Korupsi Terus Menular dan Celah Kejahatan dalam Sistem Kapitalisasme 

Opini854 Views

 

Penulis : Fitriani | Mahasiswi

 

RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA — Kepolisian Resor Bungo telah menetapkan mantan kepala dan bendahara SMAN 2 Bungo tahun ajaran 2021/2022 sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi.

Penetapan Kepala Sekolah dan Bendahara SMAN 2 Bungo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Kepala Sekolah dan Bendahara SMAN 2 Bungo ini, membuat kerugian negara mencapai Rp1,2 miliar telah mencoreng dunia pendidikan.

Mirisnya, dana yang dikorupsi merupakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang seharusnya digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar demi meningkatkan kualitas pendidikan. Kasus ini kembali mengingatkan bahwa korupsi tidak mengenal sektor, dan bahkan dunia pendidikan pun menjadi sasaran kejahatan tersebut.

Dana Bantuan Operasional Sekolah atau sering di kenal dengan dana BOS adalah dana yang diberikan oleh pemerintah kepada satuan pendidikan, baik itu sekolah negeri maupun swasta, untuk mendukung operasional kegiatan belajar mengajar.

Tujuan utama dari dana BOS adalah untuk memastikan pendidikan yang berkualitas bagi semua anak di Indonesia, dengan cara mengurangi beban biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan operasional sekolah, seperti pembelian alat tulis, perawatan fasilitas, penggajian tenaga pengajar dan non-pengajar, serta berbagai kebutuhan lain yang mendukung kelancaran proses pendidikan di sekolah.

Keterlibatan langsung Kepala Sekolah dan Bendahara, yang memegang dua posisi strategis dalam pengelolaan keuangan sekolah, memunculkan pertanyaan mendalam: seberapa efektif sistem pengawasan yang ada? Apakah pengawasan dari pemerintah daerah atau instansi terkait telah berjalan dengan baik dan sesuai fungsi mereka?

Sistem pengawasan terhadap pengelolaan dana publik sebenarnya sudah dirancang dengan berbagai mekanisme untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi. Salah satu mekanisme utama adalah kewajiban sekolah untuk menyusun dan melaporkan keuangan, termasuk penggunaan Dana BOS, secara berkala.

Di samping itu, audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi salah satu langkah penting untuk memastikan bahwa pengelolaan dana di tingkat daerah dan sekolah sesuai dengan peraturan yang ada.

Di tingkat lokal, peran pengawasan internal dimainkan oleh pemerintah daerah melalui Inspektorat, yang bertanggung jawab untuk memantau aliran dan penggunaan anggaran di sektor pendidikan.

Tak kalah pentingnya, mekanisme pengawasan ini juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat, khususnya melalui komite sekolah dan orang tua murid, untuk memberikan kontrol tambahan dalam upaya memastikan bahwa dana digunakan dengan tepat, demi tujuan utama meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun, dalam praktiknya, efektivitas pengawasan ini sering kali terkendala oleh sejumlah masalah yang menghambat pelaksanaan secara optimal. Salah satu kendala utama adalah kurangnya transparansi dalam laporan keuangan yang disusun oleh instansi terkait. Laporan yang hanya bersifat formalitas dan sulit diakses publik mengurangi tingkat kontrol masyarakat, sehingga potensi penyimpangan pun sulit terdeteksi sejak awal.

Selain itu, keterbatasan kapasitas auditor juga menjadi tantangan besar. Jumlah auditor yang tersedia sering tidak sebanding dengan banyaknya instansi yang harus diawasi. Akibatnya, pemeriksaan tidak dapat dilakukan secara mendalam atau rutin, membuka celah terjadinya penyimpangan.

Korupsi ini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem secara menyeluruh. Korupsi sering kali bukan semata-mata kesalahan individu, tetapi juga akibat dari sistem yang lemah.

Salah satu faktor utama adalah adanya celah dalam sistem yang memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Ketika aturan, mekanisme pengawasan, dan kontrol internal tidak dirancang atau diterapkan secara efektif, maka celah-celah tersebut memberi kesempatan bagi individu untuk menyalahgunakan kewenangan tanpa takut tertangkap. Koruptor merasa terlindungi karena sistem tidak mampu mendeteksi atau menghentikan penyimpangan sejak awal.

Selain itu, budaya organisasi yang cenderung mentolerir pelanggaran turut mendukung praktik korupsi. Di lingkungan yang menganggap korupsi sebagai hal yang wajar atau bahkan diperlukan untuk mencapai tujuan, individu yang sebelumnya berintegritas tinggi pun bisa tergoda untuk ikut terlibat. Budaya seperti ini semakin memperburuk keadaan dan membuat upaya pemberantasan korupsi semakin sulit.

Kelemahan dalam penegakan hukum juga menjadi faktor krusial terkait  kegagalan sistem. Ketika hukum tidak ditegakkan dengan konsisten atau tidak ada hukuman tegas bagi pelaku korupsi, rasa aman di kalangan koruptor akan semakin meningkat. Hukuman ringan atau kurangnya tindakan tegas dari aparat penegak hukum memberi kesan bahwa pelaku tidak akan menghadapi konsekuensi serius, yang membuat mereka terus melakukan tindakan tersebut.

Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik atau pengambilan keputusan penting lainnya semakin memperburuk situasi. Ketika laporan keuangan sulit diakses atau tidak dilakukan audit secara memadai, maka pengawasan dari pihak internal maupun eksternal menjadi sangat lemah. Hal ini membuka peluang besar untuk terjadinya penyalahgunaan anggaran atau pengelolaan yang tidak sesuai dengan tujuan yang seharusnya.

Sistem pengawasan yang tidak memadai juga memperburuk kondisi ini. Pengawasan yang hanya bersifat administratif, tanpa langkah konkret untuk memastikan akuntabilitas, menjadi sekadar formalitas belaka. Tanpa pengawasan yang lebih mendalam dan menyeluruh, individu yang berniat buruk bisa dengan mudah melakukan penyimpangan tanpa hambatan berarti.

Terakhir, prosedur yang rumit dan biaya tinggi dalam pengelolaan dana publik sering kali menambah peluang bagi praktik suap atau kolusi. Birokrasi yang berbelit-belit dan prosedur yang kompleks memungkinkan pihak tertentu untuk ‘mempercepat’ proses melalui cara-cara yang tidak sah.

Semua ini menunjukkan bahwa bukan hanya individu yang bertanggung jawab, namun juga sistem itu sendiri yang memungkinkan korupsi terus berlangsung.

Inilah kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, korupsi dan ketimpangan sosial sering kali menjadi dua fenomena yang saling terkait. Kapitalisme mengutamakan pencapaian keuntungan pribadi dan persaingan individu. Sistem kapitalisme yang sangat bergantung pada persaingan bebas sering kali mendorong individu atau perusahaan untuk mengambil jalan pintas. Beda dengan sistem islam.

Korupsi dalam Sistem Islam

Di dalam sistem Islam, korupsi dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip moral dan hukum Islam yang menuntut pemimpin untuk bertindak adil, transparan, dan bertanggung jawab. Pada masa pemerintahan kekhalifahan, terutama pada masa pemerintahan khalifah-khalifah awal seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib, pengawasan terhadap pejabat negara dan pengelolaan kekayaan umat menjadi fokus utama dalam menjaga keadilan.

Korupsi dalam konteks ini sering kali berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan yang dipercayakan oleh umat. Para khalifah dan pejabat yang ditunjuk untuk mengelola zakat, pembagian harta ghanimah (harta rampasan perang), dan urusan keuangan negara harus mematuhi ketentuan agama yang tegas.

Di sinilah pentingnya prinsip akuntabilitas yang harus dijaga. Setiap tindakan pejabat publik diawasi oleh khalifah atau penguasa tertinggi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat.

Salah satu contoh yang terkenal adalah kepemimpinan Umar bin Khattab yang sangat ketat dalam pengawasan terhadap pejabatnya. Beliau dikenal sering melakukan inspeksi mendadak terhadap para pejabat yang ditugaskan di berbagai wilayah kekhilafahan. Umar tidak segan-segan menegur atau memberikan sanksi kepada pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran, termasuk korupsi, meskipun mereka berasal dari kalangan sahabat yang mulia.

Kepemimpinan Umar sangat mengedepankan transparansi dan integritas, dengan tujuan agar para pemimpin dan pejabat negara selalu berperilaku sesuai dengan tuntutan agama.

Selain itu, masyarakat juga memiliki peran dalam pengawasan. Umat Islam diajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jika terdapat penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakadilan, masyarakat memiliki hak untuk melaporkan hal tersebut kepada penguasa.

Khalifah, sebagai pemimpin umat, diwajibkan untuk mendengarkan keluhan rakyat dan memberikan tindakan yang adil terhadap setiap penyimpangan yang terjadi.

Kebijakan untuk mencegah korupsi dalam sistem ini juga didasarkan pada prinsip moral yang mendalam, di mana setiap tindakan pejabat negara harus berorientasi pada kesejahteraan umat dan bukan untuk kepentingan pribadi.

Harta negara, zakat, dan ghanimah hanya boleh digunakan untuk kepentingan yang sah, seperti kebutuhan rakyat, pembangunan sosial, dan keperluan umum lainnya. Jika seorang pejabat terbukti melakukan korupsi atau penggelapan, maka ia akan dikenakan hukuman yang sesuai, yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Secara keseluruhan, dalam sistem Islam, korupsi dianggap sebagai pelanggaran terhadap keadilan dan moralitas yang sangat dijunjung tinggi. Pemerintah yang dipimpin oleh seorang khalifah harus menjadi teladan dalam bertindak dengan integritas, dan seluruh sistem pemerintahan berfungsi untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan demi kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan umat Islam secara keseluruhan.[]

Comment