Menurut Guru Besar Psikologi Politik UI, Hamdi Muluk, masih sulit bagi pemilih Indonesia untuk memilih orang orang yang berbeda agama atau terkait kesukuan, terutama dalam kontesk pribumi dan nonpribumi.
Karena itu, ketika wacana Ahok for Bali-1, muncul di sebuah media sosial, sesaat setelah hitung cepat selesai dan memenangkan pesaing Ahok, tak banyak warga Bali yang meresponnya.
Tengokberita.com yang mencoba menghubungi warga Bali juga berkeberatan jika Ahok dijadikan gubernur mereka.
“Kalau wacana sih boleh boleh saja. Tapi primordialisme disini kuat. Saudara saudara Hindu saya akan menolak jika dia dicalonkan jadi pemimpin disini,” demikian Gede Saraswata, salah satu piminan di sebuah bank swasta di Denpasar Bali kepada Tengokberita.com, Rabu (26/4/2017)
Bukan hanya Saraswata, teman teman sepermainan yang juga Hindu, belum bisa menerima Ahok, jika mencalonkan diri jadi gubernur Bali. “Kalau wacana boleh boleh saja, tapi kalau beneran belum tentu warga Bali mau. Saya juga gak mungkin milih,” kata Made Bawa seorang warga Klungkung Bali.
Apakah, mereka ini salah, rasialis atau diskriminatif? Tidak juga. Sebab, dimanapun di seluruh dunia, faktor keyakinan dan kesukuan itu selalu ada. Ben Carson calon presiden dari Partai Republik bahkan dengan tegas mengatakan muslim tidak bisa menjadi Presiden Amerika Serikat.
Meski di Amerika Serikat pemisahan antara negara dan agama tercantum dalam undang-undang dasar, tetapi saat pilpres isu keyakinan dan ras itu tetap mengemuka.
Dalam sejumlah jajak pendapat menunjukkan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) masih berpengaruh dalam pemilihan presiden Amerika Serikat dari waktu ke waktu. Contoh, ketika Barack Obama mencalonkan diri jadi presiden. Orang Amerika mempertanyakan kekristenannya karena nama tengahnya ada nama Husseinnya.
Lembaga Pew Forum on Religion and Public Life, saat melakukan jajak pendapat terhadap Obama dengan menggunakan 2.973 responden menyebutkan sebanyak 17 persen mengaku tidak akan memilih Obama karena menganggap dia seorang muslim. Sebaliknya, 13 persen enggan mendukung Romney karena dia memeluk Mormonisme.
Ini adalah faktor bukti bahwa keyakinan dan ras itu masih punya peranan dalam pilpres dan pilkada di bagian balahan manapun di seluruh dunia. Sebut saja, apakah sejak dari Presiden Amerika pertama George Washington hingga yang ke 45 Donald Trumph sekarang, adakah mereka yang muslim?
Jawabannya jelas, tidak ada satupun. Lantas, kenapa konstitusi Amerika dibilang tidak SARA. Sementara disini di Jakarta, warga Muslim yang memilih memimpinnya yang muslim disebut SARA, rasialis dan diskriminatif?
Artinya, jika warga Bali juga tak mau atau menolak dipimpin oleh gubernur yang non Hindu, apakah juga akan disebut SARA, rasialis dan diskriminatif? Tentu, mereka tak akan mau atau menolak jika disebut demikian. (rot/tb)
Comment