Penulis: Suci Halimatussadiah | Ibu Pemerhati Masyarakat
RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA Di saat rakyat dibuat pusing dengan naiknya harga berbagai komoditi pangan menjelang lebaran, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seperti ditulis CNBC Indonesia (18/3/2024) mengatakan bahwa akan ada kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyatakan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Pemerintah tampaknya makin serius menggenjot penerimaan negara dari sektor pajak yang sumber utamanya tentu adalah rakyat. Itulah sebabnya pemerintah melakukan segala cara demi meyakinkan bahwa pajak adalah keniscayaan, bukan kezaliman. Bahkan, sebuah kemestian yang harus didukung penuh oleh rakyat dengan segenap pengertian.
Hal ini bisa dipahami mengingat sektor pajak merupakan andalan utama yang menyokong lebih dari 80% pos penerimaan negara. Sisanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pemerintah nyaris tidak punya cara alternatif untuk mengisi kas negara selain dengan penerimaan pajak.
Berbagai cara dan celah yang memungkinkan untuk menarik uang rakyat pun terus dicari. Sampai-sampai pemanfaatan sektor jasa layanan publik serta kegiatan usaha kecil pun tidak luput dari pajak. Hal ini tidak mengherankan karena sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara.
Bagi sistem kapitalis, pajak merupakan urat nadi anggaran negara. Menarik pajak adalah cara mudah mengumpulkan dana dalam penyelenggaraan negara. Sebaliknya, SDA yang melimpah tidak dikelola oleh negara, tetapi justru diserahkan kepada pihak swasta, baik individu ataupun korporasi, lokal maupun asing.
Padahal seandainya negara mau mengelola sendiri SDA yang ada dengan baik maka akan lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyat. Lagi pula, pungutan pajak bukan membawa keadilan dan kesejahteraan, justru akan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Naiknya pajak jelas akan berdampak pada naiknya harga berbagai komoditas.
Kapitalisme memposisikan negara sebagai regulator yang mengeluarkan aturan yang lebih condong dan menguntungkan satu pihak saja, yakni pengusaha. Dalam konteks ini seakan ada simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha.
Dalam islam, pos kepemilikan negara memiliki satu pemasukan yang dinamakan dharibah. Dilihat dari segi bahasa berarti pungutan. Akan tetapi, dalam praktiknya, dharibah tidak sama dengan pajak dalam sistem kapitalis.
Dharibah dalam Islam hanya dipungut ketika kondisi Baitul Maal kosong dan ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi, misalnya terjadi bencana seperti paceklik, angin topan, membiayai perang fi sabilillah, dan lain-lain.
Pada kondisi tersebut, khalifah atau sebagai kepala negara memungut dharibah dari kaum muslim yang mampu saja. Mampu di sini ukurannya adalah memiliki sisa harta setelah terpenuhinya kebutuhan primer dan sekunder. Pungutan tersebut bersifat insidental dan tidak tetap. Bila masalah kekosongan Baitul Maal terselesaikan dan kebutuhan mendesak telah terpenuhi, maka pungutan dharibah dihentikan.
Jadi, pajak dan dharibah bisa jadi memiliki makna bahasa yang sama, tetapi praktiknya sangat jauh berbeda. Dharibah tidak mengikat dan tidak permanen (kondisional) sesuai kebutuhan negara.
Dalam Islam, pemasukan negara tidak mengandalkan pada dharibah. Setidaknya, pemerintahan dalam konsep Islam memiliki lebih dari sepuluh pos penerimaan tetap Baitul Maal seperti anfal, ghanimah, fai’, dan khumus.
Anfal dan ghanimah bermakna sama, yakni segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain.
Selanjutnya adalah fai’, yakni segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir tanpa pengerahan pasukan, juga tanpa kesulitan, serta tanpa melakukan peperangan.
Sementara yang dimaksud khumus adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah. Sedangkan kharaj adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah diambil dari tangan kaum kafir, baik melalui cara peperangan maupun perjanjian damai. Ada lagi jizyah, yakni hak yang Allah berikan kepada kaum muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada pemerintahan Islam.
Ada juga harta kepemilikan umum, yakni harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama umat Islam. Individu diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi tidak diperbolehkan untuk memilikinya secara pribadi.
Harta kepemilikan umum mencakup tiga jenis. Pertama, sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput (hutan), dan api (sumber energi).
Kedua, harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, kereta api, PAM, dan lain lain.
Ketiga, barang tambang (SDA) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti tambang minyak bumi, gas alam, nikel, batu bara, emas, tembaga, uranium, dan sebagainya.
Demikianlah sistem Islam yang begitu adil terhadap warga negaranya. Dengan pemasukan dari berbagai pos maka dharibah (pungutan) akan sangat jarang diberlakukan kecuali dalam kondisi darurat saja. Sistem inilah yang sebenarnya dirindukan oleh umat manusia di seluruh dunia. Dengan sistem ini, penguasa akan terjaga dari berbagai bentuk kezaliman sehingga rakyat sejahtera tanpa pajak yang membuat hidup semakin pelik. Wallahu ‘alam bisshawab.[]
Comment