperbaiki atau menjaga APBN negara.

Tapi, dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak dijadikan sumber utama  pemasukan negara. Prinsipnya dianggap sebagai instrument yang “adil”. Karena semua pihak, baik kaya maupun miskin dikenakan pajak berdasarkan pengeluaran mereka.

Praktiknya pajak ini bersifat regresif, artinya masyarakat penghasilan rendah membayar porsi lebih besar dari pendapatan mereka dibandingkan kelompok kaya.

Faktanya banyak pengelolaan dana pajak yang tidak sesuai, lebih banyak digunakan dalam proyek-proyek yang menguntukan para kapitalis (pemilik nodal).

Hal ini sangat bertentangan dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, pajak hanya diterapkan sebagai langkah darurat jika sumber-sumber utama pendapatan negara (seperti zakat, wakaf, kharaj, pertambangan, atau harta kekayaan milik umum lainnya) tidak mencukupi. Pajak tidak boleh memberatkan masyarakat kecil atau merusak keseimbangan sosial.

Dalam Islam, penerapan pajak harus mempertimbangkan prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat, dengan tetap memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi tanpa adanya tekanan ekonomi yang berlebihan.

Islam menegaskan hukum bagi orang-orang yang melakukan pemungutan pajak yang tidak adil atau melanggar aturan syariat akan mendapatkan ganjaran buruk di akhirat, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah “Orang-orang yang melakukan kezaliman dan pengkhianatan, serta pemungut pajak zalim akan berada di neraka.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi).

Dalam Islam, keadilan adalah nilai utama dalam kebijakan ekonomi. Ketika pajak dikenakan,  harus mempertimbangkan kemampuan setiap individu dan tidak mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih besar. Kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menyasar semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok miskin, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak adil dan zalim.

Pajak yang tidak adil atau dipungut secara zalim bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan yang diajarkan dalam Islam. Hadits yang menyebutkan bahwa pemungut pajak zalim akan mendapat hukuman di akhirat memberikan peringatan keras bagi mereka yang memungut harta rakyat dengan cara yang tidak sah, tidak transparan, atau tidak adil.

Islam menekankan pentingnya kebijakan fiskal berdasarkan pada prinsip keadilan, transparansi, dan kemaslahatan umum. Pemimpin yang diberi amanah untuk mengelola harta rakyat harus bertindak dengan penuh tanggung jawab dan tidak memberatkan golongan yang lebih lemah dalam masyarakat.

Oleh karena itu, dengan pengaturan pajak dalam islam, maka tidak akan terjadinya kezaliman pada rakyat. Dengan pemerataan manfaat yang didapat khususnya dalam mengelola APBN yang sesuai dengan syariat islam maka akan terwujud kesejahteraan masyarakat.[]

Comment