Oleh: Bazlina Adani, Mahasiswi UMN AW Medan
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Dilansir dari TBNews (29/04/2022), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga bersama Kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Hasto Wardoyo, mencanangkan program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) Bebas Stunting wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Tema Bebas Stunting dipilih berdasarkan kondisi prevalensi stunting di Sumatera Utara yang menurut Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 sangat memprihatinkan. Tercatat 13 dari 33 kabupaten/kota berstatus “merah” yakni memiliki prevalensi stunting diatas angka 30 persen.
DRPPA adalah salah satu strategi untuk menjawab tantangan pemberdayaan perempuan, pemenuhan hak dan perlindungan anak di tingkat akar rumput. Meski sudah banyak kebijakan yang mendukung upaya pemberdayaan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak namun disayangkan perempuan masih banyak mengalami diskriminasi, mendapatkan stigma dan rentan menjadi korban.
Persoalan perempuan dan anak tak kunjung mendapatkan penyelesaian hakiki hingga saat ini. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka menuntaskan persoalan keduanya justru semakin menambah ruang duka bagi mereka.
Perempuan masih tetap berjibaku dengan tugas publik yang menyita banyak waktu dan tenaga mereka, sehingga melupakan fungsi sentralnya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Begitu pun dengan anak yang masih sarat dengan sederet masalah sosial, kesehatan, pendidikan dan masalah-masalah lainnya.
Dalam hal ini, peluncuran program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) tampaknya tidak mampu menjawab seluruh persoalan yang dialami oleh perempuan dan anak. Khususnya persoalan stunting yang masih memprihatinkan. Persoalan stunting ini menjadi tantangan dan ancaman besar bagi negara sebab kondisi ini akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pertumbuhan jasmani yang tidak sehat akan berdampak kepada intelektualitas seseorang serta produktivitasnya dimasa yang akan datang.
Melihat kondisi seperti ini, sejatinya tidak cukup mengandalkan program-program penanggulangan melalui DRPPA sebagai solusi dalam menekan angka stunting. Adanya upaya ini justru malah semakin menunjukkan ketidaktepatan pemerintah dalam melihat akar persoalan negeri ini. Sebab yang menjadi akar persoalannya adalah kemiskinan yang merajalela serta buruknya tata kelola pangan akibat dari penerapan sistem kapitalisme.
Meningkatnya angka kemiskinan dalam sebuah negeri akan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat. Jangankan untuk memperoleh makanan yang sehat dan bergizi, untuk sekadar mendapatkan ketersediaan pangan yang memadai saja kesulitan itu masih dirasakan oleh masyarakat. Padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam namun masyarakatnya justru harus berjuang sendirian ditengah gempuran kemiskinan yang menimpa mereka.
Oleh karena itu, sistem kapitalisme hanya akan menggerus nasib perempuan dan anak. Sehingga kehadiran program DRPPA seolah semakin mengancam eksistensi perempuan dan anak itu sendiri. Sebab kehidupan dalam sistem kapitalisme cenderung berorientasi pada profi. Untung rugi menjadi sangat diperhitungkan oleh sistem ini.
Dalam mengurusi urusan rakyatnya, negara tidak hadir sebagai pelayan rakyat namun berubah wajah menjadi pelayan segelintir elit. Maka tidak heran kebijakan-kebijakan yang dibuat sarat dengan nilai-nilai materi yang ingin diraup nantinya.
Adapun hadirnya DRPPA ini hanya menjadikan perempuan sebagai peluang untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Perempuan diarahkan agar mampu berdaya saing secara politik, ekonomi dan sosial. Pemberdayaan ini justru membuat perempuan meninggalkan diri dari fitrah dan kewajibannya.
Karena jika perempuan dipaksa menjalankan peran gandanya, maka secara otomatis pula anak tidak mendapatkan pengawasan serta didikan langsung oleh ibunya. Sehingga program-program pemberdayaan dan upaya pelindungan anak hanya akan menambah beban dan semakin mengancam posisi perempuan dan anak.
Program ini tidak dapat menjawab secara tuntas persoalan perempuan maupun anak, bahkan persoalan stunting juga akan tetap menjadi ancaman dan momok bagi negeri ini. Sebab persoalan keduanya adalah persoalan sistemik yang berasal dari mata rantai kemiskinan akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekulerisme di negeri ini.
Oleh karena itu, untuk menuntaskan persoalan perempuan dan anak, dibutuhkan solusi sistemik pula sebagai jawaban dari permasalah rumit ini. Dalam persoalan kemiskinan, maka negara akan menghadirkan lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar mereka mampu mendapatkan kebutuhan pokok hidupnya karena negara juga sudah menjamin ketersediaannya.
Jika kepala keluarga sudah memiliki pendapatan dengan terjaminnya lapangan pekerjaan, maka mereka mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus mendapatkan pemenuhan gizi yang layak bagi keluarganya.
Jika aturan Islam diterapkan di negeri-negeri kaum muslimin, maka perempuan juga akan terjamin pemenuhan haknya secara utuh. Begitupun dengan anak-anak. Sebab Islam telah menempatkan perempuan dan anak sesuai dengan fitrahnya tanpa ada sedikitpun posisinya yang tercederai.
Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki tugas mulia sebagi ummu wa robbatul bayt. Peran ini akan melahirkan generasi-generasi terbaik dan unggul apabila seorang perempuan menjalankan fitrahnya berdasarkan aturan Islam. Adapun anak-anak, hak mereka juga akan terpenuhi dengan baik sehingga kerusakan generasi bahkan masalah kesehatan tidak menjadi permasalahan rumit.
Begitulah Islam memberikan perlindungan terbaik terhadap perempuan dan anak. Mereka tidak akan mendapatkan penjagaan ala kadarnya melalui program-program bidikan yang justru semakin mengancam posisi strategis mereka. Sebab negara memiliki tanggungjawab memberikan jaminan perlindungan serta memenuhi hak dasar setiap warganya.
Oleh karena itu, hanya dengan penerapan syari’at Islam kaffah problem stunting bisa dituntaskan hingga ke akarnya dan perempuan mendapatkan perlakuan terbaik sesuai fitrahnya. Semua kondisi ini akan terwujud tatkala Islam diterapkan secara menyeluruh. Wallahua’lam.[]
Comment