Penulis: Fauziah, S.Pd | Pendidik & Aktivis Dakwah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Berbagai aksi dari kalangan masyarakat terkait PPN 12%. Sejumlah elemen masyarakat turun ke jalan menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang berlaku pada 1 Januari 2025.
Selain masyarakat, penolakan PPN 12% juga dilakukan oleh mahasiswa. Dalam laman kompas.com, dikabarkan, aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu (28/12), pukul 13.00 WIB sebagaimana ditulis cnnIndonesia.com (28/12/2024).
Per 1 Januari 2025, pemerintah menaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Keputusan ini berdasarkan amanat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan 2021 lalu.
Hal tersebut diperkuat pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI bahwa tarif PPN 12 persen akan berlaku ke semua barang, tidak hanya barang mewah. (ITSNews.com/28/12/2024).
Di samping itu, di media sosial juga ramai mengunggah lambang garuda latar biru. Hal ini ditujukan sebagai aksi penolakan terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen yang semula 11 persen. (Kumparan.com/21/11/2024).
Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA. (Tirto.id/21/12/2024).
Pihak Ekonom Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Kumara Adji Kusuma SFilI CIFP turut menanggapi isu kenaikan PPN tersebut. (Umsida.ac.id/22/3/2024).
Sebenarnya apa sih pajak itu? Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem kapitalisme. Oleh karena itu pajak adalah satu keniscayaan. Demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak.
Ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal. Rakyat biasa akan terabaikan. Rakyat menjadi sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar.
Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak seperti itu – jauh pangan dari api.
Berbagai lapisan masyarakat, mulai buruh sampai akademisi menolak kebijakan kenaikan PPN. Ada berbagai alasan yang disampaikan, termasuk kenaikan pajak akan menurunkan inovasi teknologi. Namun pemerintah tetap menaikkan PPN per 1 Januari 2025 meski banyak yang menandatangani petisi menolak kenaikan PPN.
Kalaulah tidak naik, kenaikannya akan beralih pada sektor lain yang sekiranya bisa menambah pendapatan negara. Hal ini dikarenakan dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan negara.
Setiap negara yang menganut ideologi kapitalisme pasti memungut pajak dari rakyat. Bahkan, rakyat akan dikejar pajak hingga pemasukan negara bertambah. Hal ini juga berlaku bagi Indonesia yang notabene menerapkan sistem kapitalisme.
Menurut cara pandang kapitalisme, cara terbaik mengurangi utang yang sudah segunung itu adalah dengan menaikkan tarif pajak atau mencari apa saja yang bisa dikenai tarif pajak. Alhasil, kenaikan tarif pajak adalah kebijakan yang pasti terjadi, siapa pun pemimpinnya.
Berbeda dengan Islam, – pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitul mal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan kepada kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, – itu pun hanya dalam konsisi dan pada kalangan tertentu. Islam memiliki sumber pendapatan yang banyak dan beragam. Dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi islam, negara mampu menjamin kesehateraan rakyat individu per individu.
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah. Islam mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat. Wallahu A’lam bisshowab.[]
Comment