Penulis: Qisti Pristiwani, S.Farm | Alumni Perguruan Tinggi Medan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia telah memasuki fase darurat. Kemenkes RI mencatat jumlah kasus DBD di Indonesia hingga awal Maret 2024 telah menembus angka 38.462 kasus.
Lima provinsi dengan kasus terbanyak seperri ditulis victorynews (26/3/2024) adalah provinsi Jawa barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah. Bahkan kasus kematian sudah mencapai 316 jiwa. Tentu hal ini sangat mencekam dan butuh solusi cepat.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Sehingga menyebabkan seseorang demam diikuti dengan pendarahan di bawah kulit, selaput hidung, dan lambung.
Nyamuk aedes aegypti menyukai air bersih yang menggenang. Karenanya, DBD turut mengalami peningkatan ketika memasuki musim pancaroba. Melihat hal ini, pemerintah mengimbau masyarakat untuk menerapkan langkah 3M, yakni menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, mengubur dan mendaur ulang barang tidak terpakai.
Selain itu, pemerintah juga melakukan penyuluhan, Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),_fogging focus_ (liputan 6.com). Dan yang terakhir adalah upaya penyebaran nyamuk Wolbachia untuk menekan populasi nyamuk Aedes aegypti.
Tampaknya, apa yang dilakukan pemerintah sama sekali tak menyentuh akar persoalan. Sebab, pemerintah hanya melihat kasus DBD itu hanya dari perspektif kesehatan itu saja tanpa melihat aspek lain yang turut memperparah keadaan. Sehingga, kasus DBD menjadi kasus tahunan yang tak kunjung selesai.
Mewabahnya kasus DBD di Indonesia sejatinya bukan hanya persoalan kesehatan semata melainkan banyak faktor yang turut menyumbang kesulitan untuk mengentaskan kasus yang berulang ini. Seperti pendidikan, pekerjaan, kepadatan penduduk, kepadatan rumah, bahkan sampai faktor ekonomi.
Mahalnya pendidikan membuat masyarakat Indonesia tidak seluruhnya mampu mengakses pendidikan. Sehingga menjadikan masyarakat minim literasi kesehatan dan kurang memiliki kesadaran pentingnya untuk menjaga kebersihan lingkungan.
Selain itu, rendahnya ekonomi masyarakat tampaknya tak kalah penting menjadi fokus perhatian. Sebab, di dalam sistem kapitalisme-sekuler saat ini, hampir semua serba berbayar.
Rendahnya ekonomi masyarakat membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Jangankan membeli makanan yang sehat dan gizi seimbang untuk memperkuat daya tahan tubuh, mencari sesuap nasipun sulit. Tak terkecuali dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Masyarakat harus merogoh kantong agar bisa membeli kesehatan. Terlebih lagi untuk mendapatkan vaksin DBD, sindonews (25/3/2024) menulis bahwa masyarakat harus membayar 700 ribu / dosis.
Sistem ekonomi kapitalisme-liberal juga telah menciptakan kesenjangan sosial yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat miskin tinggal di rumah-rumah kumuh padat penduduk dengan lingkungan yang tak sehat. Bahkan, ada yang tak memiliki rumah dan tinggal di kolong jembatan.
Dengan kondisi seperti ini, mungkinkah imbauan pemerintah terhadap masyarakat dapat dimanifestasikan dengan baik? Jelas sulit sekali.
Siapapun pasti menginginkan kehidupan sehat, aman, nyaman dan ideal. Namun, kehidupan seperti ini akan sulit didapatkan di dalam sistem kehidupan yang menerapkan aturan kapitalisme-sekuler.
Sistem ini nyatanya hanya membuat masyarakat menderita. Sebab pengaturan hidup hanya berorientasi pada uang semata, bukan pada aturan Ilahi. Sehingga, solusi atas permasalahan yang terjadi di negeri ini tergantung bagaimana konsep kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Penguasa pun tak menjalankan perannya sebagaimana mestinya, yakni sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya. Maka tak heran, kasus DBD ini pun tak kunjung usai, bahkan berulang.
Berbeda dengan sistem kehidupan yang diatur berdasarkan Islam kaffah. Islam memiliki solusi komprehensif mengatasi berbagai persoalan kehidupan manusia. Sebab aturan Islam berasal dari Tuhan pencipta manusia yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia. Sehingga, segala persoalan dikembalikan menurut aturan Islam.
Islam memandang bahwa negara harus menjamin kebutuhan pokok masyarakat, seperti terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan secara murah. Oleh karena itu, negara membuka lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga agar dapat memenuhi kewajiban memberi nafkah. Sementara itu, kesehatan, pendidikan, keamanan adalah hak vital yang harus didapatkan semua orang secara gratis. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan akses yang mudah untuk mendapatkannya.
Dalam upaya mengentaskan persoalan DBD ini, negara melakukan upaya preventif dan kuratif. Upaya preventif yang ditempuh adalah mewujudkan jaminan kesehatan gratis bagi tiap individu rakyat.
Negara mengedukasi masyarakat untuk senantiasa memiliki pola hidup bersih sebagaimana diperintahkan dalam Islam secara berkesinambungan. Negara membiayai riset dan teknologi mutakhir untuk mencegah DBD atau penyakit lainnya. Disusul dengan pengadaan pendidikan berkualitas agar melahirkan sosok-sosok ilmuwan yang bertakwa dan ahli dalam bidang sains dan teknologi.
Adapun upaya kuratif yang ditempuh oleh negara adalah memastikan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan gratis, serta memiliki tenaga kesehatan yang kompeten di seluruh wilayah. Kemudian, negara bersama rakyat memberantas sarang nyamuk secara berkelanjutan.
Upaya-upaya ini hanya akan terwujud secara optimal jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam setiap aspek.
Oleh karena itu, kaum muslimin wajib berjuang untuk meng – implementasikannya. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment