Penulis: Khairunnisa, M.Pd | Akademisi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Ramadhan sudah hampir berakhir dan masyarakat sudah bersiap menyambut Hari raya. Suasana perekonomian dengan aktivitas jual beli di pasar-pasar masyarakat juga semakin ramai.
Kebutuhan masyarakat berupa kebutuhan pokok yang selalu dicari seperti daging, telur, beras, tepung, minyak goreng serta tidak ketinggalan berbagai jenis sayur seperti cabai dan banyak lagi komoditi lainnya.
Tingginya kebutuhan selalu saja disertai dengan kelangkaan pasokan pangan tersebut yang mengakibatkan harganya semakin naik atau mahal. Sudah menjadi kebijakan musiman dan berulang pemerintah mengatasi kelangkaan komoditi-komoditi tersebut dengan import.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan impor daging dan sapi hidup akan masuk dalam 2-3 pekan puasa, jumlah yang di-approved 145 ribu ton, bentuknya daging, kemudian beberapa ratus ekor sapi yang hidup.
Sumber import kebanyakan dari Amerika, New Zealand, sedangkan sapi hidup kebanyakan dari Australia. Sebelumnya, Bapenas juga telah menetapkan besaran stok pangan (13 komoditi) yang harus dimiliki pemerintah sampai akhir tahun 2024 nanti.
Hal itu ditetapkan dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 379.1/TS.03.03/K/11/2023 tentang jumlah, standar mutu, dan harga pembelian Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) tahun 2024 (https://www.cnbcindonesia.com/news).
Kenaikan import barang-barang konsumsi semenjak Ramadhan dan terus naik menjelang idul fitri bukanlah kebijakan baru namun terus berulang setiap tahunnya. Artinya gejala dan fakta kebutuhan yang terjadi di masyarakat tentu sudah bisa diprediksi agar bisa disiapkan dalam rangka ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Persiapan produksi secara mandiri idealnya harus bisa diwujudkan. Pemerintah harus mampu memberikan solusi-solusi yang terbaik bagi masyarakat, bukan mengulangi kebijakan yang belum tentu bersifat solutif.
Import yang selalu dijadikan jurus ampuh menghadapi lonjakan kebutuhan pangan terutama menjelang event penting tahunan seperti hari besar agama adalah sebaiknya dievaluasi lagi. Pertama; kebijakan import seringkali berimbas pada kerugian bagi petani dan peternak lokal karena pasokan produk luar tentu akan menurunkan harga jual mereka, selain itu yang kedua; kebijakan dengan import apalagi pada bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat akan menjadikan negara ketergantungan dengan negara pengeksport dan berimbas pada kedaulatan negara.
Persoalan pangan di negeri ini memang begitu pelik sehingga dari hulu hingga hilir harus dibenahi agar bisa tidak bergantung pada import. Persoalan hulu (produksi), tengah (distribusi), dan hilir (kebutuhan masyarakat), semuanya harus diselesaikan dengan kebijakan yang fokus pada kepentingan rakyat saja.
Sayangnya, kebijakan yang ada cenderung kapitalistik. Dari hulu problem dalam pengelolaan lahan pertanian dalam ekstensifikasi untuk produksi pangan sampai saat ini belum juga mampu berswasembada, ditambah juga subsidi bagi para petani dan peternak yang tidak maksimal menjadikan mereka tidak bergairah dalam produksi apalagi untuk jangka panjang.
Selanjutnya dari tengah adalah buruknya rantai distribusi sehingga seringkali ada penumpukan stok atau karena ulah oknum-oknum ritel dan sebagainya. Pada aspek hilir harusnya pemerintah benar-benar bisa menidentifikasi prioritas kebutuhan masyarakat, bukan dengan solusi praktis sekedar import untuk menstabilkan harga.
Saat harga tinggi di pasaran, pemerintah langsung saja menyimpulkan kekurangan stok dan harus impor. Pemerintah seperti tidak memiliki instrumen lain untuk menstabilkan harga selain dengan impor?
Sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini telah meminggirkan negara dari tanggung jawab sebenarnya pelayan dan pengurus ummat (masyarakat), tapi berperan sebatas regulator dan fasilitator.
Akibatnya, pengelolaan pangan tidak sepenuhnya negara yang mengurusi, tetapi diserahkan kepada korporasi pangan, baik BUMN maupun swasta sehingga prinsip pengelolaannya semata-mata bisnis mengejar profit. Tidak ada lagi fungsi pelayanan kepada rakyat.
Karena itu semoga pemerintah mau mengevaluasi secara komprehensif terkait sistem pengelolaan pangan, bukan perbaikan-perbaikan parsial dan bersifat teknis semata. Lebih mendasar lagi, melakukan perubahan konsep sistem politik ekonomi yang dipakai yang menjadi biang kerok kegagalan mengurusi pemenuhan pangan rakyat.
Tawaran Solusi dari Islam
Negeri ini mayoritas muslim sehingga Islam bukanlah agama asing di negeri ini. Di tengah suasana Ramadhan yang penuh berkah ini semoga bisa menjadi titik tolak negeri ini menjadikan Islam sebagai problem solver atas permasalahan masyarakat dari semua aspek termasuk pangan.
Dalam Islam negara diwajibkan berdaulat/mandiri dalam semua aspek termasuk pangan. Berbagai upaya akan dilakukan negara secara maksimal, termasuk membangun infrastruktur berkualitas. Biaya distribusi akan murah dan cepat sampai dari produsen ke konsumen. Misalnya, negara akan sangat memperhatikan infrastruktur, baik di kota maupun desa, agar jangan sampai pangan tidak sampai atau biaya logistik tinggi hanya karena tidak meratanya sarana jalan, seperti infrastruktur saat ini yang megah di kota, tetapi minim di desa.
Negara juga harus menguatkan ekstensifikasi lahan dengan menyiapkan lahan luas untuk keperluan produksi, tidak dibenarkan sembarang memberikan izin pengelolaan lahan subur untuk keperluan lainnya. Negara pun sangat memperhatikan dan menjaga rantai distribusi agar jangan sampai ada stok ditimbun karena ulah oknum tertentu, praktik curang, penimbunan, dan berbagai tindakan lainnya yang dapat merugikan banyak pihak.
Lebih dari itu, negara pun akan berupaya menjamin kesejahteraan semua rakyatnya, tidak hanya konsumen yang diperhatikan supaya dapat akses pangan murah, produsen pun kesejahteraan produsen pun baik petani dan peternak akan sangat diperhatikan. Seperti pemberian subsidi atau suntikan modal, juga menjamin keadilan pasar bagi mereka.
Walhasil, import adalah langkah terakhir jika memang diperlukan. Itu pun sifatnya tentative saja. Maksudnya negara tidak boleh selalu ketergantungan pangan impor, sembari terus mengupayakan swasembada pangan.
Namun tentunya semua itu bisa dimulai dan dilakukan dengan komitmen perubahan mengambil solusi dari Islam melalui implementasi Islam secara kaffah.[]
Comment