Deklarasi ini, di tujukan untuk pemersatu para jurnalis yang ada di kota Mojokerto, dalam satu wadah PWM. Dalam deklarasi kali ini juga di hadiri oleh Bupati Mojokerto yang di wakili oleh humas Pemkab, dan juga Walikota Mojokerto yang di wakili oleh humas Pemkot Mojokerto. Dan juga jajaran dinas terkait.
Selain itu, ketua PWM Yadi S.i.p., yang juga sebagai Pimpinan Redaksi Radar Indonesia Mojokerto mengatakan, deklarasi PWM ditujukan sebagai pemersatu para insan pers yang ada di kota Mojokerto, dengan visi “Menuju Wartawan yang Profesional dan Berkualitas”. PWM berdiri untuk menjadi mekanisme kontrol pemerintahan daerah Mojokerto dan juga bisa menjadi pilar negara. Oleh karena itu PWM deklarasi hari ini, tanggal 28 April 2017.
“PWM suatu wadah organisasi para jurnalis di Mojokerto, yang dimana untuk bisa menjadi kontrol pemerintahan daerah dan juga menjadi pilar negara serta bisa melindungi para jurnalis yang di intimidasi. Kami juga menolak adanya berita hoax.” Kata Yadi saat pidatonya.
Tak hanya itu, sedikitnya ada 48 perusahaan pers yang tergabung di dalam PWM, baik media On line, Cetak, Elektronik Tv, maupun Radio. Perusahaan pers ini notabennya adalah, media kecil yang ditindas dan merasa tidak mempunyai hak yang sama dengan media-media besar.
Deklarasi PWM hari ini, juga dihadiri oleh Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Setwil Jawa Timur, Bayu Pangarso. Ia katakan, deklarasi PWM hari ini bener-bener melihatkan bahwasannya para insan pers tidak bisa di kotak kotakan ataupun ditindas.
“Kita bisa melihat banyaknya organisasi wartawan yang muncul, seperti MPN (Majelis Pers Nasional) di Surabaya yang berskala Nasional, maupun PWM (Persatuan Wartawan Mojokerto) skala wilayah. Semua memiliki tujuan yang sama sebagai pilar ke – 4 demokrasi. kebijakan kebijakan dewan pers yang telah membawa wabah negative keberbagai lini, bahkan menerobos jantung insan pers di Indonesia harus dihentikan, untuk itu jejak langkah FPII dengan menggugat dewan pers beberapa minggu lalu telah membuka mata seluruh insan pers dan pemilik media di Indonesia.” Ucap Bayu.
Semua organisasi ini pada intinya untuk menjadi kontrol kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dan juga menjadi perlindungan para jurnalis yang bekerja untuk menggali informasi atau pemberitaan. Kita bisa melihat banyaknya intimidasi, kekerasaan pada pekerja profesional (jurnalis..red).
Dijelaskan Bayu, bahwa dunia jurnalis harus bisa melihat kebijakan organisasi tertinggi insan pers yaitu, Dewan pers yang seharusnya menjadi naungan para insan pers, nyata-nyata tidak bisa berfungsi maksimal.
Kata ia, dengan kebijakan yang dikeluarkan dewan pers antara lain, adanya kode barcode pada perusahaan pers, dan juga mengadakan program UKW (Uji kopetensi Wartawan), serta merta menjadi ladang bisnis. Karena setiap wartawan / jurnalis ikut UKW dikenakan biaya 1,5 jt atau bahkan lebih. Menurut Bayu, penyekatan yang dilakuka dewan pers bukan hanya itu, namun juga adanya pencekalan dalam liputan dilapangan.
“Dewan pers yang seharusnya menjadi organisasi, yang menaungi/ melindungi hak-hak insan pers nyatanya tidak berfungsi secara maksimal, dan kebijakannya juga tidak berpihak pada insan pers. Dengan adanya program UKW, ataupun kode barcode ini membuat perusahaan pers dan juga jurnalis menjadi tertekan dan bahkan tertindas. Oleh karena itu sudah saatnya para insan pers bangkit untuk melawan semua kebijakan yang tidak berpihak pada insan pers,” pungkasnya.(bay)
Comment