Diskusi Publik INDEF – Paramadina “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi” 

Nasional121 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – INDEF dan Universitas Paramadina menggelar diskusi secara daring dengan Tema “Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo Bidang Ekonomi”, Rabu (22/1/25).

Hadir dalam diskusi ini para pembicara antara lain Eisha Maghfiruha Rachbini, Ph.D (Ekonom INDEF), Yose Rizal Damuri, Ph.D (Direktur Eksekutif CSIS), Wijayanto Samirin, MPP. (Ekonom Universitas Paramadina dan domderatori oleh Nurliya Apriyana, M.M. (Dosen Universitas Paramadina).

Diskusi ini diawali dengan pengantar  Prof. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina).

Prof Didik mengatakan, isi Astacita 1 – 8 pada pemerintahan Prabowo terbanyak berkaitan dengan isu ekonomi. Negara Vietnam berhasil tumbuh perekonomiannya 7-8% karena ekspornya telah jauh melampauai Indonesia, yakni 405 miliar USD/tahun. Sementara Indonesia yang 20 tahun lalu sebenarnya telah mencapai 200 miliar USD/tahun, namun sekarang stuck di 250 miliar USD/tahun, atau kurang dari itu. Hal itu lebih tergantung pada situasi ekonomi internasional.

“Indonesia tidak akan pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8% sampai 2029 tanpa penguatan ekonomi melalui industri. Tragisnya selama 10 tahun terakhir sektor industri di bawah para penanggungjawab yang sama pada kabinet ini, hanya tumbuh 3-4% saja.” Ujarnya.

Sementara Didik menambahkan, sektor industri Vietnam bisa tumbuh 9%-10%. Pada saat yang sama ekspornya bisa tumbuh 14-15%. Kondisi itu sama persis dengan Indonesia pada 1985 ekonomi tumbuh 7%, sektor industri tumbuh 9%-10%, ekspornya tumbuh 20%.

Oleh karena itu lanjutnya, untuk bisa menumbuhkan kembali kinerja sektor industri maka elemen-elemen birokrasi ikuti saja Astacita yang ke 3. Zaman Pak Harto dulu, separuh dari birokrasi Departemen Keuangan pernah dirumahkan. Kegiatan ekspor diserahkan ke SGS. Akibatnya, kegiatan ekspor ketika itu melaju kencang. Semua diplomat juga diberikan target agar neraca perdagangan harus surplus.

Kesimpulannya, menurut Didik, pembangunan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5% saja seperti prediksi world bank. Namun semangat dan cita-cita presiden Prabowo untuk tumbuh 8% juga harus dihargai. Kita optimis saja sebagaimana Vietnam yang tengah melaju kencang perekonomiannya.

Kinerja investasi di Indonesia menjadi merosot, karena investasi banyak bergeser ke Vietnam. Persis sama dengan 1985 ketika ekonomi Filipina buruk sekali pada era Marcos. Begitu buruknya hingga investasi di Filipina banyak yang bergeser ke Indonesia.

“Jadi, tanpa investasi dari luarnegeri ekonomi tidak mungkin tumbuh. Diperlukan 3-4 kali lipat dari 1400 triliun untuk sampai pada pertumbuhan 6-7%.” tegas Didik.

Dalam diskusi tersebut, Eisha M Rachbini, Ph.D mengatakan, untuk dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 7-8% di era Prabowo, butuh strategi dan key sector atau pengungkit dengan pendekatan berbeda disesuaikan perkembangan zaman.

Eisha menambahkan, dengan perkembangan teknologi digital yang sangat cepat, dibutuhkan pengungkit yang lain, seperti hilirisasi industri, peningkatan sektor pariwisata, dan sektor teknologi dan ekonomi digital. Digitalisasi dari seluruh sektor ekonomi.

“Ruang ekonomi digital terhadap sumbangannya ke PDB masih terbuka luas. Sektor e-commerce, dll kontribusinya masih 3,7% di 2024. Ada ruang untuk tumbuh, tapi masih pada kisaran 7,1 % di 2025.” tegas Eisha.

Menurut Eisha, nilai transaksi ekonomi e-commerce memang masih mendominasi daripada sektor transportasi, redhiling, travel, media online. Namun pada beberapa tahun belakangan transaksi e-commerce pada platform-platform digital Indonesia mengalami penurunan dan pelambatan. Meski tiap tahun ada harbolnas, tapi masih tumbuh sedikit dibandingkan periode yang sama pada 2023.

“Hal ini terjadi akibat pengaruh dari menurunnya daya beli masyarakat, sebagai akibat dari kondisi fundamental dari ekonomi nasional.” Ucapnya.

Potensi besar lain, lanjutnya, ada pada sektor keuangan digital. koneksi akses dan internet semakin meningkat pada pengguna tekno digital di Indonesia. Survei juga menyebutkan nasabah keuangan/perbankan sudah mulai beralih menyukai layanan-layanan keuangan/perbankan digital.

Begitu pula, kata Eisha, layanan fintech yang meningkat pada nasabah perbankan. Tapi juga terjadi penurunan. Grup-grup marginalize sperti UKM juga mulai menyukai layanan fintech. hal itu bisa mendorong aktivitas ekonomi yang lebih tinggi lagi.

“Secara teoripun, aktivitas ekonomi keuangan menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi. Karenanya harus diciptakan iklim agar bagaimana akses terhadap modal dan keuangan bisa mendorong pertumbuhan.” Ujarnya.

Hadir pula dalam diskusi ini, Yose Rizal Damuri, Ph.D. Dia mengatakan, dalam 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo belum ada arahan kebijakan yang jelas, selain retorika yang masif. Belum terlihat ke mana arah dari program-program yang telah digariskan. Plus adanya kekurangan dalam koordinasi dan kebijakan yang kurang koheren.

Hal lain yang patut diperhatikan, tambahnya, adalah belum adanya RPJMN serta belum diresmikan/publish. Padahal pada 2015 Jokowi awal Januari 2015 RPJMN sudah dipublish kepada masyarakat.

“Pentingnya kejelasan arah kebijakan pemerintahan menjadi hal penting yang ditunggu-tunggu oleh kalangan ekonom, pengusaha/pebisnis, akademisi perguruan tinggi dll. Apalagi Astacita banyak hal hal yang terkait dengan perekonomian.” Ujar Yose.

Menurutnya, memang disadari, ada berbagai macam masalah yang merupakan warisan pemerintahan sebelumnya, seperti high cost economy, regulatory uncertainty, stagnant growth 10 thn, climate change, digital dll yang pasti akan berpengaruh pada pemerintahan sekarang. Belum lagi menghadapi pelantikan presiden USA Trump, yang pasti banyak membawa dampak internasional.

Dari kondisi tersebut, yang paling ditunggu adalah arah kebijakan ekonomi ke depan. Hal itu yang selama ini belum bisa dibaca. Kebijakan bukan tidak ada, tapi seharusnya ada kebijakan jelas yang mengarah pada penyelesaian berbagai masalah sesuai target pemerintahan. Khususnya pada bidang perdagangan dan sektor industri nasional.

Kenaikan UMP 6% lanjut Yose, adalah hal pertama kali dalam sejarah yang diumumkan oleh Presiden RI. Masalahnya, hal itu terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut beberapa ketentuan dalam UU Ciptaker. Salah satunya adalah pembahasan formulasi dari UMP itu sendiri.

Dengan hilangnya formulasi Upah Minimum, papar Yose, maka UMP ini semakin tidak bisa dikontrol/prediksi. Kedua, adanya kemungkinan politisai yang lebih besar utk Upah minimum yang dijadikan instrument politisasi utk kepentingan-kepentinan politik.

Padahal, tegasnya lagi, kebijakan upah minimum juga tidak terlalu berpengaruh thd tingkat kesejahteraan pekerja. pada 2023, adanya kenaikan UMP hanya berdampak pada 36% pekerja yang ber-upah di atas UMP. Itu saja merupakan penurunan dibanding kenaikan 42% pekerja upah di atas UMP 2019.

Dalam diskusi ini, Wijayanto Samirin, MPP memaparkan bahwa saat ini belum bisa menilai kinerja pemerintahan, tidak tau kapasitasnya seperti apa. Setelah setahun baru ketahuan mengenai kapasitasnya apa, saat ini kita hanya bisa mengetahui sinyal-sinyanya saja.

Menurutnya, Prabowo mendengarkan dari berbagai pihak, dalam halnya PPN 12% yang dibatalkan dan diperuntukan untuk barang mewah tetapi insentif masih terus berjalan. Sehingga pengeluaran terus berjalan bahkan bertambah.

Hingga saat ini Wijayanto Samirin melihat ada enam kecenderungan Perbedaan respons antara narasi kementerian, Menteri, wakil Menteri, pemerintah pusat hingga daerah sehingga mengindikasikan kurang solid; Komunikasi publik yang buruk dan terlalu over promise; Menggunakan pendekatan piece-meal bukan sistematis dan komprehensif; Dominasi populis; basis teknokratisnya kurang kuat dan didominasi politik; serta gap yang lebar antara narasi dan implementasi di lapangan.

Saat ini, menurut Wijayanto, hasil survei menimbulkan complacency di mana problem yang ada saat ini adalah masyarakat tidak well-informed dan cenderung nrimo-ing-pandum serta positif thinking berlebih.

“Secara idealm harusnya pemerintah mengandalkan data statistic yang kredibel sebagai ukuran kerja bukanlah survei persepsi.” Ujarnya.

BI menerbitkan SRBI senilai Rp915 T, dengan bunga 7,23% di mana menguasai Rp461 T atau 50,4%.

SBN, tambahnya, merupakan pilar utama fiskal, di mana bunga tinggi membebani APBN; SDB dan SRBI menimbulkan crowing out yang melemahkan sector ril dan membuat pasar modal mati suri; bank memegang SBN dan SRBI senilai Rp. 1.427 T; kepemilihan SRBI dan SBN oleh asing menvcapai resiko 25,8% dan 17,9%. Dengan ini, resiko reversal perlu diantisipasi jika dinamika ekonomi global meningkat.

“Secara keseluruhan Prabowo memimpin Indonesia di era yang kritikal, era ‘make or break’ bagi Indonesia. Sukses bukanlah sebuah opsi tetapi merupakan keharusan.” Tegasnya.

2025 dan 2026 lanjutnya, adalah titik kritis secara fiscal, titik temu antara penerima yang menurun, spending yang melejit, utang Rp. 1.600 T yang jatuh tempo dan dinamika global.

“Upaya penguatan penerimaan, efesiensi pengeluaran dan perbaikan manajemen utang sangat krusial agar bisa keluar dari ‘masa sulit 2025 2026’.” Tambahnya.

“Kondisi fiskal yang berat dan tingkat kepercayaan investor yang rendah merupakan tantangan utama pada sector moneter. Reversal dari investasi portofolio merupakan tantangan terbesar. Perbaikan kepastian regulasi, manajemen utang, kebijakan terkait DHE dan SDA dalam mencari sumber pendanaan fiscal yang sustainable merupakan Langkah prioritas.” Imbuh Wijayanto.[]

Comment